Anha melangkahkan kakinya dengan sedikit cepat menuju Day Care. Tempat di mana ketiga adiknya dititipkan sepulangnya mereka dari sekolah. Setiap sore, Anha akan pergi ke sana secepat yang ia bisa agar adik-adiknya tidak menunggu lama. Ini karena Ibunya pulang larut malam, jadi Anha ditugaskan untuk menjaga adik-adiknya.
"Assalamu'alaikum," sapa Anha ketika ia sudah berada di depan pintu masuk Day Care. Salah satu pengasuh yang berada paling dekat dengan pintu itu tersenyum melihat Anha. Setelah menjawab salam Anha bersama sebagian besar anak-anak yang ada di sana, pengasuh muda itu; Adina segera memanggil ketiga adik Anha, "Dita, Hani, Hana! Mas Anha udah dateng nih ...!"
Ketika bocah perempuan itu menoleh cepat dan bersemangat. Mereka segera meraih tas sekolah mereka dan pergi berpamitan dengan para pengasuh yang ada di Day Care tersebut sebelum keluar bersama Anha. Anha mengucapkan terima kasih kepada pengasuh-pengasuh yang ada di sana dan pergi bersama adik-adiknya.
Anha menggandeng adiknya yang kedua; Hani berumur 5 tahun di tangan kanannya. Sementara Hana—yang paling muda, umur empat tahun—digandeng oleh Dita—yang paling tua, umur sembilan tahun—dan Anha dengan tangan kirinya. Anha tersenyum kecil. Dia nampak seperti bapak-bapak beranak tiga. Di mana istriku.
"Mas Anha," panggil Hana pelan dengan ayunan tangan meminta atensi. Anha menoleh memberikan atensinya pada Hana. "Gimana Hana?"
"Hana udah mendem ini dari kemarin-kemarin soalnya Kak Adina minta Hana sama kakak-kakak buat diem aja, tapi Hana udah enggak tahan lagi," ujar Hana dengan gelengan kencang. Anha memiringkan kepalanya. "Emang Kak Adina bilang apa?"
"Bukan bilang apa ... dari kemarin-kemarin itu, Kak Adina suka banget nanyain Mas Anha," ujar Hana dengan kerutan tipis di keningnya. Anha menaikkan kedua alisnya, namun tidak berkata apa-apa dan membiarkan Hana melanjutkan ceritanya. "Kak Adina juga pernah bilang kalo Mas Anha cakep."
"Hana, menurut kamu—Kak Adina seneng sama Mas Anha enggak sih?" tanya Hani memajukan dirinya agar Hana bisa melihatnya. Hana menoleh dan mengendik kebingungan, "Enggak tahu."
"Ih ... masa enggak tahu?" Hani mengerutkan keningnya tipis tidak suka. Kemudan beralih bertanya pada Dita yang juga menatap ke arahnya. "Kalo menurut Mbak Dita?"
"Mbak Dita juga enggak tahu," jawab Dita dengan gelengan singkat. Anha tertawa pelan mendengar respon Dita. Kalau dari yang Anha terka-terka, Dita pasti punya pendapat yang sama seperti Hani. Perbincangan kecil mereka tentang perasaan Adina terhadap Anha itu berhenti ketika mereka sudah sampai di rumah. Anha tidak berkomentar apapun sedari tadi juga. Toh Ia tidak ditanyai pendapatnya. Anha juga tidak mau mengurusi hal itu, pura-pura tidak tahu saja nanti—
Menyuruh adik-adiknya untuk mandi, Anha memilih untuk segera memasak makan malam yang mudah. Ibunya menyuruhnya untuk membeli makanan, tapi Anha sudah kehabisan ide dan ia coba-coba masak saja sesuai buku resep. Sudah beberapa kali ia melakukan ini. Ini agar adik-adiknya dapat asupan sayur yang dibutuhkan juga. Mungkin awal-awal masakannya agak gagal, tapi makin ke sini, masakannya semakin enak—kalau kata adik-adiknya.
Menggulung lengan kemeja sekolahnya hingga siku, Anha kini sudah siap memasak setelah menyalakan lampu rumahnya. Sebelum memasak lauk, Anha memasak nasi terlebih dahulu. Ia punya waktu yang cukup sampai maghrib datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathtaking
Teen FictionBaru satu kali memenangkan belasan lomba yang pernah diikuti bukan berarti tidak berbakat. Antara memang itulah takdir yang lebih baik, atau jangan-jangan wajah ini jelek? Tidak mungkin- Tapi, jangan sampai menyerah sebelum berhasil lagi. Hatimu jug...