Jiya menutupi wajahnya sepanjang perjalanan menuju sekolah. Duduk di kursi belakang mobil bersama Ayah dan Ibunya yang duduk di depan. Hari itu karena Ayah dan Ibunya berangkat pagi, jadi Jiya yang terbiasa berangkat naik bus itu diantar sekalian.
Di balik tangan yang menutupi wajahnya itu, ada Jiya yang tidak mengerti kenapa ia merasa semalu ini. Padahal hanya mengungkapkan sisinya yang sebenarnya. Tapi ia ingin menyublim mulai dari tadi malam.
Tapi agaknya manusia itu tidak bisa menyublim.
Tapi mungkin kalau minta Thanos menjentikkan jemarinya saat ia memakai sarung tangan berbatu enam itu agaknya Jiya bisa menyublim. Kalau dia terpilih sebagai 50% penduduk yang dihilangkan. Soalnya waktu itu saat Avengers : Infinity War masih main super trending, ada link berisi pemilihan orang yang terpilih untuk tetap dan menghilang. Dia dan Ayahnya masuk ke 50% penduduk yang terkena jentikan jemari Thanos sementara Ibu dan Masnya baik-baik saja.
Agaknya Jiya harus negosiasi dengan Thanos. Ya, Negosiasi penyubliman dirinya sendiri.
"Aduh, Ya Allah tolong! Hamba malu!" keluh Jiya kemudian menunduk kencang hingga terantuk meja bangkunya. "Aduh."
"Tumben Malu?" Dewi menaikkan salah satu alisnya melihat Jiya yang duduk di sampingnya. Faisha mengangguk setuju. "Ho oh. Biasanya enggak ada malunya."
Setelah itu mereka malah melakukan tos kebahagiaan atas dasar berhasilnya hujatan double dari mereka. Jiya berdecih tidak suka. Ia melipat tangannya di atas meja dan bersandar di atasnya. "Giliran ngejek bestie aja kompak. Memang bestai kalian."
"Memangnya kita bestie-an?" tanya Faisha secara tiba-tiba. Jiya duduk tegak karena terkejut dengan kening mengerut tidak percaya dan mulu menganga. Jiya dengan dramatis memalingkan wajahnya dan mengambil tasnya. "Oh gituh?! Jadi kalian bukan bestie akuh?!"
"WEH TUNGGU DULU!" Faisha dengan cepat meraih tangan Jiya untuk duduk kembali. "Mari kita bicarakan baik-baik."
"Kamu masih punya sesuatu yang ingin dikatakan?" tanya Jiya dengan kepala dimiringkan dan kening mengerut. Tangannya juga bersedekap dengan angkuh. Hingga membuat Faisha berdecak sebelum menghela. "Kita ini kan ...."
"Kita ini kan ...?" Jiya mengernyit merasa penasaran. Faisha menepuk pundak Jiya beberapa kali. "We're family."
"Right ... RIGHT SORRY I FORGOT!" Jiya menepuk keningnya pun menghela napas dengan kencang. Faisha menggeleng dengan senyum simpul. "No problem man. Next time, remember it properly."
"Yeah, right ... sorry." Jiya menghela napasnya lagi-lagi dengan dramatis. Sementara Dewi hanya bisa bersedekap melihat kedua temannya yang berakting tidak jelas. Kalau boleh, ia ingin menyublim juga.
Memang sahabat sejati, ketiganya sama-sama ingin menyublim dari dunia ini.
Jiya menarik dan menghembuskan napasnya dengan teratur ketika ia sampai di depan pintu perpustakaan. Dia tidak begitu siap menemui Anha. Anha mungkin sudah sampai di dalam. Atau mungkin juga belum sampai.
Jiya menggigit bibir dalamnya. Keningnya mengerut dalam. Cuma pasal begini saja ia sampai berdebar kencang. Jiya hanya kecewa, padahal dari pertama kali bertemu dengan Anha, ia mencoba keras untuk tidak menampakkan kegilaannya. Tapi dia sudah kacau semalam, sekarang waktunya menghadapi kenyataan.
"Loh, Ziya? Nggak masuk?"
Jiya menoleh cepat ke samping kiri saat mendengar suara yang begitu familiar di telinganya. Di sana Anha yang lebih tinggi 10 centi darinya tengah tersenyum ramah meski salah satu alisnya dinaikkan heran. Jiya dengan gelagapan menyingkir dari depan pintu perpustakaan. "Eh! H-halo, Anha."
"Halo juga." Anha menyapa balik dengan senyum yang lebih manis lagi. Jiya tertohok melihat kemanisan yang memancar dari Anha. Benar-benar murni. Anha manisnya bukan main.
Anha pun membuka pintu perpustakaan lebih dulu dan masuk ke dalam. "Assalamu'alaikum ...."
Jiya mengerjap beberapa kali. Anha nampak tidak begitu canggung dengannya. Lihatlah dia, bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa. Ada dua kemungkinan. Yang pertama; Anha melihat statusnya dengan pencet cepat karena statusnya datang beruntun. Yang kedua; Anha melihat satu-satu tapi tidak begitu mempermasalahkan karakter Jiya.
Orang-orang memang punya kepribadian yang berbeda-beda. Begitu pula selera mereka masing-masing. Tapi tetap saja, untuk memastikan, mari kita bertanya kepada Anha.
"Anha." panggil Jiya pelan. Anha yang tengah menyalakan komputer yang biasa ia gunakan dari kemarin itu menoleh dengan kedua alis penasaran. Jiya jadi ikut mengulas senyum—gugup. "Kamu—sukanya nonton apa?"
"Hm?" Anha dengan senyum ramah dan eskpresi heran itu memiringkan kepalanya. Jiya menunjukkan cengirannya. "Maksudku—kamu kalau lagi luang ... gitu, ngapain?"
"Oh, kayak hobi gitu?" tanya Anha memastikan. Jiya mengangguk beberapa kali. Anha mengalihkan pandangannya untuk berpikir sejenak. "Aku suka nonton kayak ... dokumenter-dokumenter gitu, kayak Nat Geo Wild? Tahu, kan?"
"Iya." Jiya mengangguk beberapa kali. Anha mengernyit. "Kayaknya aku nonton acara kayak Nat Geo Wild terus soal hewan. Apa nanti aku jadi dokter hewan aja ya?"
"Boleh juga tuh." sahut Jiya hingga membuat Anha terkekeh pelan. "Terus aku juga—aku baca buku sih. Apa aja, kecuali buku paket pelajaran. Maksudku—aku ada keinginan buat baca mereka, cuma begitu lihat aja moodku langsung jelek. Mending tidur."
Jiya mendengus jenaka mendengar lelucon kecil Anha. Anha tersenyum simpul. Ia mendehum panjang untuk berpikir. Awalnya mencoba untuk menambahkan jawabannya tapi ia sudah tidak bisa menjelaskan dengan baik lagi. "Udah itu aja. Masih ada lagi tapi aku bingung ngejelasinnya. Hehe."
"Nggak masalah, makasih udah mau berbagi!" seru Jiya senang. Anha mengangguk beberapa kali. Awalnya mereka ingin kembali sibuk dengan cerpen masing-masing. Tapi Anha secara tiba-tiba berhenti untuk menoleh. "Mungkin kamu khawatir tentang pandanganku soal seleramu, Ziya?"
Jiya terpaku sejenak sebelum menggeleng. "Tadinya iya. Tapi enggak begitu, kalau kamu tanya sekarang."
"Bagus deh. Kamu enggak perlu khawatir soal itu sih. Ziya. Selera orang memang beda-beda, kan?" ujar Anha dengan senyum mengulas manis. Jiya lagi-lagi tertohok dengan pesona dari pria manis seperti Anha. Jiya mengangguk beberapa kali. "Glad to hear that from you."
Anha mendengus jenaka. "Statusmu juga lucu-lucu aku ketawa keras semalam."
Jiya awalnya ingin lega tadinya, tapi rupanya Anha benar-benar membaca statusnya satu-satu.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathtaking
Roman pour AdolescentsBaru satu kali memenangkan belasan lomba yang pernah diikuti bukan berarti tidak berbakat. Antara memang itulah takdir yang lebih baik, atau jangan-jangan wajah ini jelek? Tidak mungkin- Tapi, jangan sampai menyerah sebelum berhasil lagi. Hatimu jug...