19 : Pretty From Every Perspective

1 0 0
                                    

"Aduh ... ideku ga jalan sama sekali ... otakku dah panas ...." keluh Jiya pelan seraya membaringkan kepalanya di atas meja perpustakaan di mana ia dan Anha berdiskusi tentang cerpen mereka bersama. Anha yang sedang membuka buku-buku cerpen yang ia kumpulkan dari lemari-lemari besar perpustakaan itu mendongak untuk memperhatikan Jiya sejenak. "Kamu oke?"

"Enggak juga ...." jawab Jiya lemas dengan tangan yang merambat naik untuk mengusap pelan kepalanya. "Akhir-akhir ini kayaknya otak yang suka ngurusin kerjaan menulisku mulai enggak bekerja dengan baik, huh ... ini siapa yang salah ya? Atau aku yang mulai rada-rada?"

"Aku kenapa ... aku kenapa ...?" gumam Jiya memukul pelan kepalanya. Anha mengerjap gugup, was-was karena ia sepertinya mengetahui apa yang agaknya inti dari masalah Jiya sekarang ini. Jiya kembali duduk dengan tegap secara tiba-tiba sampai Anha tersentak kaget.

"Kamu tahu enggak aku kenapa?" tanya Jiya dengan kernyitan tipis serius. Anha mulai gelagapan. "Eh? Ah—aku mana tahu ...? Ahahah."

Jiya berdecak pelan sebelum menunduk lesu. Kemudian memajukan kursinya untuk kembali bekerja dengan serius. Ia menopang dagunya. "Ya udah. Jadi? Kamu udah nemu gimana caranya alurnya jalan dengan baik?"

"Iya, aku nemu—"

Anha mulai menjelaskan ide yang ia temukan setelah membaca beberapa buku yang ia pinjam di perpustakaan. Jiya pun mendengarkan dengan serius. Berkat ide yang diberikan Anha, Jiya kembali terinspirasi dan merasa kalau dirinya sebenarnya baik-baik saja. Anha tersenyum kecil, merasa lega melihatnya. Mungkin tadi Jiya memang sedang kehabisan ide.

Bukan karena ia terancam terkena writer's block.

"Tapi Anha tahu? Aku tuh sebenernya bingung. Ini aku emang lagi kehabisan ide aja atau aku mulai males gitu." Jiya mulai bercerita sembari membuka-buka buku yang diambil oleh Anha untuk bahan mereka mencari ide. Anha sempat berhenti sejenak dengan lirikan, memberitahu Jiya secara tidak langsung bahwa ia tengah mendengarkan. Sebelum akhirnya kembali melanjutkan kegiatannya sembari mendengarkan Jiya bercerita.

"Tadi kayaknya aku lagi lucky aja. Alhamdulillah bisa langsung dapet ide lagi habis kamu ceritain idemu. Soalnya akhir-akhir ini biasanya enggak gitu. Padahal dulu dengerin lagu atau baca cerita orang lain aja langsung muncul semangat baru. Tapi sekarang dua-duanya enggak bekerja sama sekali. Aku enggak dapat getarannya sama sekali," jelas Jiya panjang lebar. Ia membuka halaman buku yang ia pegang dengan acak. Entah mencari apa, kini pikirannya teralihkan. Hingga ia menutupi wajahnya dengan buku di tangannya. Suaranya teredam saat keluar. "Anha, aku—"

Anha berhenti menulis saat mendengar nada bicara Jiya. Ia mendongak untuk melihat keadaan Jiya apakah perempuan itu baik-baik saja atau tidak. Tapi Anha tidak bisa melihat wajahnya sama sekali karena Jiya memilih untuk menghalangi wajahnya dengan buku di tangannya. Anha tidak bisa melihat air muka yang tengah dibentuk Jiya saat itu.

Jiya hampir menangis. Namun ia berhasil menahan isakannya sebelum berbicara. Jadi semuanya terlihat baik-baik saja. Tapi kata-kata yang ia lontarkan tidak.

"Aku takut," tutur Jiya pelan.

Anha terpaku mendengar ungkapan jujur dari Jiya. Sering kali sejak SMP dulu dia dijadikan tempat bercerita teman-temannya. Tapi belum pernah Anha sebingung dan sekhawatir ini-selain kepada adik-adiknya-begitu mendengar cerita dari orang lain. Anha mendeguk gugup, writer's block itu diam-diam mengerikan. Efeknya tidak terlihat dari luar. Tapi bagi hati seorang penulis, itu sudah merusak sebagian dari hatinya. Bisa terjebak di dalam fase itu selama beberapa bulan hingga beberapa tahun dan itu tidak enak sekali. Anha tahu betul bagaimana rasanya.

"Yah tapi—! Asal sekarang aku bisa keluarin ide, semua akan baik-baik saja Insya Allah," sambung Jiya tiba-tiba. Kini menurunkan bukunya dan mengulas senyum lebar penuh optimis dan semangat seperti biasanya. Sekarang Anha yang tidak tahu harus lega atau tidak. Dia harus berhasil mengobservasi dalam waktu dekat, apa Jiya masih menyembunyikan sesuatu-berhubungan dengan karir menulisnya-atau semua perasaannya sudah ia tuangkan ke dalam ceritanya tadi.

"Anha juga berpikir kayak gitu, kan? Mungkin ini semua hanya perasaanku saja," tanya Jiya meminta pendapat Anha. Ia akhiri pertanyaannya dengan endikan bahu abai. Anha mengulas senyum kecil setelah sejenak memperhatikan Jiya. "Tapi hati-hati juga ya."

"Take a break dari dunia menulismu itu nggak ada salahnya," sambung Anha meski kedua matanya fokus dengan tulisannya. Tadi Jiya beri ide untuk mereka menyelipkan sebuah puisi apik di dalam cerpen mereka. Jadi mereka mulai membuat kerangkanya sekarang.

Jiya yang mendengar nasehat Anha itu terpaku sejenak sebelum menunduk agak tersipu. "Oke."

Keduanya mulai kembali sibuk pada kegiatan masing-masing. Jiya mencari ide sementara Anha menulis kerangka puisi mereka. Namun di tengah perjalanannya menulis, Anha mengernyit tipis merasa tidak puas dengan hasil tulisannya.

"Kalau kata-katanya kayak gini kurang kena di hati enggak sih? Otakku juga mulai capek mikir nih," ujar Anha menyodorkan sketsa puisinya pada Jiya. Jiya mendongak dan membawa kertas tersebut mendekat ke arahnya, diiringi kekehan pelan mendengar pernyataan yang dilontarkan Anha setelah bertanya. Jiya membaca kerangka puisi Anha dengan cepat dari awal sampai akhir. Kemudian ia menaikkan kedua alisnya begitu mendapat ide bagus. "Ditambah jadi gini aja ...."

Jiya mengambil pensilnya yang berada tak jauh dari tangannya. Kemudian menulis kata-kata tambahan atau pengganti yang baginya lebih cocok. Sementara Anha menopang dagunya sembari menatap tulisan Jiya.

Awalnya begitu, namun pandangannya langsung beralih ke wajah Jiya. Tadinya sih mau ambil buku untuk cari ide lagi. Tapi atensinya teralihkan dengan mudah.

Bulu mata Jiya panjang. Ia cantik dari perspektif manapun. Saat menunduk serius begini saja cantik. Anha jadi larut sendiri dalam memandang Jiya.

Jiya yang akhirnya selesai menulis itu pun meletakkan pensilnya dan menggeser kertas tersebut kembali pada Anha, "Nih, gimana menurutm—"

Ucapan Jiya terhenti saat menyadari bahwa Anha menatapnya dalam-dalam. Sempat selama beberapa detik mereka berkontak mata dengan kaku. Jiya dengan mata membulat terkejut sementara Anha dengan pandangan lembut yang mengagumi Jiya.

Mereka yang larut dalam kontak mata itu menoleh terkejut saat mendengar pintu perpustakaan terbuka dan nama mereka dipanggil oleh Bu Eila yang secara tiba-tiba hadir di sana, "Loh? Jiya sama Anha tah? Belom pada pulang?"

"I-Iya Bu—" jawab keduanya bersamaan.

Bu Eila tersenyum dan duduk di sebelah Jiya. "Sampe mana ceritanya?"

Jiya pun dengan sigap langsung menceritakan alur yang sudah ia kerjakan dengan Anha dari awal sampai akhir. Bercerita panjang lebar seiring berusaha untuk melupakan kontak mata terpanjangnya dengan Anha. Tadi itu kaku, tapi mendebarkan di saat yang bersamaan. Jiya tidak pernah tahu apa yang terjadi di dalam kepala Anha, dia juga pria yang cukup misterius.

Puitis, tanpa sadar misterius, dan manis. Paket lengkap dengan nama Amnan Hamza. Jujur pria itu memang masuk ke dalam daftar tipe pria idamannya.

Bersambung....

BreathtakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang