6 : Let's Go Home Together!

1 0 0
                                    

"Eh Ziya. Nanti mau pulang bareng aku enggak?"


Jiya menoleh terkejut. "Hah?"


Hah? Hah? Hah? Apa ...?


"Eh enggak—maksudnya itu karena kemarin aku lihat kamu juga jalan kaki lewat belakang sekolah—jadi aku pikir—kita bisa jalan bareng sampe halte—gitu—" jelas Anha dengan sedikit gugup. Jiya yang mengerjap pelan itu akhirnya tertawa. "Oalah ... haha! Oke deh, boleh boleh. Kamu berangkat ke sekolah naik bus juga?"


"Enggak sih aku naik sepeda," jawab Anha dengan gelengan pelan. Jiya mengangguk paham meskipun matanya fokus dengan komputer di hadapannya. "Ooh ...."


"Rumahnya ke arah kanan makanya kamu lewat belakang sekolah, ya?" tanya Jiya. Anha mengangguk beberapa kali sebagai jawaban. "Tempat parkir juga ada di belakang sekolah, jadi—you knowlah."


"Hum, hum." Jiya mengangguk sembari menatap ke arah komputernya. Anha mengerjap beberapa kali menatap Jiya sebelum akhirnya dia juga ikut sibuk dengan cerpennya. Hari ini hari terakhir membenarkan cerpen mereka masing-masing. Jiya yang suka melanjutkan cerpennya di rumah itu hari ini tinggal merevisi cerpennya sebelum ditunjukkan ke Bu Eila.


Jiya sesekali juga melirik ke arah Anha untuk mengobservasi bagaimana Anha mengetik. Cepat, dia pakai sepuluh jari. Jujur Jiya ingin belajar untuk mengetik pakai sepuluh jari karena sejauh ini dia masih pakai enam sampai tujuh jari. Maksudnya—tidak dosa kalau kamu tidak bisa mengetik pakai sepuluh jari, Jiya juga masih bisa mengetik dengan cepat walaupun dia pakai enam jarinya saja. 


Tapi dia ingin pamer ke ibunya yang bisa pakai sepuluh jari juga itu.


"Bu Eila." Anha berbalik untuk memanggil Bu Eila yang duduk di sofa sembari memeriksa nilai ulangan anak-anaknya. Bu Eila pun berhenti menulis untuk menghampiri Anha. "Gimana Anha?"


"Anu Bu—kan saya pilih buat ngejelasin kayak gini, tapi menurut saya paragrafnya kurang mudah dimengerti, menurut Bu Eila gimana?" tanya Anha dengan pelan. Bu Eila pun mendekat untuk membaca paragraf yang dimaksud Anha. Terdiam selama membaca, Bu Eila pun mendehum setuju, "Hum. Baik-baik aja menurut Ibu. Gimana kalo kamu coba tanya sama Jiya?"


"Ya?" Jiya menoleh heran setengah kaget. Bu Eila tersenyum jahil. "Ayo Anha, tanya gih."


"Ini paragrafnya menurutmu mudah dipahami enggak?" tanya Anha dengan berani. Jiya pun mendekati komputer Anha dengan penasaran. Sebagai gantinya Anha yang menggeser kursinya sedikit menjauh. Jiya pun secara perlahan dan cermat membaca paragraf yang Anha maksud. 


Jiya menaikkan kedua alisnya. "Kalau kamu pengen ini lebih mudah dipahami, lebih baik yang ini kamu ubah jadi gini—"


Anha mendengarkan Jiya dengan baik. Bu Eila tersenyum melihat keakraban keduanya. Anha yang tidak sungkan belajar lebih dari Jiya membuat Bu Eila terkesan.


"Gitu aja gimana?" tanya Jiya saat dia sudah selesai membantu Anha. Anha mengangguk kencang dengan semangat. "Makasih ya."

BreathtakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang