Anha yang baru saja keluar dari ruang guru itu menoleh ke arah lapangan-posisinya dekat dengan ruang guru. Tadi dia datang ke ruang guru demi mengambil buku tugas kelasnya yang dikumpulkan. Saat menoleh ke lapangan, ia bisa melihat kelas Jiya sedang belajar bermain voli.
Anha mengerjap pelan melihat Jiya yang mengulas senyum lebar dengan tangan terampil melakukan passing atas di depan temannya. Awalnya ia ingin menyapa Jiya saat mata mereka bertemu sehabis ini. Tapi saat binar mereka akhirnya bertemu, badan Anha malah kaku dan tangannya tidak terangkat untuk menyapa Jiya. Jiya nampak terdiam—kurang dari lima detik—menatap Anha sebelum mengalihkan pandangannya kembali.
Anha pada akhirnya menghela napas tipis sembari berbalik. Sapa nanti saja tidak apa-apa. Iya kalau bertemu lagi.
Dan ternyata mereka memang bertemu lagi saat jam makan siang di kantin. Anha yang baru saja masuk di area kantin itu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Berpikir makanan apa yang akan ia makan hari ini. Saat ia menoleh ke arah murid-murid yang tengah mengantri di depan vending machine, kedua alisnya naik tertarik. Di sana—seperti biasa—ada Jiya yang sedang mengantri juga. Ia nampak melipat tangan di depan dada dan bertumpu pada kaki kirinya.
Jarak di antara mereka adalah dari ujung ke ujung. Meski kantin adalah ruangan yang terbuka sebenarnya. Anha reflek—secara tanpa sadar—mengulas senyum lebar melihat keberadaan Jiya di ujung kantin sana. Kakinya mulai bergeser untuk melangkah menuju Jiya. Tapi begitu ia memutar badannya, entah kenapa kakinya jadi enggan untuk melangkah ke arah Jiya. Sampai ia terpaku sepersekian detik di tempat.
"Anha," panggil Hanan.
Anha menoleh cepat. Melihat ekspresi Hanan yang kebingungan itu membuatnya gelagapan. "Enggak, enggak. Yuk lanjut antri."
Hanan pun menuruti ajakan Anha dan berjalan di sampingnya. Mereka terdiam sejenak dengan canggung. Hanan membawa tangannya untuk membenarkan kacamatanya. "Aku lihat kamu akhir-akhir ini kayak enggan gitu buat nyapa gebetanmu."
"Gebetan—?!" Anha mengernyit kaget menatap Hanan. Hanan lagi-lagi hanya bisa menaikkan salah satu alisnya. "Oh, salah?"
"Salah besar!" Anha menggeleng kencang. Hanan mengendik. "Habisnya senyummu lebar betul kalau udah ngelihat dia. Itu baru ngelihat loh, belum nyapa terus ngobrol."
Anha terdiam mendengar pernyataan Hanan. Ia jadi bertanya-tanya, Afah iyah selama ini akuh begituh?
"Anha," panggil Hanan lagi.
Anha menoleh sebagai jawaban. Hanan menyentuh telinganya pelan. "Aku punya telinga buat dengerin ceritamu."
"Dia definitely kesel sama kamu." Hanan menggeleng setelah mendengar keseluruh cerita Anha di kelas-ada Fahmi juga. Hanan mengimbuh di tengah kunyahannya. "Atau dia juga udah benci sama kamu."
"Setuju'kan?" tanya Hanan pada Fahmi yang sedang sibuk bermain game di ponselnya. Tapi Fahmi yang masih mengikuti perbincangan itu sanggup menjawab dengan mengangguk beberapa kali.
Anha menggaruk belakang kepalanya. Dia tidak mengerti di mana letak kesalahannya. Apa seperti yang ia duga-duga? Jiya kesal dengannya karena dia yang mendapat kemenangan di lomba kemarin?
Tapi Anha juga berusaha keras untuk mendapatkan itu. Anha pun juga ingin Jiya menang bersamanya. Mengetahui Jiya kemarin dengan suka rela dan senang hati membantunya dalam proses mengetik cerita pendeknya setiap ia merasa kesusahan. Entah itu di bagian bahasa atau bagaimana ceritanya berjalan.
Ketika Jiya tidak berhasil memenangkan lombanya, pun Anha juga merasa sedih. Juga kesal pada dirinya sendiri. Ia merasa telah mengambil keuntungan tanpa mengucapkan terima kasih dari Jiya.
"Tapi dia kayak gitu itu semenjak hari setelah pengumumannya dateng. Aku menang tapi dia enggak menang," jelas Anha lagi. "Aku enggak paham salahku di mana. Maksudku—mungkin, karena dia yang justru bantuin aku selama proses pembuatan cerpen malah enggak menang, makanya dia jadi kesel sama aku gitu."
"Aku ngerasa kalau aku mengambil keuntungan dari dia, tanpa bilang terima kasih. Ya tapi habis dibantuin aku selalu bilang terima kasih." Anha kembali bercerita tentang apa yang ia rasakan.
Fahmi meletakkan ponselnya pelan. "Berarti bukan kamu yang salah dong."
"Kamu yang kebetulan dapet menang kok, kalau emang udah bilang terima kasih sama dia karena udah dibantuin ya udah, berarti untuk di posisimu yang sekarang ini kamu enggak salah apa-apa," jelas Fahmi dengan endikan bahu abai.
"Tapi semisal kamu yang ambil langkah duluan dengan cara minta maaf buat memperbaiki pertemanan kalian ya silakan juga." Fahmi bersedekap. "Enggak salah."
Anha menarik dan membuang napasnya. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela kelas. Tapi kalau dipikir-pikir dia pun juga malas karena pertemanan mereka sudah canggung begini sekarang.
"Aku juga sekarang jadi agak malas gitu." Anha bersedekap dengan helaan lelah. Fahmi mengendik. "Yaudah sih."
Tak begitu puas mendengar respon Fahmi, Anha pun menoleh pada Hanan yang berada di tengah proses makan siangnya. Hanan yang merasa ditatap itu mengacungkan ibu jarinya. "Ya udah sih."
Karena Anha memilih untuk mengikuti hatinya hari itu, ia dan Jiya—apabila bertemu—tidak pernah saling menyapa lagi. Bahkan saat mereka tak sengaja saling bertatapan, pandangannya sama-sama dengan cepat dialihkan dari satu sama lain. Persis seperti sebelum berkenalan. Anha dan Jiya bertingkah seperti orang asing pada satu sama lain.
Pada awalnya Anha benar-benar merasa canggung. Masih ragu mau sapa atau tidak. Tapi setelah beberapa hari berjalan, Anha sudah bisa melewati Jiya begitu saja.
Pernah saat itu Jiya yang menyusuri lorong sekolah—dalam perjalanan mau pulang—dipanggil namanya oleh Anha. "Jiya!"
Jiya berbalik dan mendapati Anha yang berlari kecil mendekatinya. Anha membawa enamel pin karakter anime kesukaannya. Agaknya benda itu jatuh dari tasnya. Anha menyodorkan pin tersebut. "Jatuh, punya kamu ya?"
"Eh! Iya—wah—makasih loh!" ujar Jiya dengan gelagapan. Anha mengangguk beberapa kali sembari meletakkan pin tersebut di tangan Jiya. Ia pun melangkah lebih dulu. "Duluan ya."
Nanti ketika tahun ajaran baru selanjutnya datang, kelas mereka akan dirolling. Mereka hanya bisa berdoa semoga mereka tidak berakhir di dalam kelas yang sama. Keduanya sama-sama tidak ingin merasakan kecanggungan yang kemungkinan akan datang setiap hari apabila mereka ada di kelas yang sama.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathtaking
Подростковая литератураBaru satu kali memenangkan belasan lomba yang pernah diikuti bukan berarti tidak berbakat. Antara memang itulah takdir yang lebih baik, atau jangan-jangan wajah ini jelek? Tidak mungkin- Tapi, jangan sampai menyerah sebelum berhasil lagi. Hatimu jug...