"Lihat gimana ributnya mereka tadi tahu kalau kamu mau nonton anime juga."
Sementara Jiya tertawa mengingat bagaimana Anha yang dikerumuni oleh laki-laki penonton anime di kelas mereka. Anha tertawa gugup karena agak malu mengingat ia malah memicu rumor hubungannya dengan Jiya semakin dipertanyakan. Yang membuat Jiya tertawa adalah karena ia lihat Anha terbiasa sibuk dengan dunianya sendiri kalau di kelas, terkadang mengobrol dengan Nanda yang hobinya menyendiri juga. Agaknya keduanya bisa mengobrol panjang karena cukup sefrekuensi.
"Sorry ya, malah—kayaknya memicu rumor kita jadian semakin menjadi-jadi," ujar Anha merasa bersalah. Jiya berhenti tertawa untuk mendengarkan. Namun ia berakhir menggeleng dengan kekehan pelan. "Oh, let them be."
"Enggak usah dipeduliin," imbuh Jiya santai.
Keduanya berakhir terdiam sejenak tidak ada lagi yang berbicara. Kemudian Anha akhirnya mengingat kalau ia haru smengembalikan buku yang ia pinjam dari Jiya. Anha menyodorkan bukunya. "Makasih."
"Oh! Cepet ya kamu bacanya, ini kamu sempetin nonton animenya juga?" tanya Jiya dengan tangan meraih bukunya. Anha mengangguk beberapa kali. Jiya menaikkan kedua alisnya tertarik. Dan pria ini masih bisa mengerjakan semua PR dengan tepat waktu. Mungkin dia mengerjakannya tepat di hari PR itu diterima.
"Aku suka idemu, aku jadi ada ide lagi. Gimana kalau kita pakai idemu sebagai ide dasarnya aja terus dikembangin?" tawar Anha. Jiya mengangguk setuju sembari memasukkan bukunya ke dalam tas. "Setuju, setuju."
"Tapi kita banyak diskusi di wasaf aja enggak papa?" tanya Anha ragu. Jiya memiringkan kepalanya bingung. "Enak langsung sih—tapi boleh, emangnya kenapa kok di wasaf?"
"Aku enggak bisa pulang terlalu sore. Kayak sampai jam lima gitu aku enggak bisa," jawab Anha bersama gelengan khawatir. Jiya mengangguk paham. "Oke. Aku bisa-bisa aja. Tapi maaf kalau semisal kata-kataku kurang mudah dipahami nanti. Kamu bisa tanya kalau enggak paham aku ngetik apa."
Anha mengangguk paham dengan semangat. Jiya berdehum panjang memikirkan solusi lain. "Oh! Atau ... kita bisa diskusi pas jam makan siang juga, kalau kamu mau."
"Oh, itu juga boleh." Anha menjentikkan jemari ke arah Jiya tanda setuju. Jiya tersenyum bangga pada dirinya sendiri.
"Anha, lepas dasimu."
Anha mendongak cepat mendengar titahan Janu; salah satu teman sekelasnya. Janu dekat dengan ketua kelas mereka; Cinnamon. Tapi katanya hubungannya cuma sebatas teman.
Kernyitan kaget dan tidak percaya tertera jelas di kening Anha. Ia memeluk dirinya sendiri melindungi dirinya. "TIDAK MAU! JANGAN OM!"
"Heh ... dasimu ...! Bukan bajumu ...!" Junta berdecak melihat reaksi Anha. Sementara yang lain-warga kelas laki-laki yang mendatangi Anha tidak hanya Janu-tertawa melihat reaksi Anha. Anha sebenarnya hanya terkejut saja, dia tidak masalah tapi kebingungan. Anha pun menurunkan tangannya. "Buat apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathtaking
Teen FictionBaru satu kali memenangkan belasan lomba yang pernah diikuti bukan berarti tidak berbakat. Antara memang itulah takdir yang lebih baik, atau jangan-jangan wajah ini jelek? Tidak mungkin- Tapi, jangan sampai menyerah sebelum berhasil lagi. Hatimu jug...