"Anha bisa nulis pakai tangan kiri enggak?"
Anha berhenti mengetik untuk mendengar Jiya yang ada di sebelahnya. Anha mengernyit tipis mengolah pertanyaan Jiya. Menulis dengan tangan kiri? Anha melirik ke arah tangan kirinya. "Enggak—sih—eh? Enggak pernah nyoba."
"Kamu tahu enggak sih? Agam. Anak kelasku, dia bisa pake dua-dua tangannya." ujar Jiya sembari mengangkat tangannya sebatas wajah. Mengobservasi tangannya sendiri. Anha memiringkan kepalanya. "Maksudnya?"
"Maksudnya dia bisa menggunakan kedua tangannya dengan baik, gitu!" seru Jiya. Anha pun mengangguk paham bersama dehuman panjang. Sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan kegiatannya sore itu, mengetik cerpen bersama Jiya. Namun Jiya tampak luar biasa santai. Ia memutar kursi yang ia duduki ke kanan dan ke kiri. Sesekali kepalanya terantuk asik memainkan lagu di dalam kepalanya sendiri.
Gerakannya masih persis seperti biasanya. Tidak bisa diam. Betul-betul berbeda dengan Anha. Namun Anha nampak tidak terganggu dengan apa yang Jiya lakukan.
Kalau dari yang Anha observasi—secara lebih dekat—selama tiga hari ini, Jiya anak yang cukup misterius(?). Atau mungkin ini karena Anha memang belum mengenal Jiya itu orang seperti apa. Sejauh ini Anha hanya mendapatkan informasi berupa; Jiya—agaknya—orang yang easy-going. Itu pun masih agaknya, Anha masih super ragu padahal dia suka mengobservasi orang lain. Dan observasinya terhadap Jiya ini rupanya berjalan lebih lama dari yang ia kira.
"Eh, kita belum tukeran nomor. Di grup angkatan, nomormu yang mana?" tanya Anha dengan sigap mengeluarkan ponselnya. Jiya pun menyebutkan ciri-ciri kontak chatnya agar Anha bisa menyimpan nomornya. Setelah itu, notifikasi ponsel Jiya berbunyi—chat dari Anha agar Jiya tahu itu nomornya. Jiya tersenyum. "Oke ... aku simpan nomormu."
"Wuah! GILAK, GILAK! KALAU SUDAH BEDA DIMENSI ITU BAIKNYA TIDAK USAH TAMPAN-TAMPAN!" keluh Jiya kencang-kencang saat membaca komik asal jepang di kamarnya. Ia mengambil kesempatan untuk screenshot keadaan layar ponselnya saat itu sebelum mengunggah hasil screenshot-annya di status Wasaf.
"Absolutely 100% my type. On paper." ujarnya dengan kedua tangan dibawa membentuk menguncup dengan kedua mata terpejam khitmad. Di tengah-tengah kegiatannya malam itu, Jiya mendengar namanya dipanggil dari luar kamar. "ADEK! AYO MAKAN SUP BADAK GORENGNYA! Kamu itu di kamar terus ntar lama-lama mengkerut!"
"Apanya yang mengkerut Mak?" tanya Jiya dengan santai saat membuka pintu kamarnya. Mamaknya Jiya yang sedang menyapa tanaman rumahnya itu menoleh. "Tas sekolah kamu."
"Ih, mana ada Mak ... itu kan cuma mitos ...." Jiya menggeleng tidak percaya sembari mengambil piring makan. Mamaknya Jiya menggeleng bersama kening yang dikerutkan. "Kamu tadi ngapain di kamar? Kayaknya sibuk banget sampe teriak-teriak. Tadi Ayah bokernya jadi kurang tenang."
"Pacaran Mak." jawab Jiya sebelum melahap supnya. Mamaknya mengangguk beberapa kali, masih dengan tangan yang sibuk mengusap bersih daun-daun sirih gading yang ada di vas besarnya. "Kalau husbu kamu itu punya uang sih enggak apa. Mamak ijinin."
"Tumben Mak, biasanya kokoh dengan pendirian. Tidak mau mengizinkan anak bungsunya untuk bermesraan dengan pria dua dimensi." Jiya menaikkan kedua alisnya merasa senang. Ia sampai meletakkan sendoknya sementara untuk mendengar jawaban dari Mamaknya. Mamaknya Jiya mengendik abai. "Capek. Palingan nanti pas Ayahmu enggak ngijinin Mamak kembali ke pendirian Mamak lagi."
"Cih, mendokuse." Jiya menghalangi pandangannya dengan tangan lurus seperti ingin hormat. Sementara tangan kanannya lanjut menyendok sup badak gorengnya. Jiya melirik saat mendengar langkah kaki mendekat ke arah meja makan. Di situ ia mengerutkan keningnya tak suka saat menyadari bahwa itu adalah kakak laki-lakinya.
"Dek, aku udah download Kimetsu no Yaiba." ujarnya sembari bertumpu di meja makan. Karena malas memberikan respon, Jiya membawa kedua ibu jarinya untuk mengacung mantap. "Oke."
Tak lama kemudian Ayahnya Jiya ikut turun ke bawah dan akhirnya mereka makan bersama di ruang makan. Berbincang lama hingga jam setengah sepuluh, Jiya yang sedang berbaring di karpet menerawang masa lalu itu mengerjap pelan. Sedari tadi seperti ada sesuatu yang salah menghadiri hatinya. Ia agak gelisah maka dari itu ia mencoba mengingat-ingat apa yang salah darinya.
Tepat beberapa detik semenjak ia duduk, ia membelalakkan kedua matanya dan lari ke atas dengan panik sampai membuat yang lainnya menoleh terkejut ke arahnya. Jiya dengan kasar membuka pintu kamarnya dan menghampiri ponselnya. Dengan panik ia membuka ponselnya. "ADUH! STATUS GUEH. BELOM NGE-HIDE ANHA!"
Dia sudah mati-matian menjaga imagenya di depan laki-laki itu. Dan sekarang dia tidak sengaja membuka imagenya yang sebenarnya. Seorang penyuka karakter dua dimensi yang suka spam status Wasaf random nan tidak jelas. Jiya tergeletak penuh drama di lantai setelah mengetahui bahwa Anha sudah melihat semua statusnya yang beruntun seperti berjualan sesuatu.
Jiya menghela kencang, "Mampus aku."
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathtaking
Genç KurguBaru satu kali memenangkan belasan lomba yang pernah diikuti bukan berarti tidak berbakat. Antara memang itulah takdir yang lebih baik, atau jangan-jangan wajah ini jelek? Tidak mungkin- Tapi, jangan sampai menyerah sebelum berhasil lagi. Hatimu jug...