10 : Why is He Here too?!

1 0 0
                                    

Salah satu cara bagi Jiya untuk menyembuhkan dirinya sendiri dari rasa kecewa setelah mendengar kekalahannya adalah, pergi ekskul dan berbincang dengan teman-teman ekskulnya. Tidak hanya teman seumuran, malah justru kebanyakan temannya di sana adalah senior-seniornya. Jiya anak yang aktif kalau sudah bicara soal ekskul fotografinya. 

Pada awalnya, dia yang sama sekali tidak punya teman itu memberanikan diri untuk mengikuti project film pertama di tahun ajaran baru itu. Itu film pertama baginya, tapi bukan yang pertama untuk ekskulnya. Project itu ada di sekitar awal Agustus. Jiya memberanikan diri menulis namanya di dalam daftar orang yang ingin ikut mengerjakan project film pendek tersebut. Projek itu ada karena mereka ingin mengikutkan film tersebut ke dalam sebuah lomba.

Jiya memang belum bertindak banyak, ia membawa tripod dan lighting yang kebetulan ia punya sendiri. Tidak begitu ikut membuat naskah meskipun dia bisa menulis. Karena saat itu dia belum punya ide banyak. Tapi begitu menceritakan kepada kakak kelasnya kalau dia suka  menulis, di project-project mendatang berikutnya, Jiya sering diajak. Jiya jadi merasa semangat luar biasa kalau sudah waktunya berkumpul dengan senior-senior ekskulnya. 

Meskipun dia perempuan kelas sepuluh sendiri, tapi kini Jiya sudah tidak takut untuk hadir sebagai perempuan kelas 10 sendiri lagi. Karena sudah berulang kali mengalami hal yang sama. Plus kakak kelasnya dengan senang hati terus mengajaknya bergabung agar ia tidak merasa sendirian.

Kalau akhir-akhir ini, dia sudah mulai ada teman 1 sampai 2. Yang sering menemaninya kebanyakan dari kelas lain. Karena teman sekelasnya yang mengikuti ekskul yang sama dengannya suka malas-malas sendiri dari awal. Jadi Jiya tidak begitu berharap kalau mereka akan datang menemaninya setiap jadwal ekskul ada.

"Bestie ...! Aaaaaa ...!" seru Jiya dengan kedua tangan direntangkan menghampiri teman ekskulnya; Anjeli. Anjeli ikut merentangkan tangannya dan memekikkan pelan kata 'bestie' sembari menghampiri Jiya. Keduanya berpelukan singkat sebelum berjalan beriringan menuju kelas di mana ekskul mereka dilaksanakan. 

Tempat kelas mereka suka berganti-ganti. Tapi biasanya suka berakhir di kelas yang sama saja seperti kemarin, dan kemarinnya lagi. Anjeli bersedekap, "Bestie kamu tahu? Tadi aku di kelas pas Geografi, kan. Ditanyain aku sama gurunya, begini-begini-begini. Yaudah aku jawab sesuai apa yang diajarin tadi, kan. Reflek jawab bener gue."

"Eh kok terus disalahin? Loh, IBUK?" Anjeli dengan ekspersi wajahnya yang selalu dimaksimalkan itu membuat Jiya tertawa. Apalagi melihat kernyitannya yang tadi. Sangat-sangat nampak tersulut emosinya. 

"Ibuk, saya jawabnya bener loh Buk," sambung Anjeli dengan nada tidak terimanya. Lalu ia melanjutkan lagi ceritanya, "Yaudah—untungnya yang lain tadi langsung ikutan bingung karena kok jawaban saya salah padahal itu! Yang diomongin Ibunya tadi. Terus Ibunya pas dikasih tahu kalau tadi bilang begitu, ternyata Ibunya yang salah ngomong."

"Loh? Jadi pas Ibunya ngejelasin, beliau salah ngasih tahunya?" tanya Jiya dengan kepala dimiringkan. Anjeli mengangguk kencang. "Iya! Kan otomatis jawabanku ya salah karena Ibunya salah ngasih tahu duluan."

Jiya kembali tertawa mendengar penjelasan Anjeli. "Ibunya sarapannya kurang."

"Duh, padahal sekolah punya kantin," ujar Anjeli merengut tidak suka. Jiya menaikkan salah satu alisnya. "Habis istirahat toh?"

"Iya," jawab Anjeli singkat. Jiya mengangguk paham setelah berhasil menangkap semua hal yang diceritakan Anjeli saat itu. 

Keduanya tidak berbincang selama beberapa detik. Sebelum Anjeli mengingat sesuatu dan menoleh ke arah Jiya. Lipatan tangannya dibuka untuk menyentuh lengan Jiya. "Eh. Kemarin lomba cerpenmu, gimana? Menang atau enggak?"

BreathtakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang