07 : The Boy from Class Social-4

0 0 0
                                    

"Aah ... males banget, enggak selesai-selesai ini copy-paste catetanmu." 

Anha bersandar pada mejanya dengan lesu. Bersama buku catatan miliknya dan temannya; Fahmi. Fahmi yang sibuk memainkan game di dalam ponselnya itu menjawab tanpa menoleh, "Salah sendiri kemarin dibilangin kalau hari ini dicek catetannya bukannya ngerangkum semalam."

"Kayak enggak pernah males aja jadi orang," cibir Anha tak suka sembari melanjutkan proses menyalin catatan Fahmi. Fahmi berdecak kencang beberapa detik setelah tak menjawab cibiran Anha. Ini semua karena ia kalah dalam permainannya dan itu membuatnya bad mood sejenak. 

Fahmi meletakkan ponsel dengan kasar di atas meja. "Anha, ikut yok."

"Ke mana," tanya Anha tanpa nada bertanya. Fahmi yang awalnya duduk menyamping itu kini sepenuhnya berbalik menghadap Anha. "Aku sama Hanan mau main ke arkade."

"Main aja berdua, biar lebih romantis," jawab Anha tanpa menoleh sedikit pun. Hanan yang awalnya duduk di sebelah Anha tanpa menyahut apa pun sedari tadi itu langsung duduk tegak. "Maaf ya Fahmi, aku udah ada cewek. Bromancenya dikurangin ya."

"SAYA TAHU ANDA PUNYA CEWEK, IYA. UDAH—! PAMEEER AJA KERJAANMU ITU PAMEEEEEER AJA." sahut Fahmi dengan kesal. Hanan yang ekspresinya memang begitu begitu saja dan terus terang pun bersandar lagi dengan santai. "Kenapa? Iri ya kamu?"

"IYA," jawab Fahmi cepat, lalu pura-pura menangis setelahnya. Inginnya menutupi kedua mata dengan tangan secara perlahan nan dramatis. Tapi tangannya terangkat terlalu cepat hingga ia tak sengaja menampar dahinya sendiri. "Aduh—"

"Eh, tapi emangnya kenapa enggak mau ikut main nanti? Itu bercandaan atau serius?" tanya Hanan mengembalikan topik pada Anha. Anha menjawab, "Aku ikut lomba cerpen, nanti pulang harus ke perpus buat ketemu sama Bu Eila."

"Oh ...." Hanan mengangguk paham. "Good luck."

"Good luck." ujar Fahmi mengikuti Hanan. 

"Alah, alah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Alah, alah ...! Udah telat ini," keluh Anha dengan langkah kaki berlari kecil menyusuri lorong sekolah dari kelasnya menuju perpustakaan. Sesampainya ia di depan perpustakaan, ia sempat berhenti untuk mengatur napasnya. Kemudian membuka pintu dengan pelan, "Permisi."

Tepat ketika ia mendapati di mana Bu Eila berada, ia tersenyum kecil. Setelah masuk dan kembali menatap ke arah Bu Eila, ia mendapati adanya perempuan yang duduk di salah satu sofa perpustakaan, dekat dengan Bu Eila. Ia duduk dengan manis, kerudungnya instan dengan ukuran tidak kepanjangan dan tidak terlalu pendek. Sangat pas, sangat ideal.

Aplagi saat perempuan itu menoleh penasaran ke arahnya. Anha langsung mengingat siapa perempuan itu. Itu perempuan yang pernah ia lihat saat lomba baca puisi internal tiga bulan yang lalu!

Mereka memang sama-sama tidak menang, tapi Anha dengar perempuan itu membuat puisinya sendiri dan Anha jatuh cinta dengan tata bahasa perempuan itu. Paling cocok dengan hati Anha, bisa dibilang. Sekarang ini—langkah pertama yang harus Anha lakukan adalah, berkenalan seperti yang Bu Eila pesankan padanya tadi pagi.

"Hei," sapa Anha dengan ramah. 

Perempuan itu akhirnya menutup bukunya dengan sempurna. Ia kini memusatkan seluruh atensinya pada Anha. Anha tersenyum, Bu Eila memang tidak menyebutkan siapa nama perempuan ini, tapi Anha masih mengingat siapa namanya. "Bu Eila minta kita buat kenalan, kamu Ziya bukan? Aku Anha. Nice to meet you."

Anha akan mengikuti kata hatinya untuk tak mengulurkan tangan demi berjabat tangan kali ini. Anha yakin Ziya bukan orang yang seperti itu. Anha sudah berusaha keras menjaga diri dari bersentuhan dengan lawan jenis. Anha pun juga mau Ziya untuk melakukan hal yang sama meski mereka secara teknis baru bertemu dan berkenalan secara resmi—kali ini. Tapi Anha cukup merasa peduli—atau memang karena dia peduli dengan dirinya sendiri, sih.

Dan benar saja, perempuan itu nampak bahagia. "Aku dipanggil Jiya aja, ya! Salam kenal!"

Gadis yang sangat menggemaskan—itu kalimat yang agak aneh. Tapi kalau Anha boleh jujur, Ziya bisa dibilang masuk ke dalam kategori perempuan idealnya. Meski begitu, bukan berarti ini saatnya untuk bermain dengan romansa. 

Anha suka memanggil dengan nama asli pemiliknya, ia rasa ia dan Ziya belum seakrab itu untuk mengubah salah satu abjad yang ada di nama Ziya. Ziya merupakan seseorang yang cukup menarik bagi Anha. Meski mereka belum berbincang banyak. Tapi Ziya dengan sikapnya punya poin plus sendiri untuk dijadikan teman baru.

Maka dari itu Anha meminta nomor ponselnya. Mungkin suatu hari nanti ia akan membutuhkannya. Apalagi mereka sedang mengerjakan lomba yang sama seperti sekarang ini. 

Anha adalah tipe yang suka mengobservasi sesuatu yang baru termasuk teman baru. Karena Ziya merupakan salah satu orang yang berhasil menarik perhatian Anha, saat Ziya sudah keluar dari perpustakaan untuk pulang, Anha menghampiri Bu Eila dengan sopan. "Bu Eila."

"Eh, iya Anha, gimana?" Bu Eila tersenyum ramah menyambut Anha. Anha menunjukkan senyum malu, "Bu Eila nyimpen file karya-karyanya Ziya nggak?"

"Wih? Kenapa nih ...? Fans ya ...?" tanya Bu Eila jahil. Kedua alisnya dinaik-turunkan hingga membuat Anha tertawa pelan. "Iya bisa dibilang begitu Bu. Dari pertama kali denger dia baca puisinya sendiri, saya suka sama bahasanya."

Bu Eila tersenyum mendengar pernyataan tepat yang percaya diri dari Anha. Bu Eila pun berdiri untuk merogoh laci salah satu meja komputer guru di perpustakaan. Beliau kemudian mengeluarkan sebuah flashdisk dan melemparkannya pada Anha. "Tangkap!"

Anha menangkap flashdisk tersebut dengan sigap. Bu Eila menunjuk ke arah tangan Anha, "Itu flashdisk isi karya sastra anak sekolah ini. Semuanya dikasih nama file Judul terus strip namanya. Jadi kalo mau nyari punyanya Jiya, ketik aja namanya ya Nang. Jangan lupa dikembaliin besok."

"Terima kasih banyak Bu Eila!" 

Maka malam itu Anha langsung dengan cepat membuka cerpen-cerpen milik Ziya. Memang benar, cara Ziya mengatur bahasanya adalah model yang Anha suka. Paling cocok dengan pemahaman Anha. Paling cocok dengan hati Anha. Ekspresif dan warna-warni. Apa itu karena Ziya suka menonton anime ya? 

Anha tahu dari melihat status wasafnya.

Ziya punya banyak karya sastra. Sudah berapa kali ya dia menang? Anha ingin bertanya tapi tidak enak.

Tapi Anha tidak mengekspektasikan keesokan harinya Ziya menanyakan berapa kali ia mengikuti lomba. Anha menjawab dengan jujur dari semua pertanyaan Ziya, tentu saja. Tapi ketika Ziya berkata bahwa dia sudah mengikuti delapan lomba karya sastra di luar sekolah dan belum pernah menang sama sekali—Anha merasa salah bicara setelah mengungkapkan dua kemenangan dari 4 lomba yang pernah ia ikuti.



BreathtakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang