2 : Let's Win This Game

2 0 0
                                        

"Halo ... halo ...."  Jiya melambaikan tangannya dengan percaya diri saat menyapa dua temannya yang sedang bercengkrama di bangku berpasang mereka.

"Tumben telat ...." ujar salah satu temannya; Dewi. Jiya menunjukkan cengirannya. "Agak kesiangan. You know lah. Semalem drama yang ku ikutin kan Update."

"Alah. Orang updatenya siang-siang, kamu aja yang nontonnya di website ilegal jadi harus nunggu tengah malam," cibir Faisha yang tangannya sibuk bermain game di ponselnya. Jiya mendesis bersama gelengan tak percayanya. "Kamu jangan mengumbar fakta yang begituan deh."

"Eh, omong-omong kamu kan ikut lomba cerpen. Gimana kemaren?" tanya Dewi penasaran. Jiya mengerjap pelan sebelum mengalihkan pandangan untuk berpikir. Ia mendehum panjang. "Kemaren yang ikut cuma aku sama ada satu anak dari IPS 4."

"O. Iya, kan Kakak kelas 12 mulai sibuk ujian sama Kakak kelas 11 mau pada study tour." Dewi menjentikkan jemarinya memahami situasi. Jiya mengangguk setuju. Ekspresinya langsung berubah seketika saat melanjutkan perkataannya. "Tahu? Anak IPS 4nya itu Damagenya bukan main."

"Cowok tah? Atau cewek?" tanya Faisha dengan kedua alis yang dinaikkan. Jiya mengernyit. "Hus! Cowok kok."

"Emang ngapain dia damagenya bukan main?" Dewi menaikkan salah satu alisnya. Jiya terkekeh jahil. "Dia enggak langsung nawarin jabat tangan atau gimana. Sama, dia kelihatan respect sama batasan kita masing-masing. Terus juga ... maksudku—dia manis."

"Tahu betul aku tipemu yang kayak gimana." Dewi mengangguk paham. Jiya berdecak sembari membawa jarinya untuk menggaruk kepalanya. "Tapi kayaknya dia agak kaku gitu? Eh tapi kayak lucu gitu enggak sih? Nanti jadi anime."

"Maksudnya gimana ya Mbak? Jadi anime? Cowokmu jadi gepeng?" Dewi menaikkan salah satu alisnya. Nadanya ketus saat bertanya. Tapi Jiya mengawali tanggapannya dengan tawa tak berdosa. "Bukan begitu maksud saya kak. Maksudnya nanti kisah cinta akuh sama dia kayak thrope-thrope di animeh gituh ...."

"Idih ...." cibir Faisha masih dengan mata yang fokus dengan ponselnya. Dewi menggeleng jengah. "Emang siapa namanya?"

"Anha."


"Iya?" Anha menoleh dengan senyum ramah mendengar namanya dipanggil Jiya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Iya?" Anha menoleh dengan senyum ramah mendengar namanya dipanggil Jiya. Jiya pun meletakkan pulpennya sejenak. Mereka berdua sama-sama sedang menulis alur dari cerita mereka. Jiya menopang dagunya, "Ini udah lombamu yang ke berapa?"

"Kalau menulis sih udah lomba ke ... empat kali ya?" tanya Anha ragu pada dirinya sendiri. Kemudian mengangguk yakin atas jawabannya. "Iya kayaknya empat."

"Eh ... mulainya dari kapan, kamu?" tanya Jiya lagi-lagi dengan penasaran. Anha mengendik sembari menggerakkan tangan kanannya untuk menulis lagi. "Kira-kira SMP kelas delapan. Tapi aku jarang ikut juga sih."

Jiya mendehum panjang. Kepalanya juga ikut mengangguk memahami perkataan Anha. Anha yang tidak menginginkan habisnya topik baru mereka itu pun bertanya balik. "Kalau kamu, ini udah lomba ke berapa?"

"Um ... sebentar—" Jiya mulai membawa tangannya untuk membantunya menghitung. "Delapan, kayaknya!"

"Banyak ya ...!" Anha membelalakkan kedua matanya terkejut mendengar jawaban dari Jiya. Bahkan pulpennya sempat ia letakkan sejenak bersama tubuh yang dicondongkan ke depan merasa tertarik. Anha pun bertanya dengan semangat. "Udah berapa kali menang?"

"Sejauh ini, enggak ada," jawab Jiya dengan senyum simpul di wajahnya. Anha yang awalnya tersenyum lebar itu pun langsung melunturkan senyumnya dalam hitungan detik. Dalam hati ia menjerit kencang karena malu, ia rupa-rupanya menanyakan hal yang salah! Anha ingin menyublim detik itu juga. Padahal dia sudah bersusah payah untuk menjaga agar relasinya dan Jiya akan baik dari awal. Tapi di hari kedua mereka bertemu ia malah menanyakan hal yang salah seperti ini.

"Tapi waktu itu aku pernah baca karyamu, harusnya—" Anha menutup mulutnya cepat-cepat. Ia hampir saja mengekspos diri sendiri sudah mengikuti Jiya sejak sebelum mereka berkenalan dengan baik dan benar seperti kemarin. Namun Jiya nampak menaikkan kedua alisnya tertarik. Di situ Anha tahu dia mengacaukan diri sendiri hari itu.

"Kamu baca karyaku? Yang mana? Kapan? Tahu dari mana?" tanya Jiya beruturut-turut atas dasar rasa ingin tahu. Anha mendehum pelan. "Kemarin ... Bu Eila kasih lihat salah satunya ... ke aku. Yang judulnya Perspektif Langit."

Bohong.

Anha mencari tahu sendiri—tetap tanya Bu Eila—semenjak pertama kali ia melihat Jiya; sebenarnya saat lomba baca puisi ulang tahun sekolah mereka. Mungkin Jiya tidak ingat kalau mereka bertemu pertama kali sekitar tiga bulan yang lalu. Di hari itu mereka memang tidak saling berbincang. Tapi Anha tidak sengaja menguping pembicaraan Jiya dengan seorang kakak kelas waktu itu. Jiya bilang Jiya membuat puisinya sendiri.

Dan ketika Jiya maju ke depan, di situlah Anha jatuh cinta dengan karya sastra milik Jiya. Meski lisannya kurang berlatih membaca puisi, tapi kalau dari yang Anha dengar dari setiap patah kata—membuat Anha mengernyit. Desiran darah yang mengalir menuju jantungnya menyebar geli di dada. 

Gelenyarnya luar biasa aneh, tapi Anha membiarkan semuanya terjadi.

"Tapi 'Perspektif Langit' ya ...?" gumam Jiya pelan, kedua matanya melirik ke samping bersama tangan yang dibawa menutupi sebagian mulutnya sebagai gestur bahwa ia sedang berpikir. "Itu karyaku yang nggak menang karena aku merasa keluar tema sih. Kayak—yang baca cerpen itu bakalan mikir ada yang salah sama aku enggak sih? HAHAHA."

"Jadi waktu itu aku udah mikir, kayaknya enggak bakalan menang deh, soalnya aku udah ngerasa itu keluar tema. Siapa yang mau bikin sebuah cerpen jadi pemenang kalau dia aja keluar tema, kan?" sambung Jiya diiringi tawa lepas di akhir kalimat. Anha ikut tertawa lembut agar Jiya tak merasa canggung. 

Setelahnya mereka sempat terdiam selama beberapa detik. Anha sibuk menulis alur cerpennya, begitu pula Jiya. Kalau dilihat sekilas, Jiya dan Anha punya karakter yang cukup berkebalikan. Anha benar-benar tenang di setiap gerakannya. Kakinya tertekuk tenang dan tangannya menulis dengan rapi. Sikap duduknya tegak bersama tangan kiri yang dibuat menumpu sebagian berat tubuhnya di atas meja.

Sementara Jiya, ia menghentakkan pelan kaki kanannya dengan cepat. Kepalanya mengantuk pelan, sepertinya sedang memutar musik di kepalanya sendiri. Mendengar dari senandung kecilnya. Sesekali tangannya juga sibuk memainkan pulpennya. Kalau direkap, sebenarnya Jiya tidak begitu bisa diam tenang di keadaan santai seperti saat itu.

Jiya yang awalnya ingin kembali menulis itu berhenti sejenak. "Eh. Anha udah pernah menang sebelumnya?"

"Udah, dua kali," jawab Anha dengan semangat. Jiya terdiam mendengar jawaban dari Anha. Itu berarti baru satu kali Anha tidak memenangkan lomba menulisnya. Jiya mendeguk. Diam-diam agak iri, memangnya tulisan Anha sebagus apa, sih? Tapi—Jiya benci perasaan macam ini. Maka ia tersenyum. "Gitu? Yaudah kali ini semangat lagi, kita berdua harus menang, ya!"

"Yoi!" Anha mengangguk setuju dengan kencang. Jiya mengulas senyum simpul melihatnya.

Bersambung....

BreathtakingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang