Kalau dihitung-hitung, sudah sekitar lima bulan lebih Anha dan Jiya bertingkah seperti orang asing yang tak mengenal satu sama lain. Melewati bulan Februari akhir di mana mereka berkenalan secara resmi. Lalu Maret di mana mereka berjuang membuat cerpen bersama-sama. Di bulan yang sama, mereka berubah menjadi orang asing lagi.
Ini Juli akhir, waktunya pengumuman kelas baru karena Agustus nanti waktunya mereka kembali masuk sekolah untuk merasakan tahun ajaran baru. Tahun kedua mereka SMA. Kali ini mereka sudah punya adik kelas yang lucu dan imut. Tapi boong.
"Kelas baru, kelas baru!" seru Jiya melangkah dengan semangat mendekati meja belajarnya. Di atasnya ada laptop kesayangannya yang sudah menemaninya sejak kelas tiga SMP. Kenapa kesayangan? Ya karena cuma punya satu, masa barang mahal—dan luar biasa berguna—enggak disayang?
"Ya Allah ... semoga masih sekelas sama dua sohibku yang manis dan cangtip-cangtip Ya Allah ..!" mohon Jiya dengan serius. Amin paling serius.
Jiya pun dengan sedikit berdebar membuka file yang terdapat di dalam grup keluarga intinya—Mamaknya yang mengirim file kelas baru itu. Jiya membuka kelas satu persatu, dari XI IPS-1, namanya tidak ada di sana. Menuju XI IPS-2, Jiya langsung melirik ke bawah mencari namanya—ini karena nama aslinya berinisial Z, namanya pasti selalu tertera di urutan-urutan bawah.
"MASIH IPS 2! YUHU! UHUY! SIK ASIK KENAL DIRIMU!" Jiya berdiri dari kursinya dengan kencang dan semangat. Hampir saja dia limbung dan terjatuh kalau bukan karena dia yang sudah belajar cara seimbang di air.
"Siapa teman-teman baru kita ... atau teman lama? Apakah sohib-sohibku tercinta ada bersamaku?" tanya Jiya menggumam. Ia mulai mencari nama Faisha dan Dewi. Yang membuatnya menghela napas lega karena ia berhasil menemukan nama kedua temannya yang ia sayangi dan ia cintai seperti anak sendiri.
"Ada Cinnamon juga ...! Banyak sih anak IPS 2 yang masih bersama kami." Jiya dengan kedua mata berbinarnya berhasil menyadari adanya dua puluh dua teman kelasnya yang dulu berada di kelas yang sama dengannya. Karena jumlah totalnya ada tiga puluh lima anak, itu artinya 12 orang tersisa berasal dari kelas lain.
"Eh, si ini—yang kemarin juara baca puisi—WAH NGERI-NGERI, JACKPOT NIH!" seru Jiya menunjuk nama perempuan yang masuk ke daftar presensi kelasnya. Sekarang kelasnya punya profesional lomba sastra dan itu keren. Rating kelas barunya yang sebenarnya enggak baru-baru amat; 10 per 10.
"Mari kita lanjutkan, siapa aja anak baru—nya—" senyum Jiya luntur seketika.
Mungkin memang ada mitos kalau sesuatu yang kita inginkan jangan disebut-sebut. Nanti malah datang sungguhan. Sekarang inilah akibat dari kelakukan Jiya tadi.
"Amnan—Hamza—"
ANHA! ITU ANHA! ASTAGFIRULLAHALAZHIM, Jiya istigfar banyak-banyak.
Jiya mengeluarkan suara setengah berteriak. Tenggorokannya seolah sedang serak padahal tidak. Memang itu suara teriak yang biasa ia keluarkan. Karena kebetulan dia suka berlebihan sendiri kalau di rumah. Jiya menutupi wajahnya dan menggeliat di kursi belajarnya. "Oh tidak ...! Oh tidak ...!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Breathtaking
Novela JuvenilBaru satu kali memenangkan belasan lomba yang pernah diikuti bukan berarti tidak berbakat. Antara memang itulah takdir yang lebih baik, atau jangan-jangan wajah ini jelek? Tidak mungkin- Tapi, jangan sampai menyerah sebelum berhasil lagi. Hatimu jug...