Baru satu kali memenangkan belasan lomba yang pernah diikuti bukan berarti tidak berbakat. Antara memang itulah takdir yang lebih baik, atau jangan-jangan wajah ini jelek? Tidak mungkin-
Tapi, jangan sampai menyerah sebelum berhasil lagi. Hatimu jug...
Jiya datang dengan napas terengah-engah seperti habis dikejar setan. Faisha sama Dewi sudah tidak heran lagi melihat teman mereka yang satu ini muncul dengan berlebihan seperti itu. Mengingat tadi malam dia mengirimkan pesan bahwa hari ini pengumuman pemenangnya akan keluar. Iya, pemenang lomba cipta cerpen empat hari yang lalu.
Jiya merasa sangat bersemangat, bahkan sampai jam istirahat saat ia pergi ke kantin bersama Faisha dan Dewi saja dia tidak bisa berhenti tersenyum. Senyumnya sangat lebar dari telinga ke telinga. Sampai ia mendengar namanya dipanggil. Begitu ia menoleh, di sampingnya ia menemui Anha dengan ekspresi ramah khasnya itu.
"Hei," sapa Anha dengan semangat. Jiya sempat terdiam sejenak sebelum menyapa balik, "Hei!"
"Lama enggak ketemu, padahal jalan pulang kita agak sama," ujar Anha dengan tangan yang dibawa untuk mengusap tengkuknya canggung. Jiya mengangguk paham, "Oh—aku ada—project ekskul ahahah! Jadi aku harus pulang lebih lambat setiap harinya semenjak empat hari yang lalu."
"Project ekskul? Kamu ikut ekskul apa?" tanya Anha dengan kepala dimiringkan. Jiya mengendik, "Oh—aku, fotografi. Kita lagi ada project film pendek sekarang. Dan sekarang ini lagi proses bikin naskahnya. Aku jadi penanggung jawab utama skenario—jadi singkatnya aku ngurus hampir semuanya."
Anha menganga setengah tidak percaya. Sebelum akhirnya ia mengangguk terkesan, "Keren, keren!"
"Ah enggak juga kok." Jiya menggeleng tersipu sembari melangkah. Begitu pula Anha mengikuti Jiya berjalan menuju counter kantin yang ia inginkan sembari berbincang bersama. Anha dengan nada terkesannya tersenyum, "Enggak tapi kamu keren banget loh! Udah gabung project film gitu. Aku belom pernah, satu kali pun!"
Jiya tertawa pelan. "Iya. Tapi kamu juga berhasil memenangkan sebagian besar lomba cerpen yang kamu ikuti dan itu juga sama kerennya sama aku yang ikut project film kecil-kecilan ini kok."
Anha mengulas senyum dengan dengusan jenaka. Jiya yang sudah sampai di counter yang ia inginkan—rupanya vending machine milik sekolah itu segera membeli tiga buah botol berisi jus apel. Setelah itu menoleh ke arah Anha yang masih berada di sebelahnya. "Um—aku harus—nyusul temen-temenku sekarang, Y-You should too!"
"Oh—right, iya." Anha kembali berdiri tegak—tadinya agak bersandar pada vending machine—ia juga merapikan seragamnya. Jiya mengangguk sopan. "Sampai jumpa nanti sore di perpus."
"Iya," Anha mengangguk beberapa kali.
Jiya pun akhirnya pergi dari tempat.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Loh, mau ke mana, Anha?" Fahmi memiringkan kepalanya melihat Anha ke arah yang berbeda darinya dan Hanan. Anha berhenti melangkah. "Ke perpus, hari ini pengumuman lombanya menang atau enggak."
"Ooh, yaudah. Semoga menang ya, kalau menang duitnya buat traktiran kita-kita, sekian terima kasih!" pesan Fahmi sebelum akhirnya pergi lebih dulu dari Hanan yang juga mendoakan Anha agar berhasil memenangkan lombanya. Anha mengangguk abai sembari berkata terima kasih. Melihat Fahmi dan Hanan sudah berjalan menjauh membuat Anha kembali melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan.
Anha menarik dan membuang napasnya dengan teratur di depan pintu perpustakaan. Gugup juga kalau dipikir-pikir. Sudah lama semenjak terakhir kali dia merasa bersemangat menunggu pengumuman lomba seperti sekarang ini. Mengetahui bahwa ia tidak menunggu sendirian sekarang membuat Anha tidak merasa kesepian.
"Anha, pas banget akhirnya kamu datang juga," ujar Bu Eila yang berada di salah satu sofa perpustakaan bersama Jiya di sebelahnya.
Anha berlari kecil menghampiri Bu Eila dan Jiya. Ia duduk di hadapan mereka. "Aku ketinggalan, kah?"
"Enggak kok, livestreamnya baru dimulai. Kalian nunggu aja di sini pake laptop ini. Bu Eila mau ke Waka dulu." ujar Bu Eila beranjak dari tempat duduk. Jiya yang tengah bersedekap menatap laptop di hadapannya itu pun menoleh ke arah Bu Eila yang mulai pergi melangkah dengan terburu-buru.
Kemudian setelah Bu Eila benar-benar pergi dari ruang perpustakaan, hanya da keheningan di antara Jiya dan Anha. Anha yang merasa tidak begitu nyaman dengan suasana tersebut pun mulai berbicara. "Hei."
Jiya melirik, kemudian tersenyum tipis. "Hei."
"Jadi—kamu percaya diri enggak?" tanya Anha dengan kaku. Jiya mendehum panjang sebelum membenarkan posisi duduknya. "Lumayan, lebih PD dari sebelumnya."
Anha mengangguk paham sebelum kembali menatap ke arah laptop yang diposisikan miring oleh Bu Eila agar Anha dan Jiya bisa melihat bersama tanpa harus duduk bersebelahan. Fokus keduanya menonton acara livestream itu. Karena lomba yang diadakan tidak hanyalah lomba cipta cerpen, mereka harus menyaksikan banyak pengumuman lomba-lomba lain selama beberapa menit lamanya.
Anha sesekali melirik ke arah Jiya. Jiya nampak menunggu dengan serius. Mungkin tangannya memang tidak bersedekap penuh, tapi kedua tangan itu terlipat rapi di depan dada menggenggam siku dan kemeja seragamnya. Jiya nampak benar-benar berbeda kalau sedang serius begitu. Anha hampir dibuat salah paham.
"Gimana? Udah diumumin belum?" tanya Bu Eila yang akhirnya kembali setelah pamit ke Waka lima belas menit yang lalu. Jiya menoleh. "Kayaknya bentar lagi baru gilirannya cipta cerpen Bu."
"Bagus deh, enggak telat," ujar Bu Eila senang.
Saat pengumuman pemenang lomba cipta cerpen sudah dimulai, Jiya mulai duduk dengan tegap dan mencondongkan tubuhnya ke arah laptop di depannya. Jiya menutupi kedua matanya, niatnya agar semisal tiga juara itu langsung tertera di depan layar, dia tidak langsung tahu semuanya. Kesimpulannya, Jiya ingin pengumumannya jadi kejutan untuknya.
"Juaranya adalah, Satu—Amnan Hamza dengan judul 'Lepas Dengan Tangan'. Juara dua, Lalak Eliana dengan judul 'Debum Langkah Kami', dan yang terakhir ... Juara ke-3 diraih oleh Jeanice dengan judul 'Aku Butuh Kamu'!"
Jiya perlahan membuka kedua matanya kembali dengan senyum terulas heran. "Eh—"
Ia juga perlahan menoleh ke arah Bu Eila dan Anha yang menatap ke arahnya. Jiya bersama suaranya yang keluar gelagapan dan gugup itu berbicara cepat. "K-Kenapa pada ngelihat ke aku semua? K-Kita harus ngerayain kemenangannya Anha Bu! Juara satu loh!"
"Anha, kerja bagus!" puji Bu Eila setelah menggeleng menyadarkan diri sendiri. Jiya menghela napas pelan setelah melihat Bu Eila berinteraksi dengan Anha.
Jiya menggigit bibirnya pelan saat mulai merasakan perasaan pahit menjalar di hatinya. Ia mengerutkan kening tipis saat mengalihkan pandangan dari kedua orang di hadapannya. Kenapa dia merasakan perasaan pahit seperti ini?