[ 01 ] Hipotermia

147 12 4
                                    

Part 01 - Hipotermia

****

Sambil memeluk kedua bahu, gue berjalan lurus di tengah derasnya guyuran hujan malam itu. Bibir gue bergemelatuk, merasakan dingin yang teramat menusuk hingga telapak kaki gue yang cuma beralaskan sendal jepit pun kebas. Sekarang gue mulai nyesel kenapa enggak menetap di mobil aja atau gue enggak ganti sepatu jadi sendal biar kaki gue dapat kehangatan dikit.

Hahah. Bodoh banget.

Sialnya lagi, gue takut kegelapan dan mobil yang gue tumpangi itu kenapa harus mogok di tengah-tengah permukiman sunyi yang asing dan penuh pepohonan kayak gini? Mana hujan deras lagi. Tadi juga sempat dengar suara burung hantu dan sukses nambah kesan horror malam ini. Sumpah ya, bulu kuduk gue udah meremang sedari tadi. Bisa bayangin enggak gimana takutnya gue saat ini?

Lalu di tengah runtukan gue dalam hati, tiba-tiba muncul kilatan dari langit. Bersamaan dengan itu, mata gue gak sengaja nemu sesuatu kayak putih-putih gitu di dekat pepohonan tua di sisi kiri gue. Entah apa itu, yang pasti badan gue langsung merinding disko dibuatnya. Namun sudah jadi sifat alamiah manusia untuk merasa penasaran dan ingin tau. Sehingga gue coba memastikan sambil mengerjapkan mata beberapa kali. Fokus dan terus memfokuskannya sampai kaki gue hampir melewatinya.

"MAMA!!!" gue refleks berteriak. Bukan, bukan karena setan, tapi karena suara petir yang menyambar keras. Membuat gue tanpa sadar langsung meluk seseorang di samping gue. "Kak Radit, bentar dulu! Nanti gue lepas kalau gunturnya udah selesai," kata gue membela diri pas dengar decakan malas dari dia.

Benar. Gue emang enggak jalan sendiri. Yang megang payung dengan tampang tertekuk ini adalah supir--ralat--anak tetangga gue di komplek perumahan griya anggrek dan kebetulan mamanya adalah sahabat mama gue waktu sekolah di Surabaya dulu. Asli, dunia beneran sempit banget gak sih?

Namanya Raditya Tubagus Ragendra, biasa dipanggil Aditya dan gue milih manggil dia dengan sebutan kak Radit. Gue juga pake embel-embel 'kak' saat manggil dia karena perbedaan umur kami, sekaligus menegaskan agar mama sadar kalau putri satu-satunya ini enggak mau dijodohin karena alasan 'pengen besanan sama sahabat'. Kayak sinetron banget.

By the way, nama kak Radit yang bagus gak mencerminkan akhlaknya yang bisa gue garis bawahi mendekati minus. Seenggaknya bagi gue yang udah kenal dia dari umur sepuluh tahun, kak Radit cuma dapat nilai plus di otaknya yang jago hitung-hitungan itu. Selebihnya wassalam.

"Geser."

"Hn?" Gue natap dia penuh tanya.

"Gunturnya udah selesai."

"Oh, ah, oh. Oke."

Tuh kan. Baru aja diomongin udah berulah.

Gue cuma bisa natap si Radit kampretos ini dengan sinis dan nurut gitu aja karena payung yang gue pake juga punya dia. Alhasil gue pasrah menggeser diri agak ke kiri hingga bahu gue yang gak kena payung akhirnya basah.

"Jangan kejauhan juga," katanya lagi buat gue menggeram karena ditarik lagi ke dekat dia.

"MAU LO APA SIH HAH?!"

Gue mendengkus sambil ngelemparin tatapan penuh emosi ke kak Radit, sementara objek yang jadi sasaran gue ini malah menatap lurus dan enggan menggubris. Dia mengabaikan gue?? Tidak ingin memperpanjang, akhirnya gue pun milih fokus ke depan, pada jalan beraspal yang kami lalui.

Hanya ada remang cahaya dari lampu jalan yang kebetulan tertanam di sisi jalanan yang gue lewati sekarang. Mata gue menyendu kala memori di masa lalu menarik gue ke dalam penyesalan. Mengingatkan bahwa gue dengan bodohnya mutusin nerima tiket seminar yang dibeliin mama kemarin. Harusnya gue nolak dan milih goleran di kamar seharian penuh kayak biasanya sehingga gue enggak perlu melayangkan sumpah serapah pada mobil butut punya kak Radit itu.

Suddenly Become Your Wife || Lee TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang