"Kak Jendral!"
Tubuh Jendral membatu, gadis itu, gadis itu berdiri dengan senyum lebar dan menatap Jendral dengan sayang.
"Selamat ya, kak. Dua kali kakak jadi pemimpin terbaik untuk pasukan kakak."
"Difya," lirih Jendral.
"Iya, kak. Ini Difya, Difya-nya kak Jendral."
"Lo.., lo hi-hidup?"
Gadis itu tersenyum. "Difya selalu hidup, Difya hidup dengan baik di hati kakak."
Kaki Jendral seakan terpaku, dia tidak bisa mendekati gadis cantik itu.
"Kak, kakak manusia baik. Sudah saatnya kakak bahagia, kak Jendral harus hidup dengan baik bersama orang-orang baik pula."
"Difya, gue rindu." Jendral menangis.
"Difya juga."
"Lo jahat, lo pergi, lo tinggalin gue. Padahal gue belum sempat bahagiain lo, Difya. Lo jahat banget."
Senyum gadis itu masih sama, masih terlihat sangat manis. "Difya sudah bahagia, sekarang Difya jauh lebih bahagia. Kakak jangan nangis, Difya mau lihat kakak senyum."
"Lo udah meninggal," ketus Jendral. "Kenapa lo muncul? Lo mau buat gue kepikiran lo terus? Lo egois, Difya. Gue udah usaha untuk hidup dengan baik. Gue udah usaha buka hati ke cewek lain, gue udah gak suka sama lo."
Gadis itu terkikik geli. "Maaf, tapi Difya rindu kakak."
Jendral masih menangis, dia menunduk dengan tangan yang mengepal.
"Kak, perempuan itu, perempuan baik-baik. Dia akan buat kakak bahagia, percaya sama Difya."
"Dia memang yang terbaik, dia gak pergi tinggalin gue kayak lo."
"Maaf," lirih gadis itu. "Maaf karena Difya harus pergi, Difya gak bisa tepati janji Difya untuk sembuh. Maaf, kak. Difya cinta banget sama kakak, tapi dunia terlalu menyakitkan untuk Difya."
"Difya..," lirih Jendral. "Gue ikut lo aja, ya. Gue juga capek."
"Jangan," jawab gadis itu. "Kakak masih harus bahagia, jangan nyerah dulu."
"Tapi.."
"Kakak punya orang-orang yang sayang sama kakak, mereka nungguin kakak. Ingat mereka yang selalu ada untuk kakak."
Jendral menunduk, air matanya mengalir tanpa henti. Jendral merasa lelah, dia kecewa, tapi juga takut.
Gadis itu menatap lekat wajah Jendral. "Kak, untuk maaf yang tak sempat Difya ucap, untuk kisah yang tak sempat tapi lebih dulu usai, untuk semua kenangan kita. Difya mau kakak berhenti di titik ini. Kakak adalah cinta Difya, tapi Difya bukan cinta kakak."
"Kakak akan bahagia," ujarnya lagi menatap Jendral. "Janji langit untuk Jendral, dia akan mengirim segala kebahagiaan untuk kakak. Dari sedih yang kakak rasa, dari lelah yang ingin kakak sudahi, dari segala bentuk kekejaman bumi, ada langit yang selalu mendengar keluhan kakak. Difya akan jadi salah satu penguhi langit yang mengirim kebahagiaan untuk kakak, jadi selamat berbahagia, Jendral. Selamat melanjutkan hidup dengan orang-orang baik yang mencintai kamu."
"Difya!"
"DIFYA!!"
"DIFYAAA!!!"
"JENDRAL!"
Teriakan seseorang menariknya kembali hingga sadar, Jendral mengerjapkan matanya menatap sekeliling. Banyak pasang mata yang menatapnya khawatir, tangannya di genggam erat oleh Ajeng.
"Jendral," lirih Ajeng mengelus rambut Jendral.
"Bunda," bisik Jendral dengan mata yang berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Jendral [SELESAI]
Teen FictionDia Jendral Raden Adiwangsa Respati, si lelaki yang hidup dengan topeng tebal di wajahnya. Tubuh kuat, wajah sangar dan kepribadian galak membuatnya cukup di takuti apalagi dia adalah mantan dari ketua geng motor yang baru saja dia bubarkan. Masa...