38. Ambisi

5.5K 286 2
                                    

Selamat membaca beibers...

***

Segala sesuatu pasti akan berubah pada waktunya. Berevolusi secara cepat tanpa adanya tanda-tanda akan datang perubahannya. Pada awalnya memang terasa berat tetapi seiring berjalannya sang waktu akan menjadi biasa saja karena dipaksa terbiasa.

Beberapa hari tanpa Arega rasanya aneh, begitulah yang Rena rasakan. Satu sisi ia merasa senang bisa bekerja dan menjalani aktivitas dengan damai sentosa. Tetapi di sisi lain ada sesuatu hal yang kurang juga janggal. Berulang kali Rena berusaha menampik pasal keanehan pada dirinya, meski terkadang rasa itu kerap muncul kembali. Hal itu juga yang membuat Rena sellau menyibukkan diri pada pekerjaannya. Apalagi restoran tempatnya bekerja sedang ramai sekali akhir-akhir ini.

"Ai. Jangan ngelamun.. kalo mau overthingking nanti aja pas mau tidur," ucap gadis berseragam sama dengan yang Rena kenakan.

"Tidur tinggal tidur.. ngapain overthingking? Nyusahin otak aja."

Jawaban dari Rena hanya dibahas kekehan singkat oleh gadis berambut bondol itu. Cika memnag termasuk orang yang selalu update pada setiap hal-hal baru di media sosial. Tak heran jika penampilannya menarik dan trendy setiap saat.

"Eh btw ada cowok nanyain lo tadi di depan."

Dahi Rena mengernyit kegiatannya terhenti saat sedang mencuci piring-piring bekas para pengunjung cafe.

"Siapa?" tanyanya kembali seraya memikirkan seseorang yang tengah Cika bicarakan.

"Muka nya gak asing kayaknya pernah kesini deh."

Dikuasai oleh rasa penasaran Rena bergegas mencuci tangan menghilangkan dari sisa busa sabun lalu bergegas menemui seseorang yang membuatnya terus menerka-nerka. Saat sampai di depan meja bartender Rena mengedarkan pandangan ke seluruh pengunjung Cafe berharap ada seseorang yang dikenalinya. Tapi setelah beberapa saat matanya menelisik tak ada satu wajah pun yang mampu ia kenali.

"Ren. Nyari siapa?" tanya lelaki yang ada di balik meja pantry.

"Eh bang tadi ada yang nyariin gue ngga?"

Bukannya menjawab, Rena malah balik bertanya kepada lelaki itu.

"Oh tadi ada. Dia diatas kayaknya."

"Oke makasih bang."

Rasa penasarannya semakin kuat dengan sedikit berlari ia menaiki tangga besi menuju salah satu bagian cafe yang berada di lantai dua. Entah mengapa dalam benaknya ia mengharapkan seseorang itu adalah Arega.

Nafas Rena sedikit ngos-ngosan setelah menaiki beberapa anak tangga. Saat ia menginjakkan kaki di lantai atas pandangannya langsung jatuh pada punggung tegap tertutup jaket hitam. Sosok itu tengah duduk diam membelakanginya.
Dengan langkah pelan, Rena mencoba lebih mendekat meski degup jantungnya sudah berdetak tak karuan. Mungkin itu efek dari ia berlari-larian saat menuju kemari.

Langkahnya mendadak terhenti saat jarak keduanya hanya berjarak satu meter. Rena tiba-tiba ragu untuk menemui lelaki di depannya ini.

"Duduk depan gue," ucapnya tiba-tiba.

Perasaan yang sebelum mengharapkan lelaki itu tanpa sadar hilang seketika saat suara tegas bariton itu terdengar. Kedua alis Rena nyaris bertaut sembari menatap Arega tajam. Ia menarik bangku sedikit kasar, lalu duduk tetapi enggan menatap lelaki di depannya. Seperti biasa Arega pasti melayangkan tatapan datarnya memperhatikan Rena.

"Kenapa? Kangen?"

Kedua mata Rena langsung melotot mengarah pada Arega. Ia memandangi wajah tampan itu beberapa detik memastikan apa yang di dengarnya itu benar. Tetapi tingkah Arega biasa saja seolah tidak ada kesalahan dalam ucapannya, ia bahkan melahap kentang gorengnya dengan santai.

"Najis banget gue kangen sama lo," jawab Rena memasang raut wajah tak suka.

"Sama pacar ngga boleh ngomong kasar."

"Pacar? Halu lo! Pacar lo noh berbi plastik takut dicakar gue."

Arega tersenyum miring seraya menangakat satu alis kanannya seolah sedang mengejek Rena.

"Muka lo gausah ngeselin gitu," kata Rena saat melihat ekspresi Arega yang memang menyebalkan.

"Cemburu gue pacaran sama Fidel?"

"Gausah sok ganteng. Emang gue mau sama lo?," sahut Rena yang sejak tadi bernada sinis.

Seketika tatapan Arega berubah tajam. Rena meneguk saliva merasa terintimidasi oleh tatapan mematikan itu. Harus ia akui, Arega bertambah sangat tampan saat menatapnya seperti ini. Manik mata hitam legam, alis hitam tebal, bulu mata lentik mampu menghipnotisnya.

"Gue selalu dapetin apapun yang gue mau. Termasuk lo."

***

Suara dering telfon terdengar bersahutan memberitahukan sibuknya suasana gedung megah ini. Suara ketikan keyboard memenuhi ruangan. Beberapa orang terduduk fokus pada layar di hadapannya. Sementara yang lain sibuk berseliweran seraya membawa tumpukan map kesana-kemari.

Seorang pria berjas rapi terlihat keluar dari lift dengan tergesa-gesa. Di belakang nya ada seorang pria berkaca mata yang selalu mendampinginya. Ia tersenyum singkat melewati beberapa karyawan yang menunduk saat ia berpapasan. Pria itu semakin mempercepat langkahnya menuju di ruangan teratas dari gedung ini.

"Apa Vero dan Leo sudah datang?," tanya Orlando.

"Mereka sudah menunggu di ruangan pak."

Tak lama mereka sudah sampai di depan pintu bercat coklat muda. Orlando menempelkan sidik jari pada jempolnya sehingga pintu itu otomatis langsung terbuka. Saat ia masuk kedua temannya sudah fokus pada satu layar monitor.

"Dateng-dateng nge gubrak pintu ngga sopan. Bawain kita apa lo?"

Suara Vero sebagai penyambut kedatangan Orlando. Pria itu tetap saja banyak cakap seperti dulu, tak ada perubahan. Hanya saja sekarang mulai terlihat garis-garis halus di bawah mata dan keningnya. Diantara mereka bertiga hanya Vero yang masih kerap bertingkah layaknya anak muda labil. Padahal umur pria itu sudah menginjak kepala 4. Orlando menatap Vero malas mengisyaratkan asistennya untuk mengeluarkan beberapa bungkusan kertas coklat berlambangkan huruf M. Seketika mata Vero langsung berbinar seperti anak kecil.

"Nah gitu dong. Tau banget orang lagi laper."

"Laper sama rakus beda tipis," ucap Orlando singkat.

Leo menatap temannya itu seraya menggeleng pelan. Ia sendiri heran mengapa bisa mendapatkan teman modelan seperti Vero.

"Ro.. inget kolestrol umur lo udah ngga muda lagi," tutur Leo.

Vero mencoba menelan makanan yang memenuhi rongga mulutnya dengan susah payah.

"Umur boleh tua, jiwa harus tetap muda."

"Ya terserah lo deh pak tua," ucap Leo memilih mengakhiri perdebatan.

"Kita berhasil nemuin pelakunya Ndo. Dia juga banyak buat beberapa perusahaan mengalami ABA sebelum akhirnya Cut loss. Dia juga punya banyak Afilliator yang identitasnya susah buat dilacak," jelas Danial sembari menunjukkan data di layar monitor.

"Ngga cuma itu dia juga dalang di balik market manipulation yang beberapa kali hampir ngancurin saham perusahaan lo," lanjut Danial.

"Lo harus main halus kali ini Ndo. Dia bukan lawan main-main," ucap Vero.

Mata Orlando menelisik pada layar monitor di depannya. Ia mengamati foto dan nama yang tertera beberapa saat. Setelah beberapa bulan ia berhasil menemukan parasit yang ingin memporak-porandakan seluruh perusahan investor.

"Mahendra Septa Niwandar," ucap Orlando pelan.


_________________





Thanks for reading <3
To be continued

Chippi

Arega✔ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang