43. Kenyataan

5.2K 254 3
                                    

selamat membaca beibers 

***

Rena membuka matanya saat mendengar sayup-sayup suara orang tertawa yang bersahut-sahutan. Matanya membulat saat melihat kedua tangan dan kakinya diikat gelang berantai. Ia mencoba membebaskan diri dengan menarik-narik rantai itu tapi usahanya nihil. Rantai itu sangat berat malah meninggalkan bekas kemerahan pada pergelangan tangannya.

"Rena..."

Rena mendongak, melihat sosok Rose berdiri di depannya. "Onti.. untung onti disini tolong lepasin rantai ini dong.. Tangan aku sakit," eluh Rena.

Rose sedikit membungkuk mencoba mensejajarkan wajahnya dengan wajah Lusya. Ia menatap Rena lekat, kemudian dengan cepat mencekik leher gadis itu membuat Rena terkejut bukan main. Ia gelagapan menahan sesak tidak bisa bernafas karena cekikan kuat itu. Saat pandangan Rena mulai mengabur, dan ia hampir memejamkan mata Rose melepas cekikan nya kemudian tertawa keras. Seketika Rena langsung terbatuk-batuk merasakan gejolak panas di tenggorokannya.

"Ahahahaha... apa kamu senang kejutannya?," ucap Rose lantang. Ia memegang dagu Rena, menatap gadis itu tajam.

"Onti kenapa..?" tanya Rena polos dengan mata yang berkaca-kaca.

"Saya akan bunuh kamu. Kamu itu dilahirkan memang untuk mati! Ahaha.. bukankah ini yang kamu mau? Hidupmu itu tidak berguna Rena, tidak ada seorangpun yang mengharapkan mu di dunia ini."

Rena mematung dengan air mata yang menetes di kedua pipinya.

"Tapi kenapa?"

"Kedua orang tuamu itu sudah mati. Mereka juga sangat membencimu, setelah kau membunuh putra bungsu mereka! Kau jahat sekali Rena.. Kau membunuh adikmu sendiri."

"Oh.. Reno yang malang.. ia harusnya tidak bersama kakak sepertimu," lanjutnya dengan raut muka sedih.

Rena hanya diam, tatapannya kosong seketika isi kepalanya teringat saat peristiwa mengerikan itu terjadi.

"Karma masih berlaku Rena.. Nyawa harus dibalas dengan nyawa."

"Kenapa onti ingin membunuh Rena?" tanyanya masih dengan tatapan kosong.

"Melakukan apa yang seharusnya orang tuamu lakukan."

Ia mendongak beralih menatap tajam pada Rose.

"BOHONG! Onti membunuhku karena menginginkan harta warisan keluarga Egberta."

"Ahahahaha.. Putriku pintar sekali.. tak sia-sia kau bersekolah dan mendapat beasiswa selama ini," ucap Rose menepuk-nepuk puncak kepala Rena merasa bangga.

"Untung saja kau sadar diri. Mau bekerja dan mendapatkan beasiswa tanpa harus ku suruh. Aku tak sudi membuang untuk menghidupi mu. Gadis sialan."

Rena menunduk ia mulai menangis menumpahkan segala perasaanya. Bahunya naik turun karena menangis sampai sesenggukan.

Wanita di depan nya kini benar-benar bukan Rose yang selama ini ia kenal. Ontinya sudah berubah 180 derajat. Tak ada lagi onti yang selalu perhatian padanya, onti yang selalu cerewet, bertingkah heboh sekaligus penuh tawa.

"Utututuu.. Rena sayang.. cup cup cup jangan menangis kau membuat onti khawatir,"

"Hiks.. Kenapa onti? Rena kira selama ini onti benar-benar tulus menganggap Rena.."

"Rena mau ngucapin terimakasih onti. Selama ini perlakuan onti selalu sangat baik sama Rena.."

Rose mengubah raut wajahnya datar, ia menatap lurus ke arah lain. Lalu berkata, "Tidak ada ketulusan abadi di dunia ini Rena. Kau salah orang untuk berharap."

Rose membalikkan badan berjalan meninggalkan Rena. Tak lama pintu kayu raksasa itu tertutup bersama dengan hilangnya tubuh Rose.

***

#Flashback on

Gaun putih yang gadis itu kenakan terlihat mengembang tertiup angin. Sebuah bando dari rangkaian bunga terpasang cantik di puncak rambut sebahunya.

Gadis kecil itu berlari di atas rerumputan hijau sambil tertawa puas. Ia berputar-putar mengikuti hembusan angin yang menerbangkan rambutnya tak tentu arah.

Sebuah panggilan membuat nya menoleh pada sumber suara. Netra nya menangkap seorang lelaki kecil tengah berlari kearahnya.

"Kakak.. kakak.. tunggu Reno kak," teriaknya dari kejauhan.

"Sini Reno.. kejar kakak," jawab gadis kecil itu lantang.

Sepasang anak kecil itu saling berlari dengan penuh tawa. Keduanya terus berlari, hingga sampai di tepi hutan. Rena berlari menembus beberapa ranting kecil dengan Reno yang berada di belakang nya.

"Kakak jangan cepat-cepat Reno.. lelah berlari kak," eluhnya.

Jarak membuat Rena tak mendengar teriakan sang adik, ia terus berjalan hingga tak melihat bayangan adiknya.
Saat mulai merasa sepi, ia berhenti berlari memutuskan untuk kembali menyusul sang adik.

Tapi alangkah terkejutnya Rena saat mendapati tubuh Reno sudah tersungkur di tanah dengan ranting tajam yang menancap di perut kirinya. Rena menggoyang-goyangkan tubuh Reno seraya memanggilnya mencoba untuk menyadarkan lelaki kecil itu.

"Reno.. bangun kamu kenapa? Kok kamu berdarah?," kata Rena polos.

Ia berjongkok, menyentuh perut kiri Reno yang dipenuhi darah hingga noda darah itu juga ikut mengotori gaun putih nya. Rena memandangi telapak tangannya yang dipenuhi darah mencoba untuk mengerti.
Tiba-tiba ia terlonjak saat mendengar teriakan histeris dari ibunya.

"Aaaaaaaaaaaa!" teriakan melengking dari ibunya membuat beberapa orang berdatangan. Tak lama ibunya jatuh dan kehilangan kesadaran nya.

Rena semakin kebingungan, ia langsung menangis ketika melihat sang ibu yang pingsan.

"Apa yang kau lakukan Rena?! Kau membunuh adikmu sendiri hah?! Dasar anak Iblis kau!," murka seorang pria paruh baya.

Rena hanya bisa menangis, takut melihat pada ayah nya yang memasang wajah murka.

"Kenapa kau menangis? Jawab! Dasar pembunuh!"

"Cukup Anton! Biarkan ini menjadi urusanku! Urus saja istrimu dan jasad Reno," sahut seorang pria tinggi dengan uban yang hampir memenuhi seluruh rambut hitamnya.

"Dia harus mati Ayah! Dia pembunuh!  Dia membunuh anakku, biarkan aku membunuh nya juga!"

"Kubilang cukup! Biarkan Rena bersamaku."

Suruhan Ugraha Egberta langsung menarik paksa Rena masuk ke dalam mobil sedan hitam.

"Kakek Rena mau papa sama mama kek.. *hiks Rena ngga mau ikut.. *hiks"

Sejak saat itu, Rena tak pernah bertemu kedua orang tuanya lagi. Ia hanya hidup dengan pembantu-pembantu yang berkerja pada Ugraha.

Hingga diusianya tempat menginjak tujuh tahun, Rose mengambil alih asuhan Rena dari keluarga Egberta. Meski nama Egberta masih melekat pada namanya, tapi Rena tak sedikitpun diakui bagaikan sampah yang dibuang begitu saja.

Kenangan pahit itu masih sering mendatanginya lewat mimpi yang membangkitkan kembali trauma terberatnya. Bertahun-tahun Rena hidup di bawah bayangan kelam penuh penyesalan.

"Mereka semua benar, aku memang pembunuh yang pantas untuk dibunuh," lirih Rena.

_________________

Thanks for reading <3
To be continued

Chippi

Arega✔ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang