3 - Transformation

2.2K 215 44
                                    

***

"Astaga, apa-apaan ini?!" matanya melotot penuh tanda tanya sambil terus melihat lembar demi lembar pamflet tempelan itu disepanjang jalan yang makin kesini makin banyak saja.

"Sial! Siapa yang berani buat begini sama gue??" sadar dirinya sedang ada dalam taxi, Jenny segera membenamkan kepala dan wajahnya dibalik bagian kupluk hoodienya.

"Pak putar balik nggak jadi ke hotel, antarkan saya ke daerah Blok M saja." lontarnya di arah punggung sopir taxi.

"Baik Mba." arahpun diputar sopir, seraya Jenny mencatat dan menyimpan nomer ponsel yang tertera di pamflet itu kedalam ponselnya.

"Nomer siapa ini? Gua bakal lacak nomer ini. Tapi perasaan tak ada yang tau gua berangkat ke Jakarta ini selain ayah dan, Jul..." terpaku sejenak mengingat nama Julius, Jenny mendecak lidah. Pikirannya berputar...apakah ini kerjaannya si Julius? Apakah si Julius itu telah benar-benar menjadi orang baik ataukah cuma sandiwara saja di depan ayahnya? Ataukah pria itu sengaja berbuat hal ini untuk menjahili dirinya karena sudah menolak perjodohan mereka?

Jenny menggerjapkan mata kesalnya sambil mengotak ngatik ponsel. "Kalau gue hubungin ayah rasanya gak mungkin karena kondisi ayah bisa lebih memburuk jika tau kondisi sesak gue saat ini!" maka kontak nama Dokter Juan pun yang dihubunginya.

"Om Juan, ini aku Jenny."

"Ya Jen?" jawab dokter sebagai dokter yang menangani ayahnya sekaligus sebagai dokter pribadi keluarga Jenny.

"Gimana keadaan ayah sekarang Om?" tak bisa dipungkiri Jenny selalu mengkhawatirkan kondisi rentan sang ayah.

"Beliau sedang istirahat Jen. Kondisinya stabil saat ini." jawab tegas sang dokter.

"Sukurlah kalo gitu Om. Tapi Jenny mau minta bantuan sama Om. Jenny mau di ruangan ayah harus ada yang jaga 24 jam Om! Jenny khawatir akan ada yang berbuat jahil pada ayah!" Jenny terdengar sedih di telinga dokternya.

"Ok Jen kamu tenang saja, nanti Om suruh para perawat untuk silih berganti stay di ruangan Pak Jabbar selama 24 jam. Emangnya kamu sedang pergi kemana Jen?" sang dokter balik bertanya.

"Jenny harus pergi ke Jakarta dulu Om untuk mengerjakan tugas dari ayah." si dokter paham dan mengangguk di sebrang telpon Jenny.

"Kamu jaga diri Jen..." pesan sang dokter yang memang sudah seperti keluarga itu, pembicaraanpun diakhiri.

Turun dari taxi dengan terus menyembunyikan wajahnya di balik hoodie, kacamata dan balutan masker karena barisan pamflet masih terlihat bertengger saja hingga kedaerah itu, Jenny bergeleng tak habis pikir sambil terus berjalan gugup menuju sebuah rumah dan itu rumah sahabat kuliahnya dulu bernama Jodi.

Mengetuk pintu dan Jodi sendiri yang membukanya, mereka berangkulan karena Jodi adalah sobat terdekatnya dulu.

Maka tak banyak ragu Jenny pun bercurah dan menceritakan semuanya pada Jodi.

"Gua yakin nasib lu sedang dalam bahaya kalau situasinya seperti ini Jen! Lu saat ini bawa file yang teramat penting dan sangat di incar musuh-musuh dari bokap lu." Jodi menggeleng muka dan ikut jadi khawatir.

"Lu bantuin gue Jo..." wajah Jenny terlihat sangat bingung dan buntu.

"File itu harus segera diberikan pada Jenderal Chedid tapi dengan kondisi tampang lu terpapar luas diseluruh Jakarta, lu bakal sulit berkeliaran bebas Jen karena gua yakin komplotan mafia itu bakalan terus ngikutin lu dan tau keberadaan lu." lanjut Jodi mondar mandir mencari ide jalan keluar.

"Gue harus gimana Jo?? Jujur gue gak bisa lama-lama di Jakarta, bokap gue butuh gue di rumah sakit sana... tapi gue juga gak bisa pulang sebelum menyelesaikan permintaan bokap gue ini." murung Jenny, beban ternyata terasa berat diresapi otaknya.

Mine's Just Yours |EnD|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang