26 - Trouble Maker

1.5K 203 62
                                    

Maaf baru bisa UP sekarang karena sulit sekali jika energi menulisnya belum masuk ke dalam otak itu bagiku sulit untuk bisa mulai lagi karena jika dipaksakan malah bisa bikin alur dan tata bahasanya jadi ngawur dan acak-acakan. Harap dimaklumi ya... 😀 🙏

***

Kepalan tangan meninju tembok berkali-kali demi menghabiskan nafsu amarah dalam diri, jika saja tadi tungkai kaki tidak memaksa dirinya keluar dari kamar, pasti kedua tangan bisa saja memukul Jihane.

Tapi John tak mungkin mau setega itu kepada istrinya. Tarikan nafas naik dan turun begitu berat, John mengeluarkan airmata kesal juga sesal, lelah dan akhirnya berhenti menghantam, dua tangannya merekat di tengkuk leher nan tegang bersandar pada dinding, ingin rasanya berteriak keras namun dia harus tetap dapat terkendali.

Meratapi suasana semakin kalut, Jihane enggan sekali beranjak dari sana bahkan tubuhnya merosot meringkuk dilantai seraya terus menangis saja karena bentak dan amarah suaminya sungguh terasa sakit sekali diterima direlung hatinya.

Kondisi diluar hujan salju turun belum juga reda bahkan semakin kerap dan lebat saja disertai angin kencang yang melanda. John mulai merasa bimbang dan mondar-mandir diruang tengah sambil menatapi pintu kamar... karena Jihane tidak juga keluar.

Arah jarum jam sudah berada di angka satu lebih, John tak bisa membaring di sofa, rasa khawatir yang mulai merebak kembali muncul dalam diri memikirkan Jihane karena keadaan Jihane di dalam kamar yang belum mengisi perutnya sedari siang, terlebih pecahan keramik guci yang berserakan dimana-mana riskan sekali bisa terinjak oleh kakinya Jihane.

John mengusap di riak sesal wajahnya dan beranikan diri untuk masuk lagi ke kamar, tapi teringat ucapan Jihane tadi bahwa Jihane bosan padanya, langkah kembali berhenti dan mundur.

"Tapi dia harus mengisi dulu perutnya!" bentak resah dalam hati yang harus melawan pada rasa gengsinya, menoleh meja makan John mendekat kesana dan tau semua hidangan itu sudah dingin, tak ragu memanaskan mereka kedalam Microwave terlebih dahulu, kemudian menyisihkan sebagiannya diatas satu piring dan membawanya menuju kamar.

Tungkai kaki melangkah dan melihat ringkukkan istrinya, John menaru piring dimeja nan segera meraih tubuh Jihane, memboyongnya ke atas tempat tidur, John mendekapnya, dan Jihane tak sama sekali menolak dekapan tersebut.

"I'm sorry..." John mengeluarkan suara tangisannya memeluki Jihane, sedangkan Jihane hanya terus tersedu pelan dipelukan John namun parasnya mengangguk yang artinya memaafkan.

"Badan kamu tadi kena serpihan guci itu nggak?" tanya John menatap was-was seiring bangun dan memeriksa kondisi badan istrinya dari atas hingga bawah.

"Aku gak apa-apa." jawab gelengannya yang bersuara tersendat.

"Ini, kamu harus makan, kasian bayinya kalo gak makan." seiring teringat kata bosan dari Jihane, perlahan John turun kembali dari ranjang namun di tahan pegangan Jihane.

"Suapin..." mendengar itu John tersenyum kecil meraih piring dan sendoknya, ia dengan senang hati menyuapi Jihane. "Kamu juga makan." lanjutnya dan John mengangguk pelan menyuapi dirinya sendiri, merekapun makan sepiring berdua di malam tersebut.

"Maafkan aku Sayang... tak bermaksud sama sekali mengatakan hal itu tadi pada kamu." Jihane merekat dua tangannya diwajah sang suami selepas mereka selesai makan yang cuma beberapa sendok saja karena rasa lapar mereka sudah terlewati sedari tadi. "Aku sama sekali gak bosan sama kamu. Aku cinta banget sama kamu John..." saling berpeluk, Jihane amat erat sekali memeluk bahkan setelah itu ia perlahan... melepas semua pakaian atau kain yang masih menempel ditubuhnya hingga bugil karena memang baju yang ia kenakan saat ini masih berpakaian berat.

Mine's Just Yours |EnD|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang