36. Murung

20.5K 2.5K 35
                                    

Sudah 2 hari semenjak kepergian Liam. Abel, Athena, dan Ares tetap masuk sekolah, meskipun rasanya agak canggung dan masih ada rasa sedih yang tersisa di diri mereka masing-masing.

Kemarin, Silla baru saja sadar. Mereka terpaksa berbohong dengan berdalih, 'Liam sedang pergi untuk sementara waktu' agar kesehatan gadis itu tidak memburuk. Yah, meskipun pada nyatanya, Liam tidak pergi untuk sementara.

Memang susah untuk membohongi Silla, apalagi kini ia sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi untungnya, mereka berhasil meyakinkan gadis itu.

Seperti biasa, Athena duduk di bangkunya sembari merebahkan kepalanya di atas meja. Kepalanya menghadap ke jendela yang setengah terbuka, membiarkan wajahnya diterpa angin pagi yang sejuk.

Ia menatap ke langit, tersenyum tipis. "Bunda, jagain Liam di sana, ya. Dia masih baru, jadi mungkin bingung sama dunia barunya." Athena terkekeh sendiri.

Tiba-tiba, telinganya terasa dingin dan geli. Athena refleks menoleh. Ia menatap malas pada laki-laki yang baru saja meniup telinganya.

"Apa?"

Sebelum menjawab, laki-laki itu malah duduk di bangku depan Athena sembari menghadap ke arah gadis itu.

"Nggak boleh banyak sedih, makin jelek."

Athena memutar bola matanya, ia kembali menaruh kepalanya di atas meja, seperti awal. Laki-laki tadi tersenyum tipis sembari menatap Athena yang sedang menutup matanya.

"Emang nggak sakit tuh kepala? Sini, tangan gue bisa jadi bantal."

Tidak ada jawaban.

Laki-laki itu menepuk kepala Athena pelan dengan gemas. Athena menepis tangan besar itu dari kepalanya.

"Lo kenapa jadi jahil gini, sih, Bar?"

Bara, laki-laki yang sedari tadi mengganggu Athena itu tersenyum tipis.

"Sifat gue yang gini jarang-jarang, lho, Na. Karena lo tunangan gue."

Athena menghela nafas. Lagi-lagi, ia kembali di ingatkan dengan malam pertunangan itu.

"Waktu itu gue pingsan, dan gue nggak pernah bilang setuju dengan pertunangan itu."

"You are mine."

Athena melirik Bara yang mendadak serius. Hanya sebentar. Setelahnya, ia berdecak pelan dan kembali ke posisi semula.

"Terserah. Yang penting, jangan ganggu gue tidur."

Tanpa Athena ketahui, Bara tersenyum. Entah senyum yang memiliki makna apa. Yah, ia tidak peduli juga.

"Siap bos!"

•°•°•°

"Bel."

Tidak ada sahutan dari gadis yang sedang melamun sembari menatap ke luar jendela itu.

"Pstt, Bel." Laki-laki yang berada di belakang Abel itu kembali memanggil Abel yang sedang melamun, bahkan gadis itu tidak memperdulikan pelajaran yang tengah berlangsung.

Atlas, laki-laki yang sedari tadi memanggil Abel itu memukul Abel pelan menggunakan pulpennya.

Abel tersadar dari lamunannya. Bersamaan dengan itu, guru di depan memanggil Abel.

"Abel! Jawab pertanyaan nomor 2."

Abel yang sedari tadi tidak memperhatikan penjelasan guru matematika wajib itu mendadak bingung sendiri.

Abel menoleh samar ke arah Atlas, sembari berbisik. "Gue nggak paham."

Atlas menggeleng pelan. Sudah ia duga. Atlas menyerahkan bukunya yang sudah berisi catatan-catatan mengenai soal didepan sana.

Transmigrasi | | Dua Jiwa Satu RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang