"Kenapa baru sekarang?" Sohyun berdiri tegap menatap ke arah Woojun, anak laki-laki berbeda Ayah dengan dia.
Sudah tidak heran lagi mengapa dalam Keluarga Ji tidak pernah sekalipun mengungkit sosok Ayah dari mereka. Bukan karena tidak ingin, namun Woojun hanya tidak ingin mental Sohyun jatuh lebih dalam.
Woojun menyayangi Sohyun sebagai ganti kasih sayang dari sang Ibu yang selama ini selalu saja mengabaikan keberadaannya. Selain menjadi anak dari hubungan gelap sang Ibunya- Nara, sekali pun menjadi cucu perempuan satu-satunya di keluarga Ji, tidak menutup kemungkinan Woojun untuk tidak membenci Gadis tidak berdosa seperti Sohyun.
Namun atas segala perlakuan tidak adil keluarga Ji pada mereka dan memberi cap Sohyun selalu menjadi nomor dua dalam semua hal. Rasa benci itu mulai hadir menyelimuti hati Sohyun yang masih lemah, Ibunya terlalu pilih kasih dan selalu membatasi dirinya.
"Kenapa baru berani melawan Ibu?" tanya Sohyun lagi.
Woojun menatap samar ke arah Sohyun, "Aku tau selama ini kamu banyak tersiksa oleh sikap Ibu."
"Iya karena kamu, Tuan muda pertama yang sangat dibanggakan di Keluarga Ji."
"Ji Sohyun," tegas Woojun.
Sohyun tersenyum tipis, siapa yang peduli akan sikapnya ini? Ia juga tidak mempan dengan gertakan dari kakak laki-lakinya itu.
"Kamu pikir aku tidak sama tersiksanya dengan dirimu?" tanya Woojun.
Kakak beradik dengan usia berjarak tiga tahun itu saling memandang. Sorot mata luka terlihat begitu jelas di mata mereka. Sohyun melangkah keluar, pergi meninggalkan Woojun begitu saja setelah sebelumnya memakai jaket tebal disana.
Meninggalkan Woojun seorang diri ditengah sunyinya hamparan taman Rumah mereka. Sekali lagi, Woojun tidak bisa menyalahkan sikap Sohyun yang terus berlaku tidak sopan padanya. Karena sikap itu ada bukan tanpa sebab.
Sohyun berjalan cepat sesekali meremas kertas yang ada dalam genggamannya. Memorinya berputar mengingat saat-saat Kakek Ji datang menghampirinya.
"Ini untukmu," ucap Kakek Ji.
"Masih tetap ingin mengirimku ke luar negeri?"
"Ingin kebebasan tidak?"
Sohyun tersenyum miris, begitukah kebebasan yang selalu menghantui pikiran Kakeknya? Itu sama saja membuangnya. Selama ini ia tidak benar-benar merasakan kasih sayang yang tulus di keluarganya. Apa itu kasih sayang? Apa itu cinta? Saat Ibunya menikah dengan laki-laki lain setelah kematian Ayah Woojun atau setelah dia lahir saat Ibunya memilih berhubungan dengan sang Ayah tanpa memikirkan perasaan Woo Jun yang tengah berduka?
Sohyun menghentikan langkahnya disini, disebuah Toko Roti lengkap bersama kenangan sesaatnya waktu itu. Menatap pada bangunan kokoh didepannya dalam diam tanpa bergerak sedikitpun.
Entah apa yang membuatnya tertuntun untuk kembali kemari. Ia tetap bergeming tidak bergerak sedikitpun walau dalam pintu sudah tertulis jelas Toko sedang dibuka hari ini. Sohyun ternyata masih ragu, alasan mengapa dia bisa dengan mudah pergi ke tempat ini namun tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk masuk kedalam.
"Kamu lagi?"
Sohyun memutar badannya menatap laki-laki itu dibelakang. Masih sama, topi hitam itu masih bertengger rapi di kepala Taehyung. Hari ini weekend, mereka libur dari semua aktivitas Sekolah.
Taehyung berjalan mendekati Sohyun disana tidak lupa menyapa Gadis itu dengan senyum manis khas-nya.
"Kenapa berdiri diluar? Tidak masuk?" tanyanya kembali menyadarkan lamunan Sohyun.
Boleh tidak kalau dia mengatakan kedatangannya kemari hanya untuk melihat keberadaannya saja? Nyatanya hati Sohyun sedikit membaik setelah melihat senyum manis yang terukir di wajah Taehyung. Laki-laki pertama dengan ekspresi cerita serta selalu bersinar karena keramah-tamahannya.
Sohyun memberanikan diri melangkah masuk ke dalam mengikuti langkah pemuda itu walau ternyata dompetnya tertinggal di Rumah.
"Oh Ji Sohyun, hai." Jo Jihyun ternyata juga disana, duduk manis dengan melambaikan tangan ke arah Sohyun.
Mau tidak mau Sohyun bergerak menghampiri Gadis itu dan duduk berhadapan dengannya. Jo Jihyun, Gadis supel dan suka sekali berteman dengan banyak orang dan juga merangkap sebagai teman sekelas Sohyun.
"Makanlah yang banyak hari ini aku traktir," seru laki-laki penjaga Toko disana.
Jihyun mengangguk semangat tidak lupa dengan senyum manisnya yang mengembang sembari menatap pada pemuda penjaga Toko disana.
"Kamu kesini lagi pasti rotinya enak kan?" tanya Jihyun memecah keheningan disana.
Sohyun mengangguk pelan, entah kemana perginya Taehyung tadi. Namun yang pasti dia masih duduk bersantai disana sembari menikmati hidangan Roti.
"Aku juga paling suka Roti disini," ujar Jihyun dengan senang, "tidak ada yang mengalahkan rasa enak Roti buatan Kak Jinwoo."
Jinwoo- laki-laki penjaga sekaligus pemilik Toko yang menggarap sebagai Kakak kandung dari Taehyung. Jihyun suka sekali Roti buatan tangan pemuda itu, tidak heran membuatnya menjadi maniak Roti dan berujung akrab dengan segelintir orang disana.
"Sudah lama disini?" Taehyung datang sembari duduk disebelah Jihyun.
"Tidak juga," jawab Jihyun.
Sohyun menatap mereka sesekali mengunyah Roti tanpa ingin menyela sedikitpun, selama ini dia hanya selalu menutup diri. Membatasi dirinya dengan orang sekitar, mungkin karena keluarganya yang berantakan.
"Bonus untuk kalian," serunya.
Sohyun memalingkan wajahnya menatap pemuda penjaga disana datang dengan sebuah kursi roda. Melihat sejenak bagaimana laki-laki itu dengan semangat menyerahkan semangkok Roti berbeda dengan tiga kotak susu disana. Rasa semangatnya cukup membuat Sohyun kembali tersentuh.
"Kak Jinwoo kenapa tidak minta bantuanku saja," ucap Taehyung sembari menatap kakaknya.
Jinwoo masih bisa tersenyum dengan kondisinya yang sekarang ini. Mungkin Sohyun yang selalu hidup dalam kurungan hingga baru sadar di Dunia ini ada orang yang lebih menderita daripadanya.
"Tidak apa-apa, aku ingin mengantarkan langsung saja pada kalian."
"Tumben Kak Jinwoo kasih kami banyak porsi Roti," lugas Jihyun disana.
"Aku hanya ingin kalian mencicipi menu baru di Toko ini," jawab Jinwoo.
Suasana seperti ini jarang sekali Sohyun merasakannya. Suasana nyaman serta perasaan aman setiap kali dia memilih untuk bersinggah, berbeda saat dia berada di Rumah.
Sohyun hanya ingin segera mengakhiri semua, masalahnya, ibunya, kakeknya dan juga Woojun. Ia hanya ingin hidup baik-baik saja tanpa tekanan mental dan juga rasa bencinya terhadap orang-orang di Rumah. Ia tersenyum tipis, aku rasa semua ini hal mustahil untuk terjadi, batinnya.
TBC!!!
Kata bercetak tebal hanya keperluan challenge ya:) Yuk 1k view bisa yuk😭
Maaf gabisa nulis panjang karena ini novelet ngga seperti cerita²ku sebelumnya. Kayanya bagus nih dilanjut setelah challenge berakhir (?)
Oke sekian dulu basa basinya, semoga kalian suka.
See You Next♡
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR DREAM ♣ End To Start [Taesso Ver.]
Teen FictionKenapa di Dunia ini ada nomor dua? Kenapa angka ini memaknai titik jatuh setelah hadir angka satu? Apa yang salah menjadi nomor dua? Sekadar mimpi dan juga harapan yang ia taruh selama ini pada keluarganya. Sekadar harapan akan mimpi-mimpi yang sem...