Hari ini harusnya aku sudah baik-baik saja dan melanjutkan hidup seperti biasa. Namun yang aku lihat setiap kali membuka mata hanya sebuah kamar bernuansa hijau muda, meski aku berusaha untuk melupakan semua ini tapi tidak berarti menghapus fakta bahwa diriku ada di dunia ini hanya karena sebuah alasan.
"Apa kamu sudah mempertimbangkan tawaranku?" ucap Kakek Ji di balik pintu yang sudah terbuka lebar. Seakan menjadi pemegang kendali dalam garis mimpi yang selama ini Sohyun angankan. Sebuah mimpi yang digadang-gadang tidak juga menemukan titik temu, dimana perang dingin antar keluarga ini menghapus segala minatnya akan sebuah kisah kasih keluarga harmonis yang tadinya sangat ia dambakan.
"Aku tidak bisa Kakek," tukas Sohyun.
"Kenapa terlalu buru-buru memutuskan?" tanya Kakek Ji sekali lagi.
Sohyun menghela napas pelan. Mungkin semua dia masih belum mengerti akan hiruk-piruk hidup dan tidak begitu paham pasti akan dunia seperti apa yang kini tengah ia jalani. Seolah membuatnya ikut terombang-ambing bagai mengikuti setiap hembusan angin tanpa tahu arah tujuan yang sebenarnya.
"Kakek ingin mengasingkan aku dari Keluarga Ji kan?" Sohyun tidak semena-mena mengatakan hal demikian karena tidak lagi menghormati lelaki tua disana.
"Apa kamu berpikir begitu?" ucap seseorang menengahi pembicaraan mereka berdua.
Sohyun menatap enggan pada sosok Wanita paruh baya disana. Di mana setiap kali potongan memori terlintas, berputar menarik mundur setiap momen yang sudah terekam jelas dalam otaknya. Memutar kembali sebuah kenangan lama seperti sebuah kaset klasik yang telah rusak dan tak tahu lagi bagaimana cara agar menghentikannya.
Gadis itu menahan gejolak yang hadir membelenggu dirinya setiap kali menatap pada sosok Wanita itu. Bukan maksud lain, hanya saja dia merasa tidak tahan karena ingatan lalu kembali hadir menusuk batinnya.
"Haruskah Ibu begini padaku!" seru Sohyun.
Wanita itu memalingkan wajahnya sejenak seraya memandangi objek yang sudah menjadi sumber fokus matanya beberapa detik yang lalu, "Haruskah Ibu juga menegaskan lagi padamu? Saat kamu lahir saja tidak ada yang menginkanmu."
"Stop Ji Nara." Kakek Ji sedikit meninggikan suaranya. Sohyun masih remaja, Wanita itu tidak pantas menekankan kalimat demikian pada cucu perempuan satu-satunya dalam Keluarga Ji.
Sohyun mengatupkan bibir rapat-rapat tanpa mau berucap sedikitpun dengan tangan yang terkepal kuat.
"Apa karena Ji Woojun? Apa semua ini hanya karena aku terlahir sebagai perempuan yang tidak diinginkan dalam Keluarga Ji?" Sohyun mengigit pelan ujung bibirnya, "lalu kenapa Ibu memilih berhubungan gelap dan menggaris bawahi semua ini padaku!"
Meski semuanya tak lagi dapat terelakkan, bagi Sohyun saat ini dia tetap menjadi orang yang sama seperti sebelumnya. Hidupnya memang tidak diinginkan oleh Keluarganya sendiri, setiap hembusan napasnya seakan tak lagi berharga. Bahkan setiap kali mengingat untaian kalimat terus menggema dibalik celah ruang yang ada dalam kepalanya. Dia semakin benci, kenapa semua orang disini tidak melenyapkannya saja sejak awal.
Ji Nara- Wanita itu terdiam tanpa menjawab balik semua penegasan kalimat yang terlontar dari bibir Sohyun. Lidah Wanita itu seakan kelu tidak berdaya setelah mendengar kata penuh arti yang menyayat relung jiwa.
"Apa karena aku terlahir Perempuan?" tanya Sohyun sekali lagi.
"Sohyun hentikan," ucap Kakek Ji disana.
Sohyun mengalihkan pandangannya sesekali tersenyum getir. Mungkin sebagian fakta yang terucap sebelumnya itu benar, menjadi satu-satunya keturunan yang hadirnya saja tidak disegani, disayangi atau bahkan diayomi. Yang dia tau hanya dalam aturan Keluarga Ji adalah menentang hadirnya seorang perempuan di generasi ke-tiga mereka.
Gadis itu lahir bukan karena kesalahan. Tapi kenapa semua orang dalam Keluarga ini terus menampung dirinya dan terus berpura-pura baik?
"Kakek tidak akan begini saat tau anak Perempuan Anda sedikit becus mengurusi hidupnya," sarkas Sohyun.
Plakk!!
Suara tamparan keras hadir menggema. Bunyinya terdengar memilukan dengan ruangan sunyi yang menjadi saksi perdebatan mereka disana tidak cukup membuat Sohyun segan dan tertunduk patuh.
Gadis itu meraba pelan bekas tamparan dengan menyisakan luka memar diwajahnya sembari tersenyum tipis. Di mana rasa sakit yang kini tengah dia rasa tidak sebanding dengan semua rasa benci yang ia punya.
"Anak tidak tau malu," ucap Nara. Wanita itu sepertinya tidak tergerak sedikitpun hatinya setelah mendengar kalimat penuh sarkas dari anaknya sendiri. Sesama Perempuan tidakkah Nara sedikit punya rasa empati? Terlebih hubungan darah mereka tidak cukup pantas membuat Sohyun tunduk sopan.
"Aku lebih baik tidak tau malu, daripada tidak tau diri meninggalkan suaminya yang sekarat hanya demi menemui Pria lain." Sohyun menatap tajam pada Nara, Ibu kandungnya sendiri.
Kali ini Kakek Ji tidak ikut bersuara. Sohyun benar, Anaknya, Nara memang sudah melakukan perbuatan yang fatal dalam Keluarga Ji yang sangat menjungjung tinggi nama baik dan rasa hormat. Beliau tidak lagi mempersalahkan Sohyun berucap sedemikian rupa pada Nara.
Sohyun kembali dibuat getir setiap kali mengingat potongan memori itu. Sorot matanya selalu bergetar setiap kali mengingat kembali kenangan itu. Kata orang-orang, sosok yang selalu hadir dan tetap bersamanya, menemaninya, mendengarkan keluh kesahnya mungkin itulah gunanya Keluarga. Kenapa Keluarganya tidak demikian? Satu-satunya sosok peran Ibu yang sudah lama hilang dari hidupnya dan membuatnya terus ditemani oleh rasa luka tidak membekas, namun torehannya kekal dalam hati.
"Ibu tidak tau seberapa hancur perasaan aku setelah mengetahui semuanya," ucap Sohyun langsung berbalik melangkah pergi darisana.
"Ji Sohyun!!" teriak Ji Nara. Wanita itu hendak mengejar Sohyun namun tertahan oleh Kakek Ji, Ayahnya. Kakek tua itu menggeleng pelan pada Nara agar tidak mengejar cucu perempuannya.
"Sudah, cukup. Woojun melihatmu disana," tutur Kakek Ji.
Nara memalingkan kepalanya ke samping melihat Woojun yang sudah berdiri tegap tidak jauh dari tempat mereka berpijak tanpa gerak sedikitpun. Menatap dalam Pemuda itu dengan segala isi pikirannya sendiri, apakah Pemuda ini melihat semuanya? Apakah Pemuda ini sudah mendengar pembicaraan mereka tadi?
Keluarga macam apa yang mereka miliki ini. Kenapa dari Sohyun sekalipun Woojun sekalipun tidak pernah merasakan sirat kehangatan didalamnya. Mengapa kisah tidak mengenakkan ini harus hadir diantara lingkaran keluarganya yang begitu rumit dan berakhir membuat mereka terus bersikap seperti orang asing. Sekedar percaya saja, Woojun tidak yakin.
TBC!!!
Hayoloh gimana-gimana, udah mulai kecium problem-nya belum?
Gaada spoiler pokoknya ya👀
Sekedar memberitahukan, book ini tidak akan sepanjang cerita yang aku publish sebelumnya ya. Kata cetak tebal diatas hanya demi keperluan [syarat challenge ya].
Work ini akan update setiap dua hari sekali. Akan double up nanti maybe kalau memungkinkan.
Dengan mengusung konflik yang sering terjadi dalam keluarga dan diberi sedikit bumbu romance didalamnya,
Lalu apa hubungannya dengan "Dear Dream?" kalo diartikan apa hubungannya dengan mimpi?
Ada kok, kalo kalian terus ikutin cerita ini nanti bakal paham juga.
Intinya jangan pernah bosen baca cerita ini, jangan pernah bosen untuk tinggalin jejak disini. Yang lebih penting itu komen-komen dari kalian, gaada yang ngalahin sekalipun itu dari doi xixi.
Bijaklah dalam membaca, hargai setiap tulisan diatas.
Cukup sekian, and see you♡
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR DREAM ♣ End To Start [Taesso Ver.]
Novela JuvenilKenapa di Dunia ini ada nomor dua? Kenapa angka ini memaknai titik jatuh setelah hadir angka satu? Apa yang salah menjadi nomor dua? Sekadar mimpi dan juga harapan yang ia taruh selama ini pada keluarganya. Sekadar harapan akan mimpi-mimpi yang sem...