"Omong kosong apa yang sedang kamu bicarakan? Berkata seperti itu pada anak kita satu-satunya apa sudah benar menurutmu?"
Joo Hyunjin-- lelaki paruh baya itu nampak mengusap wajahnya dengan gusar setelah disemprot oleh beberapa pertanyaan dari sang istri disana.
"Frisa kamu mungkin lupa tapi--"
"Iya kenapa kalo misalnya aku masih ingat? Apa kamu akan tetap menegaskan siapa anak itu sebenarnya didepan Jihyun huh! Joo Hyunjin sampai kapanpun keluargaku tidak akan pernah menerima keturunan yang silsilah kekeluargaannya hancur. Memangnya kamu mau kalau Jihyun dicoreng namanya dari keluarga besar kita?"
"Aku hanya ingin datang menemuinya, bagaimanapun dia juga putri kandung aku Frisa. Selama ini aku selalu dihantui kecemasan akan sosoknya," sahut Hyunjin.
"Apa yang istimewa dari seorang anak yang lahir dari rahim seorang pelacur? Apa kamu sedang mengasihani anak yang tak seharusnya dilahirkan dan hidup di dunia ini?"
Jihyun mengambil satu langkah ke belakang begitu mendengar kalimat penegas yang baru saja dilontarkan oleh sang ibu. Menatap bagaimana amarah wanita paruh baya itu hingga memerah dua kelopak matanya menghadapi Ayah yang seharusnya saat ini masih bertukar rindu.
"Jihyun sudah dewasa, cepat atau lambat dia akan tau semua ini Frisa. Kalau memang kamu tidak bisa melihatku untuk memperdulikan anak itu, tolong beritahu bagaimana caranya aku untuk tidak lagi memikirkannya."
"Kembalilah ke Kanada," sarkas Frisa selaku sang istri dari Hyunjin.
"Apa?"
"Kalau dengan kedatanganmu hari ini masih belum cukup menghapus ingatanmu dimasa lalu, maka jangan pernah sekalipun berpikiran untuk pulang kembali."
Air mata Jihyun mulai menetes, untuk yang pertama kalinya dia melihat secara langsung perdebatan serius diantara orangtuanya. Dia pikir selama ini hubungan ibu dan ayahnya begitu mesra hingga tak sedetikpun dia mencemaskan bagaimana kisah rumah tangga mereka.
"Aku menolak kalau ayah harus kembali lagi ke Kanada," timpal Jihyun menengahi pembicaraan mereka.
Baik Frisa maupun Hyunjin merasa terkejut mendapati keberadaan Jihyun tak jauh dari posisi mereka berpijak. Frisa yang merasa was-was pun sontak melangkah cepat menghampiri putrinya karena air mata yang jatuh membasahi kedua pipinya itu.
"Apa kamu sedang menguping pembicaraan kami? Jihyun harusnya kamu tidur sekarang sudah larut malam," cemas Frisa berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku lebih baik punya saudara lain daripada harus kembali berpisah dengan ayah, Ibu. Apa ibu tidak tau kelulusanku sudah dekat? Yang aku butuhkan saat ini hanya kalian berdua, dua orang yang sangat aku cintai dan aku banggakan namun kini rasanya aku begitu asing."
"Jihyun apa yang kamu bicarakan?"
Hyunjin tetap termangu diam bahkan setelah mendapati sang anak berlari kecil masuk ke dalam pelukannya. Ini merupakan hari keempatnya disini namun dia malah melukai hati putrinya sendiri dengan fakta yang begitu menyakitkan.
"Aku tidak ingin ayah pergi lagi," lirih Jihyun dengan suara terlampau bergetar.
____
Angin berhembus kencang bahkan rintikan hujan kini mulai turun membasahi bumi dengan perlahan tidak membuat Sohyun sadar dan segera untuk mencari naungan. Yang dia lakukan sejak tadi hanya duduk melamun menatap lurus ke depan dengan tatapan mata yang amat begitu kosong.
"Andai saja kamu menerima tawaran kakek waktu itu, mungkin hidupmu tak akan jauh lebih seperti hari ini."
Suara berat nan serak itupun mampu mengalihkan pandangan Sohyun. Antara malas untuk berbicara dan tak ingin diganggu itu beda tipis.
"Kakek sudah mencoba menawarimu untuk pergi ke luar negeri menemui ayah kandung kamu tapi kamu malah menolaknya," lanjut kakek Ji dengan begitu santainya.
Meski pada akhirnya Sohyun merasa tertarik dengan topik pembicaraan mereka, namun dia tetap memilih diam dan tak sekalipun berniat untuk bersuara.
"Apa kamu sudah merasakan sikap aneh dari ibumu itu?" tanya kakek Ji kembali sembari melirik Sohyun barang sejenak, "Ada sosok wanita nakal yang tak ingin seorangpun merebut hal berharga dalam hidupnya, dan itu yang sedang ibumu coba pertahankan sekarang."
"Apa maksud kakek?" tanya Sohyun pada akhirnya.
"Kakek memang membesarkan Nara dengan penuh kebebasan sejak dahulu. Tapi cobalah melunak meskipun sikapnya yang acuh dan tak pernah peduli sekalipun padamu. Ibumu tidak sejahat yang ada dipikiranmu selama ini Sohyun," tutur kakek Ji.
Sohyun tidak tau, apakah ini juga merupakan kalimat penenang yang diucapkan oleh sang kakek hanya untuk menentramkan kembali isi pikirannya yang terus berkecamuk sejak tadi atau malah sebaliknya.
"Aku tidak bisa membedakan mana yang sikap ibu yang sebenarnya? Mungkin saat ini dia sudah pergi bersama laki-laki lain diluar sana. Kakek, kenapa dulu biarkan aku tetap hidup? Kenapa keluarga ini begitu kejam membiarkan aku hancur ditengah keberadaan Woojun?"
"Sudah kakek bilang berkali-kali jangan pernah mengungkit asal-usul kamu disini ataupun diluar rumah. Mau bagaimanapun kamu itu merupakan putri satu-satunya yang menjadi penerus keluarga Ji," tegas Kakek Ji mulai merasa kesal ketika mendengar Sohyun mulai menyinggung garis keturunannya.
"Sudahlah aku lelah lebih baik kakek masuk ke dalam atau aku yang akan pergi keluar lebih jauh lagi dari sini," ujar Sohyun setelahnya.
Kakek Ji menatap sejenak wajah cucunya itu dan sedikit mengadahkan pandangannya keatas merasakan rintikan halus air hujan yang terus jatuh tidak sepenuhnya membasahi rumput yang terhampar luas disana.
"Masuklah ke dalam, kakek beri kamu waktu sepuluh menit berada disini. Kamu masih perlu berlajar untuk besok," ucap kakek Ji yang pada akhir pun mulai melangkah masuk ke dalam rumah kediaman mereka.
Seakan tak mau terfokus bahkan tidak menanggapi ucapan kakek Ji barusan, netra Sohyun masih menelisik kesana kemari barangkali melihat kepulangan Woojun yang sudah sedari tadi tak juga nampak batang hidungnya itu.
Sohyun kembali tertunduk lesu, "Dari sekian banyaknya siswa di sekolah kenapa harus Jihyun? Kenapa harus dia yang menjadi saudaraku? Aku sudah merasa iri setiap kali melihat aura ceria dan positif yang selalu dia pancarkan, berbeda denganku. Bagaimana bisa kamu terlahir dari ayah yang sama?"
Dengan pikiran yang masih terasa kalut, bahkan berhasil memecahkan konsentrasinya malam ini hingga tak dapat lagi merasakan dinginnya angin malam yang hadir menerpa seolah menusuk permukaan kulitnya. Tubuh Sohyun seakan dibuat mati rasa begitupun sejalan dengan hatinya selama ini. Namun tak lama kemudian dia mulai merasakan sebuah kehangatan ketika mendapati sebuah jaket membungkusi tubuh ringkihnya dengan kehangatan.
"Aku keluar agar kamu bisa beristirahat dengan nyaman, bukannya malah melamun diluar dengan pakaian seperti ini."
TBC!!!
Halo gais, jumpa lagi ya kita..
Aku lagi mau nepatin janji buat namatin semua book seriesku yang lagi pada On Going ya, step by step juga.Masih adakah reader yang baca? Siapapun itu aku cuma mau ucapin makasih teruntuk kalian.
Happy reading, and see youu🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR DREAM ♣ End To Start [Taesso Ver.]
Teen FictionKenapa di Dunia ini ada nomor dua? Kenapa angka ini memaknai titik jatuh setelah hadir angka satu? Apa yang salah menjadi nomor dua? Sekadar mimpi dan juga harapan yang ia taruh selama ini pada keluarganya. Sekadar harapan akan mimpi-mimpi yang sem...