"Bagaimana keadaanmu?"
Dua kata singkat namun cukup membuyarkan lamunan Sohyun sejak tadi tatkala keheningannya terpecah oleh suara lain disana. Hari ini, dia lebih pagi keluar dari rumahnya agar tidak bertatap muka dengan siapapun yang ada di dalamnya.
"Sudah aku katakan aku tidak butuh dikasihani," tegas Sohyun dengan satu tarikan napas panjang.
"Hidup itu unik ya," ucapnya sembari menatap menerawang jauh keatas langit membiarkan sosok disampingnya sempat menoleh tertarik akan topik yang baru saja diangkat dalam pembicaraan mereka. "Dan aku rasa tidak kamu saja yang melewatinya," lanjutnya.
Konsentrasi Sohyun kembali terfokus dan mencoba membuang muka, "Tau apa kamu tentang hidup."
"Saat menyadari dunia tak seadil yang aku bayangkan, karenanya aku harus dilahirkan dari keluarga rendah dan memaksaku untuk tidak bisa melawan mereka yang berkuasa."
Napas Sohyun tercekat begitu mendengar kalimat tadi, dari sekian banyak hari yang sudah dia irikan dari sosok laki-laki bernama Taehyung ini hanya hari ini dia merasa tergetar hatinya akan makna yang tersirat di dalam ucapannya.
"Kita sama-sama terlahir sebagai manusia, kita juga makan dari piring yang sama, lantas apa yang membuatmu berpikir demikian?"
Taehyung tersenyum kecut, bukan ini niat awalnya datang kesana dan menceritakan hal yang tidak sepatutnya dibagi pada siapapun agar tak lagi ada orang yang sibuk menertawakan nasibnya.
"Karena aku tidak punya uang, aku tidak bisa membeli kekuasaan yang orang seumuranku punyai sekarang."
"Apa karena itu kemarin kamu sempat membolos sekolah? Apa waktu itu kamu juga berbohong padaku perihal skors yang diberikan pihak sekolah?" tanya Sohyun bertubi-tubi.
Taehyung tidak menjawabnya, dia lebih memilih tersenyum tipis pada akhirnya berdiri melangkah sedikit ke depan membelakangi Sohyun. "Kisahku itu tidak terlalu penting, sekarang aku tanya apa keadaanmu baik-baik saja?"
Sohyun bukannya ingin besar kepala karena telah merasa diperhatikan oleh laki-laki bersenyum manis tersebut. Namun sepertinya dia lebih mengesampingkan dan berpikir positif lagi, "Kenapa kamu begitu peduli bagaimana suasana hatiku saat ini?"
"Karena tidak semua orang mampu secara mental menghadapi semua hinaan dalam hidupnya. Tidak semua orang merasa percaya diri setelah apa yang menjadi harkat dan martabatnya diinjak-injak begitu saja sesuka hati oleh orang lain. Dan aku rasa, melihatmu dengan sikap yang sama seperti biasanya ini sudah cukup menjelaskan semuanya."
"Apa kamu bisa membaca isi pikiranku? Apa kamu seorang malaikat? Satu yang harus kamu ketahui, kita tidak pernah merasa berteman dekat. Kamu hanya memegang satu dari banyak hal yang aku sembunyikan, jadi aku tidak mau lagi mendengar atau melihat empatimu ini padaku." Sohyun bukan marah, namun dia hanya tidak mau jauh lebih terbuka pada siapapun itu. Menurutnya di dunia ini tidak ada satu orangpun yang pantas dipercayai selain dirinya sendiri.
Tahyung langsung melangkah pergi begitu merasakan atmosfir tidak mengenakkan yang sudah tercipta disana. Dia kembali pada pekerjaan serabutannya tanpa lagi memperdulikan bagaimana Sohyun saat ini.
"Taehyung--"
Bukan Sohyun yang memanggilnya, namun sosok perawakan yang tak asing dalam ingatan gadis itu kini tengah tersenyum cerah bahkan ketika tubuhnya selalu tergeletak diatas kursi roda yang teramat menyiksanya. Melihat bagaimana reaksi Taehyung yang semula fokus kini berputar arah mendekatinya dan mulai membawanya berjalan pergi meninggalkannya.
Diam-diam Sohyun tanpa henti menatap kepergian mereka dalam sunyi, "Bukannya aku membencimu. Tapi aku selalu saja kalah setiap kali melihat sisi baik dalam dirimu yang tak pernah sekalipun aku punyai sejak dulu sampai saat ini," gumamnya.
"Sohyun," panggil sosok Woojun tak jauh dari keberadaan gadis itu duduk. Woojun sadar dan mengikuti arah pandang Sohyun saat ini seketika membuatnya kembali bungkam.
"Apa ibu sudah pergi dari rumah? Hari ini aku cuti sekolah dulu, ada sesuatu yang ingin aku kerjakan."
Woojun pun menghela napas pelan, dia tau ini semua hanyalah sebagai alasan Sohyun saja.
"Apa sesuatu telah terjadi padamu?" tanya Woojun.
"Bagian yang mana? Sudah terlalu banyak yang aku alami selama ini," pancing Sohyun.
"Sekolahmu, kamu bukan tipe orang yang menyia-nyiakan waktu untuk belajar. Apa ada yang merudungmu disana?"
Sohyun berdecih, sepedulikah ini Woojun sampai dia tak mampu tersentuh hatinya akan sikap hangatnya? Hatinya sudah terlanjur membatu, dingin dan beku. "Bisa untuk tidak ingin tau semua privasiku? Ada orang yang baru saja aku temui dan mengajarkanku bagaimana menghargai waktu. Bisa pergi sekarang? Aku sudah menjawabnya."
Woojun kembali menghela napas pelan, dia sebenarnya sangat mencemaskan kemungkinan yang berpeluang besar terjadi pada diri Sohyun saat ini.
"Apa kamu sudah bertemu dengannya? Apa dia alasan mengapa kamu menjadi lebih tidak berselera menjalani hidupmu?" tanya Woojun pada akhirnya mampu membuat Sohyun bungkam seribu bahasa.
"Jika benar laki-laki itu menemuimu--"
"Bisa untuk tidak membahas siapapun disini denganku? Aku hanya ingin sendiri, daripada sibuk memperdulikanku lebih baik kamu sibuklah lebih membenciku sebanyak mungkin." Usai berucap kalimat yang cukup frontal, Sohyun langsung melenggang pergi meninggalkan Woojun sendirian disana.
Woojun ingin mengejar kembali langkah Sohyun-- sang adik. Namun pergerakannya tertahan oleh bunyi dering telepon yang berbunyi dibalik saku jas kantornya.
"Adakan rapat pemegang saham hari ini, aku ingin mengubah beberapa aturanku."
TBC!!!
Halo selamat malam semuanya, mana nih suaranya dong!
Maaf udah lama banget hiatusnya dan baru bisa lanjut next book Taesso ini meskipun dah beda marga tapi gapapalah kan ygy?
Kedepannya aku usahain buat nulis konsisten dan harap kalian suka alurnya ya.
Jangan lupa vote dan tekan bintang dipojok kiri bawah ya^^
Teruntuk semua readerku yang udah menghilang atau lagi nyasar dilapak orang lain mohon bangun dan kembali ke habitatnya ya karena disini raay udah nungguin ramenya pasar kaya apa lagi..
Happy reading anda see you again kalian semua🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR DREAM ♣ End To Start [Taesso Ver.]
Ficção AdolescenteKenapa di Dunia ini ada nomor dua? Kenapa angka ini memaknai titik jatuh setelah hadir angka satu? Apa yang salah menjadi nomor dua? Sekadar mimpi dan juga harapan yang ia taruh selama ini pada keluarganya. Sekadar harapan akan mimpi-mimpi yang sem...