"Dari mana saja kamu? Tidak lihat ini sudah jam berapa?"
Suara tegas nan menggema hampir ke seluruh penjuru ruangan mampu menghentikan langkah kaki Sohyun yang semula tengah melangkah pelan memasuki pintu masuk rumahnya. Mimik wajahnya menatap datar akan sosok perawakan wanita paruh baya yang setiap hari cukup membuatnya tidak mood.
"Tidak menjawab pertanyaan ibu? Darimana saja kamu?" ulang Nara semakin menaikkan nada suaranya.
"Aku sudah bilang tidak perlu lagi cemaskan bagaimana aku hidup saat ini. Aku juga tidak butuh perhatian palsu dari ibu hanya sebagai cover kalau ibu sudah menjalankan peran sebagai seorang ibu dengan begitu baik," ujar Sohyun.
"Sohyun! Apa kamu lupa? Aku ini ibu kamu, aku yang rela mengandung sembilan bulan demi melahirkan kamu ke dunia ini."
"Siapa yang minta aku dilahirkan? Apa aku pernah memohon sebelumnya untuk tumbuh di rahim seorang ibu dari hubungan yang tidak jelas dari mana asal usulnya ini huh!"
Plak!!
Satu tamparan keras mendarat mengenai pipi kanan Sohyun, dia sadar akan ucapannya yang sudah diluar batas untuk yang kesekian kalinya."Coba jelaskan baik-baik, apa selama ini ibu masih kurang menafkahi kamu?" tanya Nara dengan kedua kelopak mata yang memerah dengan penegasan disetiap kata-katanya.
Sohyun berkedip mencoba menatap sejenak paras sang ibu yang kini tengah dikuasai amarahnya sendiri sesekali memegangi bekas tamparan diwajahnya.
"Apa ibu tau rasa sakit yang baru saja aku rasakan tidak sebanding dengan apa yang selama ini aku alami. Fokuslah pada Woojun saja seperti dirimu sejak awal memperhatikannya, bukankah dia memang Tuan nomor satu di rumah ini? Ah tidak aku lupa, di keluarga Ji bahkan sangat menyanjungnya daripada aku yang jauh terselip diantara ribuan keabaian."
"Woojun itu kakak kamu--"
"Dia dilahirkan dengan status yang jelas tapi tidak denganku, bagaimana mungkin satu-satunya anggota keluarga Ji diperlakukan istimewa saat dalam darahnya sendiri mengalir darah seorang rendahan?"
"Ji Sohyun," sanggah sosok Woojun dari arah belakang. Laki-laki itu baru saja masuk dan menyaksinya kembali pertengkaran yang biasa didengarnya ini tanpa henti.
Dengan lirikan pelan Sohyun menatap Woojun dan kembali menatap Nara secara bergantian, "Asal yang ibu tau di dunia ini tidak ada satu orangpun anak yang mau menukar kebahagiaannya demi kekuasaan. Selama ini yang ibu pikirkan hanyalah bagaimana caranya untuk menjadi kaya dan kaya, dan menempatkan Woojun dipuncak seperti yang ibu inginkan bukan?"
"Sohyun masuklah ke dalam aku akan bersama ibu disini," pinta Woojun sebab tak ingin semuanya semakin riuh dipagi hari nan cerah ini.
Sepergian Sohyun dari ruang tamu, Nara langsung saja ambruk jatuh bersimpuh diatas lantai dingin rumahnya. Tatapannya kosong sesaat tetesan air mata jatuh membasahi wajahnya.
"Ibu baik-baik saja?" tanya Woojun dengan sigap membantu sang ibu untuk beralih duduk diatas sofa.
"Ibu melakukan semua ini hanya untuk memberinya pelajaran, ibu tidak bisa membayangkan bagaimana jika nanti dia tumbuh menjadi sosok mengerikan seperti ibumu ini Woojun."
Woojun dibuat diam setelahnya, tetap saja naluri seorang ibu itu tak akan pernah hilang sekalipun seburuh apapun orang itu tak akan mampu menghapus kodratnya sebagai seorang ibu. Dan dia sadar dalam diri sang ibu masih ada sisa kehangatan setidaknya meskipun sedikit.
"Sebaiknya ibu istirahat dulu di kamar, aku akan pergi bicara dengan Sohyun nanti." Sembari membantu memapah tubuh Nara, Woojun juga memastikan sang ibu berbaring dengan nyaman di kasurnya. Dia juga tidak langsung pergi ke arah kamar Sohyun begitu keluar dari kamar sang ibu melainkan hanya duduk terdiam di sofa ruang tamu sesekali mengusap pelan wajahnya.
Saat-saat seperti ini sang kakek malah tidak ada, Woojun yang begitu gelisah dan lelah akan semua masalah yang terus menimpa keluarganya tanpa usai ini. Ia kembali beranjak dan melangkah menuju luar rumah ingin mencoba menenangkan pikirannya barang sejenak.
Menelusuri jalanan setapak dengan berlari kecil setidaknya cukup menenangkan pikirannya yang begitu berkecamuk. Namun ada satu hal yang cukup menyita perhatiannya, sosok gadis yang terus berjalan melamun tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya dengan tatapan kosong-- begitu menyedihkannya dia persis seperti adiknya Sohyun.
"Bisa fokus saat berjalan ditempat umum?" tegurnya.
"Ya?"
"Kamu bisa saja mencelakai dirimu sendiri ditempat yang ramai pengunjung seperti ini," lanjut Woojun namun gadis itu malah kembali terdiam setelah mengucap kata maaf padanya. Hal tersebut tak pernah luput dari perhatiannya sejak tadi, "Apa semua perempuan saat ditimpa masalah selalu menyedihkan seperti ini? Apa besok duniamu akan hancur jika tidak fokus sekali saja?"
Gadis itu kembali menghentikan langkah kakinya dan berbalik menatap tingkah Woojun yang menurutnya cukup berlebihan, "Maaf, apa Anda sedang punya masalah pribadi dengan saya?"
Woojun nampak menghela napas pelan hingga detik selanjutnya dia melangkah cepat mendekati gadis itu dan membungkuk membenarkan tali sepatunya. Sekejap cukup mengagetkan namun diam adalah solusi terbaik.
"Bukankah sudah aku bilang perhatikan konsentrasimu atau kamu akan mencelakai dirimu sendiri," tegur Woojun.
"Jihyun kamu disana?"
Baik Woojun maupun Jihyun langsung menoleh pada sosok Taehyung yang kini sudah berdiri dengan sekantong kresek hitam yang ada dalam genggaman tangannya. Jihyun menatap Woojun sejenak-- pemuda aneh yang baru saja dijumpainya seolah telah mengenalnya bertahun-tahun, agak menjengkelkan.
"Terimakasih atas perhatiannya, kalau begitu aku pergi dulu." Cukup singkat, Jihyun langsung melangkah kembali menghampiri Taehyung yang saat ini tengah menunggunya dikejauhan. Hari ini dia sama bolosnya seperti Sohyun mungkin dengan masalah yang berbeda namun beban pikiran yang sama.
"Aku menyuruhmu untuk beristirahat saja dirumah kenapa malah memaksa ingin bertemu disini?" ucap Taehyung agak menegur ketika menyadari wajah pucat pada wajah Jihyun.
"Tidak apa, aku hanya lelah jika terus-terusan berada dirumah. Terimakasih sudah menyempatkan waktumu mengantarkan roti ini untukku," jawab Jihyun.
"Apa kejadian kemarin itu masih membekas dikepalamu? Apa kamu sakit begini gara-gara terus kepikiran akan kejadian kemarin?"
Jihyun menoleh menatap lekat Taehyung dalam diam, andai saja pemuda ini tau bagaimana berisiknya rumah keluarganya sejak tau fakta dibalik kejadian kemarin. Namun dia takut semua orang malah menjauhinya dan tidak ada lagi yang peduli padanya.
TBC!!!
HaloHalo...
Ada yang lagi nungguin up?Teruntuk kalian yang udah ngeluangin waktu buat baca aku ucapin makasih dan seneng juga masyaallah ternyata masih ada yang baik nungguin kisah recehan ini.
Maap juga kalo romancenya tipis² dan lebih mengangkat kisah konflik keluarga ya,, bijak dalam menbaca, dan jangan lupa tinggalkan jejak kalian disini..
See youu all♡
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR DREAM ♣ End To Start [Taesso Ver.]
Novela JuvenilKenapa di Dunia ini ada nomor dua? Kenapa angka ini memaknai titik jatuh setelah hadir angka satu? Apa yang salah menjadi nomor dua? Sekadar mimpi dan juga harapan yang ia taruh selama ini pada keluarganya. Sekadar harapan akan mimpi-mimpi yang sem...