Woojun berdiri mematung melihat sosok yang kini tengah berdiri dihadapannya. Sosok tegap namun rapuh tidak seperti sepuluh tahun yang lalu saat pertama kali mereka bertemu.
"Ji Woojun."
Kedua tangan Woojun terkepal, kenapa baru sekarang? Kenapa hatinya kini menjadi tidak karuan hanya karena setiap hembusan napas itu yang tak lagi pernah terasa sejak lama kini datang bagai angin dan berhembus padanya.
"Bagaimana kabarmu," ucapnya sekali lagi.
Sorot lembut dengan genangan air mata penuh sesal. Menatap sendu pada Woojun yang kini tengah kaku menghadapi situasi yang ada, semua terlalu tiba-tiba.
Bahkan senyum ini terasa begitu familiar. Wajah ceria yang beliau wariskan pada adiknya- Sohyun, namun sayang sampai detik ini pun Woojun tidak bisa melihatnya.
Pria paruh baya itu tersenyum samar, mungkin berusaha menelan kembali pahitnya hidup yang dirasa kali ini.
"Aku tahu kamu terkejut melihatku saat ini," ucapnya tanpa memutus kontak mata pada Woojun. "Maaf, aku tidak bermaksud menunjukkan muka kesini tanpa alasan."
"Apa yang Anda inginkan?" suara Woojun teramat dingin mengalahkan kutub utama. Untung saja ini kantor dia, tidak ada lagi peran Ibu yang selalu sibuk mengatur ini itu lagi padanya semenjak dirinya memberontak.
"Bagaimana kabar putriku?"
Nada beliau terdengar bergetar. Putriku? Apakah pantas menyebutnya demikian setelah tekanan mental yang sudah Sohyun alami selama ini disepanjang hidupnya? Namun meski begitu, Woojun masih punya hati.
"Apa kalau saya jawab baik-baik saja, Anda akan pergi dan tidak pernah lagi muncul dihadapan kami?"
Bibir Pria paruh baya itu terkatup rapat. Rasa rindu yang selalu menyelimuti batinnya. Rasa kasih yang belum tersampaikan, rasa bersalah yang terus membantai. Dengan sikap berani, dia malah tidak tahu diri datang pada anak dari wanita yang dulu sempat mengisi hidupnya.
"Aku hanya ingin mendengar kabarnya saja. Apa dia punya banyak teman di sekolahnya? Apa dia merasa senang seperti remaja sekolah lainnya? Jikalau dia bersedih, apakah aku ini masih bisa mengobatinya?"
Woojun menatap serius pada sosok dihadapannya ini. "Anda bersikap seolah ingin menjadi pahlawan untuk adik tiriku, bagaimana Anda bisa mengatakan hal ini dengan lantang saat keluarga Anda sendiri sudah cukup merasakan kasih sayang."
"Woojun, aku."
"Joo Hyunjin, aku tidak yakin bagaimana respon adikku nanti setelah melihatmu. Ayahnya yang tega pergi meninggalkan nya sejak bayi," tegas Woojun.
Joo Hyunjin, pria paruh baya itu terlihat menundukkan kepalanya. Andai saja dulu dia tidak pengecut, andai saja semuanya berjalan dengan keinginannya.
"Ji Sohyun, dia baru berusia 19 tahun. Sikapnya tertutup, dia membenciku, dia tidak suka kakekku, dia juga sangat benci ibuku. Dia tidak pernah mengenal warna dalam hidupnya, dia tidak sempat merasakan semua itu dari keluarga Ji."
Air mata Hyunjin menetes, separah inikah? Sohyun masih remaja, pantaskah ia melalui semua itu seorang diri? Dadanya bagai terhantam ribuan panah. Sakit namun tak membekas lukanya.
"Maafkan aku," lirihnya.
Woojun berkedip, "Anda tidak berhak meminta maaf padaku. Ibuku wanita tidak baik untuk Anda, aku bersyukur dulu Anda membuat keputusan yang benar."
Sepertinya Woojun tidak peduli lagi jikalau sang Ibu dipandang buruk. Meskipun ingin mengelak ribuan kali, ibunya memang selalu begitu. Woojun melihat jam tangannya, "Sudah sore, jika Anda tidak ada keperluan lain, silahkan pergi."
Joo Hyunjin menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya beranjak pergi dari ruangan pribadi Woojun, mantan anak tiri dari kekasihnya dulu.
Walau beberapa hari lalu Woojun sempat mendengar percakapan Ibu dan Kakek yang tengah membahas laki-laki ini, namun sepertinya keluarganya akan kembali diuji. Terlebih Sohyun berada ditengah garis darah keluarga Ji.
Di tempat lain Sohyun menatap sejenak gedung perusahaan kakaknya- Woojun. Walau datar tanpa ekspresi, sepertinya hati gadis ini mulai melunak pada Woojun.
Sohyun berjalan mendekati lift, seperti biasa mengabaikan orang sekitar.
"Oh kamu yang waktu itu kan?"
Sohyun berbalik dan menatap lawan bicaranya dengan sedikit berpikir. Mengingat-ingat kapan dirinya pernah bertemu orang asing ini.
"Maaf?"
"Kamu yang tidak sengaja aku serempet waktu itukan?"
Sohyun ingat, dan langsung memberi salam hormat pada sosok perawakan tua dihadapannya. Ia tersenyum manis menatap paman itu seraya mengiyakan pertanyaan beliau.
TING!
Pintu Lift terbuka. Tanpa berpikir panjang Sohyun melangkah pergi. Namun saat pintu Lift kembali tertutup, ia langsung menghentikan derap langkahnya. Kenapa paman tadi ada di perusahaan Woojun? Pikirnya.
Sohyun menggeleng pelan mencoba menepis semua prasangka yang tadinya hadir dikepalanya. Dengan pasti ia mengetok pintu ruangan Woojun dan melenggang masuk setelahnya.
"Aku ingin mengembalikan barangmu," ucap Sohyun tanpa basa basi disana sembari meletakkan syal yang sempat Woojun pakaikan padanya minggu lalu.
Woojun menurunkan kacamata yang sejak tadi bertengger indah diwajahnya. Menatap sang adik dengan seksama, "Sudah aku kasih padamu sejak waktu itu, tidak perlu dikembalikan."
"Aku tidak bisa menerimanya."
"Kenapa?"
"Aku tidak mau dengan satu barang ini mengubah presepsimu padaku," tolak Sohyun.
"Kemarin hari ulang tahunmu, syal itu hadiah dariku."
Barulah bibir Sohyun terkatup rapat. Ulangtahun ya, entahlah dia saja hampir lupa kemarin ulangtahunnya.
Woojun beranjak mengambil syal yang tadinya terletak rapi diatas mejanya. Memakaikan kain lembut itu dileher Sohyun, "Apa yang sudah menjadi milikmu tidak bisa dikembalikan apalagi direnggut olehku."
Ucapan Woojun barusan seperti sedikit menyinggung Sohyun secara tidak sadar.
"Tapi yang menjadi milikku malah dihancurkan oleh keluargaku," balas Sohyun.
Woojun tersenyum tipis, Sohyun sadar semakin hari sikap kakaknya ini berubah semakin dewasa. Tidak lemah dan selalu dikontrol oleh ibunya lagi.
"Keluargamu keluargaku juga," ucap Woojun. "Aku tidak merasa pernah menghancurkan hidupmu Ji Sohyun."
TBC!!!
Up cepet lagi, biar cepet kelar ini work xixi.
Next??
Vote komen jangan lupa ya. Biasakan hargai karya penulis siapapun itu.
Selamat membaca, semoga kalian tetap suka. Karena aku gabisa memaksa orang lain terutama kalian untuk tetap suka dan terus baca work ini.
Sekian, see you next^^
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR DREAM ♣ End To Start [Taesso Ver.]
Fiksi RemajaKenapa di Dunia ini ada nomor dua? Kenapa angka ini memaknai titik jatuh setelah hadir angka satu? Apa yang salah menjadi nomor dua? Sekadar mimpi dan juga harapan yang ia taruh selama ini pada keluarganya. Sekadar harapan akan mimpi-mimpi yang sem...