[Dua Puluh Tujuh]

358 36 0
                                    

Enjoy.

"Jaga bayi besar ini dengan benar. Om ga mau tau, pokoknya kalian harus jaga bayi 17 tahun ini dengan benar dan aman sampai om jemput dia lagi. Paham?"

Sang lawan bicara mengangguk tegas.

"Tadi sebelum berangkat, dia hampir dibawa sama kodok ke danau deket rumah. Jadi om mau kalian ber dua, harus jagain Jaeden sampai om jemput dia." Frustasi Arion ketika mengingat anak sulungnya yang hampir tercebur di danau akibat mengikuti seekor katak sebelum berangkat sekolah tadi.

"Jangan ngangguk ngangguk aja kalian berdua! Kalian harus ngelakuin juga." Peringat Arion lagi dan lagi.

"Siap om! Kita bakal jagain Jaeden sampai om jemput dia lagi! Om tenang aja." Lantang Awan.

"Ok, om percayakan Jaeden sama kalian berdua. Kalau gitu om pergi dulu, om masih harus berangkat kerja." Pamit Arion sambil memakai jaket, topi, masker, dan kaca mata serba hitam nya.

"Siap om! Om tenang aja, Jaeden pasti aman sama kita." Jawab Langit.

Arion mengangguk pelan. Ditatap nya Jaeden lamat lamat dari ambang pintu ruang BK, ruangan yang menjadi persembunyian nya selama berada di sekolah Jaeden.

Wajah, dan tatapan polos anaknya membuat ia tidak ingin lepas dari nya walau hanya sebentar. Dulu saat ia menemukan Zayden, kenapa bukan Zayden saja yang menjadi kakak dari Jaeden? Kalau seperti itu, pasti Jaedenya tidak akan sedingin biasanya. Lagi pula, ia merasa kalau Zayden memang lebih pantas berperilaku tenang, kalem, dan dewasa, daripada Jaeden.

Tapi apa boleh buat, takdir memang sudah menggariskan seperti ini. Mungkin kejadian inilah yang memberikan kesempatan pada Arion untuk melihat Jaeden dalam versi 'adik' bagi Zayden.

Arion berjalan mendekati Jaeden yang tengah duduk anteng di sofa yang disediakan ruangan itu, menangkup wajahnya, dan mencium puncak kepala nya selama beberapa detik.

"Jaeden jangan nakal ya di sini. Kamu enggak boleh pergi tanpa seizin Langit sama Awan. Dan jangan pernah ikut sama orang asing. Jangan mau di kasih permen sama mereka, karena daddy bisa beliin kamu permen yang lebih banyak dari mereka, oke?"

"Oke daddy!" Polos Jaeden sambil berkedip kedip lucu.

"Kalau nanti daddy belum datang, jangan pulang dulu ya. Tunggu sampai daddy datang."

"Iya daddy. Jaeden tunggu."

Arion mencubit kedua pipi Jaeden gemas setelah mendengar jawaban polos dari laki laki berumur 17 tahun di depanya ini. Jawaban yang sudah sangat lama sekali tidak ia dengar dari mulut anak sulungnya. Karena terakhir kali ia dengar, saat anaknya masih berada di bangku kelas 3 sd.

"Yasudah, daddy berangkat kerja dulu. Jangan bandel ke Awan sama Langit. Terus adek kamu diingetin suruh makan, dibilangin jangan pacaran terus. Ya?"

"Iywa dwaddwy..." jawab Jaeden dengan pipi yang ditangkup sampai mulutnya mengerucut.

"Oke, daddy pamit. Belajar yang rajin. Bye!" Untuk sentuhan terakhir, Arion mengusak surai hitam Jaeden dengan gemas, sebelum ia benar benar keluar dari ruangan minimalis namun nyaman itu.

"Bye bye!!" Jawab Jaeden girang sambil melambaikan tanganya.

"Nah! Karena daddy lo udah pergi, sekarang waktunya kita ke kelas bayi besar." Ujar Awan memecah keheningan yang beberapa saat lalu sempat terjadi.

"Jaeden bukan bayi besar."

"Bukan bayi besar? Iya, lo tuh bayi tua."

Jaeden menggeleng tak terima. "Bukan! Jaeden juga bukan bayi tua! Jaeden udah besar lho!"

My Priorities [ JAZ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang