Empat Puluh Tiga

266 25 3
                                    

Ristian memasuki kamarnya, masih sama tidak ada yang berubah pemuda tampan itu berjalan membuka tirai dan membuka pintu balkon hembusan angin sore menyapa tubuhnya aroma khas tanah basah tercium begitu menenangkan.

Gerimis sore ini tidak kunjung mereda, Ristian duduk di ambang pintu balkon sembari menyandarkan tubuhnya, tatapan terfokuskan pada awan berwarna abu-abu.

Ristian bingung dengan perasaannya saat ini, apakah yang ia lakukan ini benar atau salah, jika ia marah maka akan memperburuk keadaan  tapi ia juga tidak trima dengan semua ini.

"Semoga keputusan yang gue ambil ini, adalah jalan terbaiknya" gumam Tian sembari memejamkan mata.

Bayangan akan sosok Leo yang pertama kali ia temui di jalan terlintas, senyuman lelaki itu begitu membekas di ingatan Tian, perhatian lelaki itu begitu tulus walaupun belum mengetahui siapa Tian.

Leo yang sudah menampungnya, merawatnya, menjaganya jika tidak ada Leo mungkin Dirinya sudah tiada di dunia ini karena kecelakaan yang ia alami di depan rumah Leo beberapa minggu lalu.

Sejak bertemu dengan Leo, Ristian merasakan ada sesuatu yang aneh sesuatu yang tidak bisa di jabarkan dengan kata-kata, tatapan mata lelaki itu begitu menenangkan nan membuat desiran tersendiri di hati Tian.

Ristian kembali membuka matanya dan menatap dedaunan yang basah, terukir senyuman tipis di bibir pemuda itu, tangannya meraba menyentuh dadanya dan merasakan detak jantungnya yang normal.

Jantung yang berdetak di dalam rongga tubuhnya adalah jantung Eza orang yang sudah merawat Rio sejak kecil , jika bukan karena jantung Eza mungkin waktu itu nyawanya tidak tertolong lagi.

Dan karena jantung Eza yang berada di dalam tubuhnya ia masih bisa melihat dunia melihat orang-orang yang ia sayang, merasakan banyaknya kasih sayang.

Dan karena jantung Eza berada dalam tubuhnya ia membuat banyak orang terluka terutama Rio sahabat lamanya yang kini menjadi sodaranya.

"Yo cita-cita kamu mau jadi apa?" Tanya Tian kala itu.

"Aku ingin membahagiakan kedua orang tua ku"

"Itu cita-cita kah?"

"Iya cuma itu cita-cita aku, kamu tau papa aku jarang senyum, jadi aku ingin membahagiakannya supaya ia tersenyum, papa adalah harta paling berharga yang aku punya setelah kepergian mama" ucap Rio sedikit sendu.

"Maaf yo, gue sudah mengambil harta berharga yang lo miliki" gumam Tian tak terasa setetes air mata terjatuh tanpa permisi.

Tok tok tok

Tian menoleh pada pintu kamar yang ia tutup "siapa?"

"Ini papa"

"Masuk aja pa, gak tian kunci jugaan"

Devin langsung masuk dan menatap Tian yang duduk di ambang pintu baklon, lelaki dewasa itu tersenyum hangat dan berjalan mendekat pada Tian.

"Lagi apa hm?" Tanya Devin yang sudah duduk di sampingnya.

"Lagi duduk" sahut Tian sembari kembali memperhatikan rintikan hujan.

Mistakes In The Past Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang