16

2.1K 278 26
                                    




🥀__🥀



Suasana pagi itu terasa ramai, sejak subuh semua orang sudah beraktifitas, punya kesibukan masing-masing, perias yang ditunjuk untuk mendandani keluarga besar sudah datang, karena ini acara penting jadi yang didandani orang tua lebih dahulu. Dalam bayangannya, karena para gadis mendapat giliran dandan paling akhir mereka dapat berleha-leha dahulu, tapi tidak seperti itu faktanya. Mereka dipaksa bersiap sebisa mereka, agar nanti ketika mendapat giliran meteka tidak perlu lama.

Pintu kamar yang ditempati Cella dan Cilla sedari tadi terbuka dan tertutup terlalu sering, sampai dua gadis kembar itu lelah sendiri karena sepupunya selalu saja meminjam barang mereka. Agaknya Cella bersyukur karena sebelum berangkat Cilla melarangnya membawa barang terlalu banyak, jadi ia tidak khawatir akan ada yang hilang. Pintu kamar itu sekali lagi terbuka, tapi bukan sepupunya yang berdiri diujung sana, melainkan wanita yang telah mengorbankan separuh hidupnya untuk kehidupan mereka.

"Kalian bunda aja ya yang dandanin??" Bunda melangkahkan kakinya mendekati Cilla, membantu gadis itu memasang kebaya yang modelnya sama seperti miliknya, kebaya yang memang dijahit khusus untuk acara hari ini.

Selama bunda membantu merias Cilla dan Cella keduanya hanya diam, sedikit bingung harus membahas apa. Ini kali pertama mereka bertemu setelah hampir dua tahun. Bunda tidak berubah, paras cantiknya masih begitu melekat.


"Sekolahnya gimana??" Bunda yang duluan memecah keheningan, ia kurang nyaman diposisi seperti ini. Mereka terasa asing.

"Baik aja sih bun" Cella menjawab seadanya membuat bunda mengernyit, dua gadis kembarnya ini sangat banyak bicara, tapi kemudian pertanyaan besar yang ada didalam fikiran bunda terjawab, ia mengangguk pelan.


"Tante Via udah bilang ya??" Ucapanya lirih, bersyukur jarak Cella dan Cilla sangat dekat dengannya sehingga dua gadis itu bisa mendengar lirihan itu.

"Maafin bunda ya??" Bunda menatap keduanya dengan tatapan bersalah, matanya bahkan memanas. "Bunda gak maksud kayak gini sebenarnya. Tapi kakak sama adek faham kan kalau selama ini laki-laki yang mendekati bunda selalu hilang setelah tahu bunda punya anak?? Maaf, bukan maksud bunda bikin kalian seolah beban. Bunda pasti cerita kok, tapi nanti. Bunda belum berani nak" Keduanya diam tidak menanggapi, atau sebenarnya lebih ke bingung. Mereka senang banget kok pas tau kalau bunda akhirnya nikah, apalagi pria yang dinikahi bunda cukup mapan. Mereka juga mau liat bunda bahagia, tapi mungkin hal yang bikin bunda bahagia tuh memang belum bisa keterima aja sama mereka.


Bahkan sampai bunda menangis pun keduanya masih belum memberikan respon apa-apa selain hanya mengelus punggung bunda, berharap tangis itu segera berakhir. Cilla bahkan bingung, biasanya ia punya ribuan kalimat untuk membantu menangkan Hanin, tapi kenapa kalimat-kalimat itu tidak bisa ia keluarkan untuk saat ini???









🥀__🥀








"Ini semua kebun papa??" Aro menatap takjub ratusan hektare tanah yang dijadikan lahan pertanian dan perkebunan itu. Dia tahu kok kalau mertuanya itu petani, tapi dia gak tau kalau aset mertuanya ternyata sebesar ini.


"Ini yang punya papa aslinya cuma dua hektare?? Apa berapa ya, lupa. Nah sisanya aku yang beliin, soalnya kebetulan orangnya juga mau jual" Aro tidak bisa menyembunyikan tatapan kagumnya kepada Hanin, betapa hebat wanita yang ia nikahi ini. Tatapan kagum Aro membuat Hanin tertawa keras. "Apa sih!!! Biasa aja ngeliatnya!!"


Aro menggeleng pelan, "Gak bisa biasa aja Nin, kamu keren banget" Aro mengangkat dua jempolnya. "Anak lain mah kalo udah sukses lupa sama orangtuanya, tapi kamu enggak"

"Gimana ya mas?? Papa gak pernah perhitungan sama aku, papa sama mama selalu mengusahakan yang terbaik buat aku. Mereka gak pernah minta balas budi, dan aku juga nganggep semua ini hadiah buat mereka. Semenjak aku jadi dosen tetap, papa sama mama aku larang kerja lagi. Kami nyari tenaga yang bisa ngelola lahan dengan baik, hasil panennya juga lumayan banget mas" Aro faham, dengan lahan seluas ini tidak mungkin hasilnya sedikit.


"Coba dulu perusahaan ku bergerak dibidang pangan ya Nin, pasti udah aku ajak kerjasama ini kebun" Hanin diam sebentar, memikirkan kalimat-kalimat yang akan ia keluarkan.

"Mas"

"Hm???"

"Anak-anak gimana ya?? Aku belum ngabarin mereka sama sekali" Hanin merasa bersalah, bagaimana bisa ia menghubungi kedua anaknya kalau dirinya saja baru mau keluar rumah hari ini.

"Baik kok, kata Cilla kemarin ketemu bundanya. Lagi temu kangen kali. Nanti pas sampe rumah kita hubungin bareng ya??" Hanin mengangguk, keduanya berniat melanjutkan perjalanan, mumpung masih pagi dan belum terlalu panas, sekalian melihat-lihat petani yang baru berdatangan. Tapi langkah keduanya terpaksa berhenti karena dibelakang, pak jamal—salah satu pekebun— memanggil mereka.


"Ada apa pak?? Jangan lari-lari gitu, capekk" Nafas Hanin ikut tidak beraturan melihat pak Jamal yang sibuk mengatur nafas, sepertinya pria paruh baya ini berlari dari rumah mereka.


"Itu Nin, ada yang nyari—"


"AYAHHHHH IBUUUUUU"







🥀__🥀





Don't hate bunda terlalu ya, as ibu dia juga gak mau kayak gitu kok. Aku bilang ini kisah nyata tapi gak kembar kok aslinya. Cuma kombinasi aja wkwkwkwkwk kebetulan aku—





Gnite my loveeeeee♥

CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang