13

2.1K 271 20
                                    


🥀__🥀

M

ama Hanin sudah kembali beberapa hari yang lalu, rumah mereka terasa sepi kembali tapi tidak sesepi biasanya karena perlahan Cella sudah mau berbicara pada Hanin. Seperti sekarang, gadis itu mulai berbasa-basi ketika melihat Hanin bersiap.

"Tante mau USG sekarang??" Hanin mengangguk pelan, tangannya masih sibuk mengikat rambut Cilla. Memang rencananya ia akan melakukan pemeriksaan sesuai perintah Rina bersama Cilla.

"Kamu mau ikut??"

"Boleh??" Cella ragu, entah ini hanya tawaran basa-basi atau memang dirinya ditawarkan untuk ikut.

"Boleh dong sayang, tunggu sebentar ya, abis rambut Cilla selesai kita berangkat" Cella mengangguk, memutuskan untuk diam menunggu sambil memperhatikan kelembutan yang Hanin berikan kepada Cilla. Didalam fikirannya ia menerka-nerka, apakah kalau ia menjadi anak yang baik ia akan diperlakukan seperti Cilla??

Ruang yang tadinya sunyi berubah menjadi gaduh karena Aro masuk dengan langkah tergopoh. Hanin hendak menegur tapi diurungkan karena muka Aro yang memerah, sepertinya lelaki itu menyimpan amarah yang besar.

"Cella"

"Ya ayah??" Cella menatap Hanin dengan tatapan bertanya dan dibalas gelengan pelan oleh wanita itu, mereka sama-sama tidak mengerti dengan aura yang terpancar dari Aro saat ini. Langkah Aro mendekati Cella, menarik gadis itu untuk berdiri.

"Sejak kapan kamu jadi gini Cella?? Sejak kapan kamu jadi gak menghargai pemberian ayah??" Cella mengeryit, ia sama sekali tidak mengerti apa yang ayahnya maksud.

"Apa sih ayah, aku gak—" Ucapannya terputus karena ayahnya melemparkannya secarik kertas tepat dimuka. Dengan tangan bergetar ia meraih kertas yang dilempar ayahnya tadi, setelah membaca kalimat teratas dari kertas tersebut ia faham kenapa ayahnya begini.

"Jawab ayah Cella. Kamu apain uang sebanyak itu??? Kamu buat apa uang dua ratus juta Cella???!!" Cella sudah meneteskan air mata karena ayahnya membentaknya, sedangkan Aro tidak perduli, ia tetap mencengkram bahu Cella kuat.

"Mas, apaan sih gak usah—"

"DIAM KAMU!!" Hanin memundurkan langkahnya reflex, teriakan Aro begitu keras. "Kamu juga sama!! Kamu nutupin hal sebesar ini dari aku Nin??? Kamu transfer uang sebanyak itu ke rekening Cella biar aku gak tau??" Tuduhan Aro membuat Hanin menggeleng bukan itu maksudnya.

"Mas, coba tenang dulu. Maksud aku—"

"Kamu terlalu ikut campur masalah aku sama anak-anak aku Nin!!! Mereka anak aku!! Bukan anak kamu!! Hal sebesar ini seharusnya gak kamu tutupi dari aku Nin!!!" Aro meninggalkan ruangan dengan kalimat tajamnya yang mungkin ia tidak sadar kalau ia menyakiti hati Hanin. Tapi Hanin mencoba abai, ia tidak boleh terlalu terpengaruh, perlahan ia melangkah mendekati Cella, gadis itu masih menangis. Diraihnya pelan tangan Cella tapi ditepis dengan kuat oleh gadis itu.

"Trus apa?? Tante mau aku bilang ribuan makasih karena udah transfer segitu ke rekening aku?? Tante mau berlaku kayak ibu yang baik??? Gak tante, sampe kapan pun tante gak bakal jadi ibu yang baik!!!" Cella pun begitu, meninggalkan ruangan dengan kalimat yang teramat menyakitkan. Hanin memilih untuk duduk dibangku terdekat. Ototnya terasa tegang, hatinya sakit.

"Ibu..." Hanin tersentak, bahkan ia lupa kalau Cilla masih ada diruangan ini. Gadis yang paling dekat dengannya itu memberikannya segelas air yang disambutnya dengan suka cita.

"Ibu jangan sedih ya, kita kan mau liat dedek"






🥀__🥀






"Kenapa Rin??" Hanin memutuskan untuk bertanya, sudah hampir sepuluh menit sejak mereka USG dan Rina tetap diam. Wanita itu memejamkan matanya kuat sebelum akhirnya berani menatap Hanin. Diraihnya tangan Hanin, mungkin ia ingin membahas hal serius dan ini adalah upaya agar Hanin dapat dikontrol.

"Nin, janinnya gak berkembang"

Hanin diam, ia tidak mengerti apa maksud Rina. Hanin menggeleng pelan, dan terkekeh. "Aku sehat loh Rin?? Aku gak setres bulan-bulan ini, aku banyak minum air putih, pola makan aku juga sangat aku perhatikan, aku rutin olahraga yang cocok untuk ibu yang hamil muda. Mungkin kamu salah liat, yuk USG lagi"

Hanin yang hendak berdiri terpaksa harus tetap duduk karena Rina menahannya, kedua mata Rina menatapnya dengan genangan air mata. "Harus dikeluarin Nin, bisa bahaya. Janinnya gak berkembang, gak ada yang bisa kita lakuin. Aku telfon Aro ya?? Buat nemenin kamu??" Hanin tidak menjawab tapi suara tangisnya mengalun diudara. Cilla yang sedari tadi memperhatikan bahkan sudah tidak tahu harus melalukan apa. Ada apa dengan hari ini?? Mengapa mereka mendapat cobaan berturut-turut.


"Rin, anak gue Rin.... Gue bahkan belum tahu suara detak jantungnya kayak gimana. Gimana bisa dia udah mau dikeluarin??? Rin?? Bahkan dia baru—" Hanin tidak sanggup meneruskan kalimatnya, tidak ada yang bisa Rina dam Cilla lalukan selain menenangkan wanita itu. Hanin baru saja mendapatkan sesuatu yang diinginkannya selama beberapa tahun belakangan, tapi secepat itu ia harus kehilangannya.

"Cilla telfon ayah ya?? Tante nenangin ibu mu dulu, nanti kalo ibu dah tenang dan ayah udah dateng kita bisa kuret" Cilla hanya mengangguk, tangannya yang bergetar hebat mencoba untuk mencari nomor ayahnya walau sulit karena terkadang jemarinya salah tekan sampai-sampai Cilla kesal sendiri, tangis yang sedari tadi ia tahan keluar begitu saja. Cukup lama gadis itu menunggu sampai akhirnya panggilannya dijawab sang ayah.


"Ayah, ibu....."







🥀__🥀





🌀🌀🌀🌀🌀🌀🌀🌀🌀🌀🌀

CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang