Jian merutuki perbuatannya yang mengkhawatirkan Harraz dimuka publik, karna sekarang setiap orang yang ia temui menatapnya aneh, dan banyak juga dari mereka menganggap Jian menyukai Harraz, ya memang benar sih, tapi tatapan menghakimi orang-orang padanya kadang membuat Jian ngeri sendiri.
Seperti saat ini, ketika Jian sedang berjalan menuju kantin bersama Jendra dan Wella, anak kelas 10 pun dengan terang-terangan menggunjing dirinya, Jian muak.
"Angkat wajahnya, jangan nunduk." Wella menyenggol lengan Jian pelan, membuat lelaki itu menoleh. "Jangan nunduk."
"Saya malu."
Jendra menghela nafas, "Yaudah Ji, kalo lo kayak gini, orang-orang makin yakin kalo rumornya bener."
Jian mencebik, "Jadi saya harus gimana?"
Wella menarik dagu Jian pelan, agar lelaki itu tidak terus menundukkan wajahnya, "Angkat wajahnya kayak gini, jangan dengerin apa kata orang."
Jian menarik nafas pelan, "Yuk." Katanya yakin, menarik pelan tangan Wella dan Jendra.
Namun, kakinya berhenti tiba-tiba ketika mereka sudah dekat dengan pintu kantin. "Ada Harraz." Katanya, hilang sudah keberanian Jian untuk menampakkan wajahnya diarea kantin, "Saya ke kelas aja deh."
Wella dan Jendra yang hendak menarik Jian pun hanya menghela nafas pasrah, karna lelaki itu berjalan sungguh cepat. Lalu keduanya masuk bersama ke kantin, membelikan nasi bungkus untuk Jian, dan beberapa roti.
Harraz memang ada disana, bersama Jingga dan Khael, sang ketua OSIS.
"Jendra, Jian mana?" Tanya Khael, membuat dua orang disebelahnya-Harraz dan Jingga-ikut menoleh.
"Di kelas."
Khael terlihat tertawa pelan, "Jian itu lucu ya, gue yakin sekarang dia malu ketemu Harraz."
Harraz yang namanya disebut, menoleh bingung, "Kenapa malu ketemu gue?"
"Itu loh, Raz, yang kemaren kesandung kaki lo waktu di lapangan basket." Khael tak berhenti tersenyum, merasa lucu dengan kejadian itu, "Padahal dia korbannya, cuma karna kaki lo berdarah dia keliatan panik banget."
"Oh iya, dia." Harraz mengingat-ingat. "Namanya siapa tadi?"
"Jian. Arjian." Jawab Khael.
Wella yang mendengar Harraz menanyakan nama Jian hanya tersenyum kecil, jarang sekali Harraz begitu, pikirnya.
Selesai dengan macam-macam jajanan, Wella dan Jendra berjalan bersama menuju kelas, sebelum itu tak lupa keduanya berpamitan pada Khael serta pasangan sejoli yang sedang makan bersama.
"Kasih tau Jian coba, tadi Harraz nanya namanya." Ucap Wella, dan dijawab anggukan kepala singkat oleh Jendra.
.
.Malang nasib Jian, karna hari ini ia sedang piket kelas dan Bu Jennifer menyuruhnya mengangkut buku paket Kimia, dari perpustakaan menuju kelasnya untuk belajar sehabis istirahat nanti.
Padahal niatnya Jian ia hanya ingin di kelas, tidak bertemu orang banyak, namun kedatangan Bu Jennifer tadi sungguh sangat tiba-tiba.
16 buku paket Jian bawa sendirian, Guntara yang piket bersamanya entahlah berada dimana, mendadak dikelas hanya ada ia sendirian yang mau tidak mau harus mengangkut buku-buku ini.
"Biar gue bantu." Seseorang dengan cepat mengambil setengah dari buku yang Jian bawa.
"Eh..." Jian mematung ditempatnya, bukan karna ia terkejut dengan buku-buku yang diambil, tapi lebih terkejut dengan seseorang yang menawarinya bantuan.
Harraz.
"Kok diem aja?" Tanya Harraz lagi ketika masih melihat Jian tak bergeming ditempatnya berdiri.
Akhirnya Jian berjalan pelan, dengan Harraz disebelahnya yang menyamakan langkah. Mereka berjalan bersisian dengan hening yang menemani, Jian terlalu malu untuk bersuara, lalu Harraz yang bingung dengan tingkahnya barusan.
"Kenapa lo bawa buku banyak begini sendirian?" Tanya Harraz, sudah tidak tahan dengan keheningan diantara keduanya.
Jian menoleh pada Harraz yang ternyata lelaki itu juga melihat kearahnya, "S-saya piket hari ini." Jawabnya, sedikit merutuki suaranya yang terdengar bergetar.
"Cowok yang piket cuma lo doang?"
Jian menggeleng, "Ada Guntara, tapi gak tau kemana. Jadi saya ambil sendiri aja."
Harraz hanya mengangguk-anggukan kepalanya singkat guna merespon jawaban Jian, lalu hening kembali. Jian melirik Harraz, lelaki itu biasa saja, bahkan kakinya yang kemarin luka sepertinya memang tidak sesakit yang ia bayangkan, buktinya Harraz bisa berjalan normal tanpa pincang.
"Kaki kamu masih sakit?" Tanya Jian pelan, untungnya kepekaan telinga Harraz itu tinggi, jadilah lelaki itu masih bisa mendengar pertanyaan lirih yang Jian ucapkan.
Harraz melihat kakinya yang berbalut kain kasa, "Gapapa, gak sakit kok."
Merasa tidak puas dengan jawaban Harraz, Jian menatap wajah lelaki itu, membuat Harraz terkekeh pelan, "Beneran, gak ada rasanya sama sekali. Gue bahkan bisa lompat-lompat." Harraz dengan segera melompat-lompat kecil ditempatnya, guna memberitahu Jian kalau kakinya tidak sakit sedikitpun.
"Bagus kalo gitu."
"Makasih, ya." Ucap Harraz tiba-tiba membuat Jian menoleh lagi.
"Makasih buat apa?"
Lelaki itu hanya mengangkat bahunya acuh, "Cuma mau bilang makasih aja." Tangannya menyerahkan buku-buku paket yang tadi ia bawa pada Jian, karna sekarang keduanya sama-sama terdiam didepan kelas 11 IPA 2. "Gue liat-liat, lo orangnya emang perhatian gitu ya, sama temen? gue mau jadi temen lo, soalnya lo orang baik."
Jian terdiam mematung, bibirnya terasa keluh untuk merespon ucapan Harraz.
"Masuk gih, Bu Jennifer bentar lagi dateng." Harraz melirik sekilas meja guru yang kosong, "Belajar yang rajin ya, teman baru." ucapnya sebelum pergi.
Jian hanya bisa mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya, merasa senang bukan main karna hubungannya dengan Harraz sudah berubah menjadi teman.
Langkah awal yang baik, bukan.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams
FanfictionHajeongwoo area. Book kedua untuk kisah Harraz dan Jian yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali. Kalau kata Jendra, mimpi itu kebalikan dari dunia nyata, bolehkan Jian berharap lebih kalau suatu saat Harraz bisa melihatnya sebagai...