Setelah berlatih selama 3 hari, grup basket dadakan kelas Jian siap tidak siap harus siap bertanding siang ini, tidak main-main Guntara dan tangan bau-maksudnya kurang beruntung-miliknya itu mengambil nomor 5, yang nantinya akan berhadapan dengan kelas 12 IPA 1.
Jian hanya menghela nafas pelan, ketika tau lawan mereka bukan kaleng-kaleng, kakak kelas bahkan salah seorang diantara mereka adalah tim inti basket sekolah. Walau tugas Jian hanya memecah fokus tim lawan, kan setidaknya susah kalau yang ia recoki adalah pemain inti tim basket.
Sudah tidak ada harapan menang lagi untuk kelasnya, tidak apa-apa, setidaknya selesai pertandingan Wella sudah berjanji akan mentraktir mereka nasi padang.
"Semangat dong, jangan putus asa begitu walau udah pasti kalah." Ucap David penepuk satu persatu anggota timnya, mereka semua sedang berada didepan kelas, menonton pertandingan kelas 10 IPS 3 melawan 11 IPS 2.
Ismail membuang botol plastik minumannya, "Ya gapapa lah, kita kan ikut pertandingan supaya kelas kita gak bayar denda, jadi jangan berekspektasi terlalu tinggi."
Jendra mengangguk, "Tapi jangan sampe kalah telak juga." Lelaki itu menoleh ke Jian, "Yang berperan penting di sini tuh sebenernya Jian, kalau dia berhasil bikin fokus lawan kepecah, kita bakal mudah ngebobol ringnya."
Jian yang namanya disebut hanya bisa memutar bola matanya malas, ini lah yang paling Jian hindari, ketika timnya malah menaruh harap padanya, kan Jian jadi merasa terbebani. "Jadi saya harus apa?" Tanyanya, ia sendiri juga merasa kebingungan, harus dengan cara apa biar lawannya malah memperhatikannya bukan malah fokus pada bola basket, Jian rasa ia tidak semenarik itu.
"Lo ajak ngobrol?" Jawab David, lebih ke pertanyaan karna ia juga merasa tidak yakin.
Guntara menyatukan kedua telapak tangannya didepan wajah Jian seperti gestur memohon, "Gue percaya lo, Ji. Asli, lo mau nanya rumus gravitasi bumi juga ditengah lapangan terserah lo deh, yang penting lo gak diem aja."
Kalau sudah begini, Jian hanya bisa menghela nafas pasrah, menolak pun sudah tidak ada gunanya. Ia harus segera memutar otak, memikirkan caranya memecah fokus lawan mereka nanti.
.
.Wella bersama siswi kelas mereka yang lain sudah siap tepat di samping lapangan, ada yang membawa botol kosong, ada juga yang sampai membawa galon dan juga stik drum, Jian hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
"IPA DUAAA!! JENG JENG JENG JENG!!"
Gaduh suara galon yang dipukul, disambut dengan suara botol plastik yang ditabuh bersamaan membuat suara nyaring ditempat teman-teman sekelasnya berada. Mau heran, tapi ini Wella dan teman-temannya yang absurd.
Jian tertawa melihat Wella yang kesusahan dengan rambut panjangnya, karna sekarang angin juga lumayan kencang, Jian sudah memberi saran untuk dikuncir kuda, namun gadis itu menolak, jadilah sekarang ia kesusahan sendiri. Wella yang melihat Jian tertawa kearahnya malah tersenyum senang sembari berseru heboh, "JIAN SEMANGAT! KALO MENANG GUE BELIIN NASI PADANG DUA BUNGKUS!!"
Jian yang mendengarnya reflek menutup wajah, sedikit merasa malu dengan teriakan sahabatnya itu. Wella yang melihat reaksi Jian hanya tertawa.
Dua tim sudah bersiap di lapangan, dengan wasit yang entah mengecek apa, Jian juga tidak tau. Pokoknya setelah bola dilempar keatas anggota timnya sudah mencar kesana kemari, Jian jadi semakin bingung harus kemana.
Jadilah lelaki itu mendekati kakak kelasnya yang kemaren Jendra puji parasnya, Yasa Kumbara. Sesekali melirik membuat Yasa yang kebingungan juga meliriknya, Jian tersenyum lebar, "Kakak ganteng." Pujinya, tak lupa dua jempol ia berikan membuat Yasa semakin kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams
FanfictionHajeongwoo area. Book kedua untuk kisah Harraz dan Jian yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali. Kalau kata Jendra, mimpi itu kebalikan dari dunia nyata, bolehkan Jian berharap lebih kalau suatu saat Harraz bisa melihatnya sebagai...