Jian dan Wella terkejut kala keduanya menangkap pemandangan asing pagi ini, dimana Jendra turun dari motor kakak kelas yang tempo hari menjadi lawan kelas mereka waktu pertandingan basket, Yasa Kumbara. Jian saja saking terkejutnya sampai geleng-geleng kepala tak menyangka dengan apa yang ia lihat pagi ini.
Wella sudah tertawa kecil sesekali menyenggol lengan Jian pelan, maksudnya mengajak menggoda Jendra ketika lelaki itu sudah mendekat kearah mereka berdua.
"Cieee yang berangkat bareng." Wella tertawa ketika melihat raut wajah masam itu menatapnya jengah. "Si Jendra beneran sat set sat set, gak keliatan deket taunya berangkat bareng."
Jian tertawa mendengarnya, makin puas mereka menggoda Jendra yang sekarang wajahnya memerah merona.
"Jangan digituin, anjir. Ntar dia ilfeel." bisik Jendra, membuat ketawa Wella dan Jian semakin kencang.
Jian tak menyangka kalau Jendra ternyata sungguh-sungguh ingin mendekati sang kakak kelas, Jian taunya kalau Jendra hanya bermain-main dan tak serius. Melihat pagi ini rona merah dipipi dan juga telinga Jendra, Jian yakin sang sahabat memang telah jatuh pada pesona Yasa.
"Lagian kok bisa sih, Dra?" Jian masih tak menyangka, "Gimana bisa kalian berangkat bareng?"
Jendra melipat tangannya didada, kepalanya terangkat sedikit dengan angkuh, "Emang hari ini gue lagi beruntung aja." Jawabnya, "Ban mobil gue bocor, lo berdua harus tau kalo gue setengah jam dipinggir jalan liatin sopir gue benerin mobil tapi gak selesai-selesai." Katanya menggebu-gebu, "Trus, seeet dateng kak Yasa, dia nanya kenapa mobil gue, gue jelasin, trus gue diajak berangkat bareng biar gak telat. Pengertian banget gak sih."
Jian tertawa sesaat, "Iya deh, yang lagi jatuh cinta."
Ketiganya masih berbincang-bincang dengan diselingi tawa, hingga diujung tangga terakhir tawa Jian langsung pudar, kala matanya menangkap Harraz melewatinya begitu saja. Jendra dan Wella refleks menoleh pada Jian yang wajahnya terlihat biasa saja walau otaknya overthinking bukan main. "Ji, ada masalah?"
Jian menoleh, dengan alis yang terangkat, "Gak ada." Katanya, Jian tidak bohong, memang tidak ada masalah antara dirinya dan Harraz.
Tapi melihat Harraz yang tiba-tiba melewatinya begitu saja, Jian jadi kepikiran. Ketiganya lanjut berjalan, dengan sesekali Jian menoleh ke belakang, Harraz sudah tak terlihat, lalu lelaki itu mengedik acuh, ini semua karna akhir-akhir ini ia dekat dengan Harraz, seharusnya tidak aneh kalau lelaki itu mengacuhkan keberadaannya, sedari awal kan memang seperti itu.
"Gak usah dipikirin." Wella berbisik pelan.
Jian tersenyum, "Kenapa juga dipikirin."
.
.Aneh, benar-benar aneh. Harraz sepertinya memang berniat menjauhi Jian. Bahkan saat Jian berada disampingnya ketika memesan nasi goreng di kantin, keberadaan Jian seolah tak terlihat, Harraz tak menghiraukannya. Hal itu jelas membuat Jian bingung, dan bagaimana pun otaknya mendadak kepikiran dengan sikap Harraz yang janggal ini.
"Kenapa deh." Jian ikutan kesal sendiri, namun setelahnya memilih diam agar tak ditanyai macam-macam oleh Wella dan Jendra yang sudah menunggunya dimeja nomor 5.
Ketiganya makan dengan diam, ikut-ikutan tak membuka suara ketika melihat Jian diam seribu bahasa, yang terjadi dimeja ini hanya Jendra dan Wella yang saling pandang, seolah berkomunikasi lewat mata.
"Misi, kita boleh gabung gak, soalnya udah gak ada meja lagi." Ucapan itu membuat ketiganya mendongak, ternyata Khael dan satu temannya lagi yang kalau Jendra tak salah kelas 11 IPS 2, Jevan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams
FanfictionHajeongwoo area. Book kedua untuk kisah Harraz dan Jian yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali. Kalau kata Jendra, mimpi itu kebalikan dari dunia nyata, bolehkan Jian berharap lebih kalau suatu saat Harraz bisa melihatnya sebagai...