Hajeongwoo area.
Book kedua untuk kisah Harraz dan Jian yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali.
Kalau kata Jendra, mimpi itu kebalikan dari dunia nyata, bolehkan Jian berharap lebih kalau suatu saat Harraz bisa melihatnya sebagai...
Biasanya minggu Jian akan sangat produktif, lelaki itu akan mencuci baju lalu mengemasi rumah, seperti mengepel dan menyapu halaman depan, serta merawat tanaman sang ibu yang berjejer rapi di teras rumah.
Ibu Jian itu seorang guru sekolah dasar, sayangnya beliau mengajar di sekolah yang jauh dari rumah. Tapi untungnya, sudah disediakan rumah dinas oleh pemerintah, membuat ibunya tidak susah-susah pulang pergi setiap hari, dan Jian hanya tinggal sendiri di rumah keluarganya yang tidak terlalu besar ini.
Ayah Jian dulunya adalah seorang tentara angkatan darat yang bertugas di pulau yang amat jauh dari ibu kota, namun sayangnya beliau gugur dalam tugasnya, ketika itu Jian masih duduk di kelas 5 sekolah dasar, menangis tanpa henti ketika jenazah ayahnya sampai di rumah.
Walau kadang masih sering merindukan sang ayah, setidaknya semakin dewasa, Jian sudah bisa ikhlas dan berlapang dada, memang setiap yang bernyawa pasti akan mati pada akhirnya.
Jian berjalan pelan menuju belakang rumah, kakinya sedikit sakit, ini karna ia jarang sekali berolahraga dan kemarin ia mengikuti pertandingan basket yang mengharuskannya berlari kesana-kemari.
Membuka pintu bercat putih itu, Jian kembali mengangkat ember berisikan cucian yang akan ia jemur, cuacanya sangat bagus siang ini.
sedang asyik-asyiknya bersenandung kecil, sembari menyusun baju dijemuran, Jian tersentak ketika mendengar suara ponsel miliknya berdering. Jadilah lelaki itu berjalan cepat menuju meja makan dimana ia menaruh ponselnya tadi.
Keningnya mengkerut ketika mendapati nama yang tertera di layar, Jendra menelponnya, "Iya, Jendra?"
"..."
"Sama siapa?"
"..."
"Tapi kaki saya sakit loh." Jian yang semula berdiri, mulai duduk di kursi.
"..."
"Gak lama, kan?"
"..."
"Iya boleh, nanti ke rumah aja ya." Katanya sebelum berpamitan dan menutup telepon.
Tadi itu Jendra yang mengajaknya ke toko buku, tak hanya merek berdua, ada Wella juga yang katanya akan menyusul. Jian kembali ke belakang, menyelesaikan pekerjaannya tadi, sebelum bersiap-siap.
. .
Karna cuaca yang panas, Jian hanya memakai baju kaos hitam di padukan dengan celana bahan yang berwarna senada. Hanya ke toko buku, pikirnya, tidak perlu memakai pakaian bagus.
Klakson mobil Jendra sudah terdengar, membuat Jian buru-buru keluar rumah. Tak lupa sebelum pergi lelaki itu mengunci pintu dan menaruhnya dibawah salah satu pot bunga ibunya.
"Widih, cakep banget bro." Puji Jendra begitu Jian memasuki mobilnya.
Jian menyandarkan punggungnya, "Kamu tuh ya, gak ada capeknya sama sekali." Katanya, "Kaki saya masih pegel habis tanding kemaren, tapi kamu masih biasa aja."
Jendra yang mendengar celotehan Jian hanya tertawa, "Makanya olahraga." yang dibalas dengusan pelan oleh Jian.
Beberapa saat kemudian, keduanya sampai. Bukan Jendra namanya kalau langsung menuju tempat yang ia tuju, nyatanya lelaki itu berkeliling dulu ke toko parfum, toko sabun, membeli jaket karna sebentar lagi akan musim hujan. Kalau besok Jian pakai kursi roda ke sekolah, salahkan saja Jendra yang mengajaknya berkeliling padahal kakinya masih sakit.
Sebelum memasuki toko buku, sembari menunggu Wella keduanya membeli es krim dan duduk di kursi yang ada di sana, persis seperti dua anak yang ditinggalkan ibunya.
"Lama banget sih." Gerutu Jendra yang es krimnya sudah habis duluan, "Kita masuk berdua aja deh, Ji, si Wella terserah dia ajalah. Udah ditungguin gak dateng-dateng."
"Bentar lagi palingan."
Menyesal Jian mengatakannya, karna sedari es krimnya tinggal setengah sampai sekarang semuanya sudah masuk ke perut, gadis itu belum juga datang. "Yaudahlah, kita masuk duluan."
Keduanya langsung berpencar, Jendra ke bagian novel, dan Jian menuju buku resep makanan. Akhir-akhir ini ia tertarik membuat cookies, maka dari itu Jian menyetujui ajakan Jendra ke toko buku, siapa tau ada buku resep cookies yang menarik perhatiannya.
Jian yang sedang memilih-milih buku resep, mendadak berhenti ketika matanya melihat keberadaan Harraz dan juga Jingga berada tak begitu jauh darinya. Jian merasa dejavu, kepalanya ia pukul pelan, mencoba mengingat kejadian seperti ini.
Di mimpinya.
Lelaki itu terdiam, benar, di mimpinya itu ia bertemu Harraz di toko buku. Saat itu Jian dan juga Jendra sedang mencari sebuah buku dan betemu Harraz bersama kekasihnya, lalu Wella datang menganggu keduanya.
Jian tidak percaya ini, ia tutup mulutnya rapat-rapat dan berjalan kearah kasir dengan membawa satu buku yang menarik perhatiannya sejak tadi.
Tak lama dari itu Jendra juga datang kearah kasir, dengan membawa satu novel yang lumayan tebal. "Pake kartu gue aja." Katanya, "Gue mau kesana dulu."
Sepertinya Jendra memang sudah tau kalau disini ada Harraz. Lelaki itu mengeluarkan kamera ponselnya dan mengambil gambar dua sejoli dari kejauhan.
Jian yang sudah selesai menepuk pundak Jendra, "Gak boleh foto orang sembarangan, broku." Katanya.
Jendra hanya mengangkat bahunya acuh, "Udah ada Wella disana." katanya sembari memasukkan ponsel ke saku celana, "Lo mau gabung kesana apa pulang aja?"
Jian menggeleng ribut, menemui Harraz setelah insiden kemarin di lapangan sungguh memalukan. Jian tidak akan pernah menemui Harraz. "Pulang." Jawabnya.
"Oke kalau gitu, kita pulang."
Keduanya berjalan beriringan, mata Jian masih terus memandang tiga orang di ujung ruangan. Jelas sekali Jingga tidak nyaman dengan kehadiran Wella di sana, namun Wella terus saja mengajak Harraz mengobrol, Jian geleng-geleng kepala melihatnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.