Jian tak henti-hentinya menceritakan kejadian Harraz yang ingin menjadi temannya itu pada Jendra dan Wella. Lelaki itu terus tersenyum sembari mengingat bagian Harraz yang memanggilnya dengan sebutan teman baru. Jian sangat senang, setidaknya Harraz tau kalau ada dirinya di sekolah ini.
Kemarin juga Wella sempat menyampaikan kalau Harraz menanyai nama Jian, membuat wajah Jian memerah hingga diketawai Wella habis-habisan. "Lucu banget, lo sesuka itu sama Harraz, Ji?" Tanya gadis itu sembari memainkan pulpen ditangannya, "Bahasan lo dari kemaren Harraz mulu."
Jian tersenyum simpul, "Kayaknya saya bukan satu-satunya orang yang kagum sama Harraz di sekolah ini."
Wella mengangguk pelan membenarkan, Harraz itu populer, jadi sudah bisa dipastikan yang menyukainya bukan cuma Jian saja, "Lo sih gak mau gue bantuin supaya deket sama Harraz."
"No, jangan macem-macem, ya." Jian memberi peringatan pada Wella dan Jendra, kalaupun ia bisa dekat dengan Harraz, Jian ingin melakukan semuanya dengan perlahan. Lagipula masih ada Jingga disisi Harraz, Jian tidak bisa meminta bantuan Wella dan Jendra untuk itu, takut-takut kejadian yang terjadi di mimpinya itu malah kejadian di dunia nyata.
"Jadi, apa yang akan lo lakuin, Ji?" Tanya Jendra yang sedari awal hanya diam dengan buku biologinya. "Mau terus-terusan jalan ditempat gak ada pergerakan?"
Bibir Jian mengerucut, "Jangan ngomong gitu dong, saya kan juga bingung harus ngapain."
"Menurut gue ya, Ji, lo harus deketin Harraz pelan-pelan. Kayak misalnya lo nebeng pulang atau ngapain, gitu." Wella menyanggah kepalanya dengan tangan kanan, menatap Jian yang ada didepannya.
Sedangkan Jian hanya diam, sedikit berfikir, beresiko besar kah saran Wella tadi atau tidak. "Ngaco ah, masa nebeng pulang." katanya, "Jingga mau dikemanain?"
"Bener juga." Jawab Jendra.
Jian menghela nafas pasrah, "Udahlah, paling bener saya ini jadi secret admirernya aja."
.
.Istirahat kedua ini Jian habiskan dengan menunggui Jendra kumpul ekskul. Selepas pengumuman agar anggota taekwondo sekolah berkumpul di lapangan dekat kantin, Jendra menarik Jian untuk ikut bersamanya. Tak ada pilihan lain bagi Jian, Wella juga sudah pulang duluan karna ada acara keluarga.
Jadi disini lah Jian sekarang, duduk sembari meminum susu kotak strawberry, matanya menatap lekat kerumunan yang tak begitu jauh didepannya.
"Jian."
Jian menoleh, mendapati Harraz baru saja memasuki kantin dengan senyum yang merekah. Jian masih memperhatikan lelaki itu hingga duduk di sebelahnya.
"Sendirian aja?" Tanya Harraz.
Jian mengangguk, "Lagi nungguin Jendra." Tak lupa jari telunjuknya diarahkan pada kerumunan didepan. "Harraz sendirian?" Kepalanya celingak-celinguk mencari keberadaan Jingga yang siapa tau ada di kantin juga.
"Iya, sendirian." Jawaban Harraz membuat Jian manggut-manggut.
Lalu hening.
Jian yang takut bersuara, dan masih merasa canggung didekat Harraz, lalu Harraz yang entah kenapa memilih diam, mungkin menunggu Jian mengajaknya berbicara.
Jujur saja, Jian merasa dejavu. Keadaan seperti ini sudah pernah ia rasakan didalam mimpinya, duduk bersebelahan dengan Harraz di kantin, lalu saling diam tak ada yang berniat membuka suara.
Jian tak suka suasana seperti ini.
"Harraz, kakinya masih sakit?" Jian menolehkan kepalanya, dan ternyata hal serupa juga dilakukan Harraz membuat mereka saling tatap untuk beberapa saat, hingga Jian yang memutus pandangan itu.
Harraz terkekeh, "Gak sakit, kok. Dari awal juga gak sakit."
Jian hanya menganggukkan kepalanya pelan, "Oh, syukur deh." Balasnya.
"Lo mau makan gak?"
"Eh?"
Harraz tersenyum sekilas, merasa gemas dengan wajah terkejut Jian. "Mau makan bareng gak?" Tanyanya lagi, "Lo mau apa, gue pesenin."
Jian seakan tidak diberikan pilihan untuk menolak, "Terserah..." Jawab Jian pelan, membuat Harraz tertawa.
"Iya deh kalo terserah, gue samain aja, ya. Tunggu bentar gue pesen dulu."
Harraz berlalu, membuat Jian mengerjapkan matanya beberapa kali. Matanya menelusuri kantin, takut ada Jingga yang melihat mereka berdua disini. "Ini gak mimpi, kan?" Tanyanya pada diri sendiri, lalu tangan kanannya itu tergerak mencubit lengan kirinya hingga ia mengadu sakit, "Oh, ini nyata."
Jian tersenyum senang.
Hingga Harraz datang dengan nampan berisikan dua mangkuk mie ayam, dan dua gelas es jeruk, kemudian meletakkannya didepan Jian, membuat lelaki itu mengucap terima kasih dengan pelan.
Keduanya diam, menuangkan saos dan juga sambel pada mangkuk masing-masing, "Harraz gak suka pedes, ya?"
Harraz yang baru saja hendak mengambil tempat sambel menoleh pada Jian, dengan alis yang terangkat sebelah, "Kok bisa tau?" ia balik bertanya.
Jian nampaknya masih tak sadar dengan ucapannya, "Biasanya cowok ganteng gak suka ped-Eh?"
Suara tawa Harraz terdengar membuat Jian menolehkan wajahnya yang memerah.
"Maksud saya, banyak orang yang gak suka pedes, makanya saya sok tau aja, ternyata bener." Jian bahkan sudah tidak berdaya untuk mengangkat wajahnya, ia malu pada Harraz, sungguh. Salahkan mulutnya yang berucap tanpa terkendali ini.
Tawa Harraz sedikit mereda, "Makasih pujiannya."
Rasanya Jian ingin berlari menuju kelas, atau bisakah lantai tempatnya berpijak ini menelannya sekarang juga, Jian malu.
Tanpa Jian dan Harraz sadari, sejak semenit yang lalu anak-anak taekwondo yang berkumpul telah selesai, Jendra yang hendak menghampiri Jian mendadak menghentikan langkahnya, ketika melihat ada Harraz disana sedang makan sembari tertawa bersama Jian yang menundukkan kepalanya. Jendra menghela nafas pelan, lalu berbalik memutar jalannya untuk menuju ke kelas, meninggalkan Jian yang nampaknya sedang berusaha mendekati seseorang yang tadi pagi mereka bicarakan.
"Semoga gak kena masalah deh." Gumam Jendra sebelum benar-benar pergi.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams
FanfictionHajeongwoo area. Book kedua untuk kisah Harraz dan Jian yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali. Kalau kata Jendra, mimpi itu kebalikan dari dunia nyata, bolehkan Jian berharap lebih kalau suatu saat Harraz bisa melihatnya sebagai...