Dengan perlahan Jian membuka mata, berkedip beberapa kali menyesuaikan cahaya ruangan yang sangat terang benderang, ditambah lagi bau minyak kayu putih serta suara lebay Wella yang terdengar khawatir.
Jian perlahan bangkit, menatap satu persatu manusia yang menaruh atensi tepat padanya ini. "Kenapa?" Tanyanya bingung.
"Demi Tuhan, Jian, lo masih nanya kenapa? Kita udah panik banget lo gak bangun selama 3 jam, bayangin 3 jam." Wella memberikan 3 jarinya tepat didepan wajah Jian.
Jian bingung, ia rasa sebelumnya berada dipelukan Harraz, kenapa tiba-tiba sudah berbaring di UKS dengan Wella, Jendra, Harraz, Pak Junaidi dan Bu Lisa yang menatapnya khawatir.
"Nak, ada yang sakit? kepala pusing?" Bu Lisa ikut mendekat ke sebelah Wella, akhirnya bisa menghela nafas lega ketika Jian menjawab tanyanya dengan gelengan kepala, Pak Junaidi pun melakukan hal yang sama.
Dengan tangan yang masih terlipat didada, Pak Junaidi ikutan mendekat, "Sebentar lagi ibumu datang." Kata beliau sebelum memilih keluar dari ruangan sempit ini.
Kerutan pada dahi Jian membuat Harraz duduk mendekat, "Kenapa?" Tanya lelaki itu lembut, "Kepalanya sakit?" Jian segera menggeleng sebagai jawaban.
Lelaki itu tak merasakan apapun, hanya bingung dengan sesekali menatap sekitar. Melihat Jendra mendekat padanya, Jian berkedip beberapa kali, "Jendra, mimpi itu lagi." Katanya, yang lagi-lagi mendapat tatapan bingung dari sang sahabat, "Tapi kali ini endingnya beda."
Jendra mendekat, membuat Harraz memundurkan tubuhnya guna memberi ruang, "Apa yang terjadi?"
"Saya ngerubah endingnya."
"Jendra, endingnya beda, mereka jadian."
Jendra mengalihkan tatapannya pada Wella dan Harraz yang menatapnya bingung, "Ji, minum air putih dulu." ia menyodorkan satu gelas air putih, yang langsung diambil Jian, "Sekarang cerita pelan-pelan."
Jian mengangguk, "Saya pernah bilang kan, kalau dulu saya pernah mimpi, tapi waktu itu mereka gak jadian, karna saya yang milih buat nyerah, tapi kali ini endingnya beda, Jen, saya maafin dan mereka sama-sama."
Jendra mengangguk mengerti, "Ending terbaik buat mereka berdua?"
"Iya, mereka akhirnya bareng."
Jendra meneguk ludahnya perlahan, kembali teringat dengan kalimat yang pernah ia sampaikan pada Jian dulu.
"Tapi Jendra, katamu waktu itu, mimpi kebalikan dari dunia nyata, kalo mereka bareng dimimpi, apa artinya gak ada kesempatan buat saya bareng dia didunia nyata?"
Jendra diam, sejujurnya ia juga tak tau, yang ia katakan waktu itu hanyalah omongan nenek yang menurutnya aneh, Jendra secara pribadi tak terlalu menganggap serius hal itu, namun melihat Jian yang seperti ini, Jendra sangat merasa bersalah telah mengatakannya. "Mimpi cuma bunga tidur, Ji." Jawabnya pelan.
"Ini ngomongin apa sih?" Tanya Wella bingung, "Mimpi? dunia nyata?"
David mengetuk pintu, membuat semua orang yang berada disana menoleh, "Ji, ada ibuk didepan." Ujarnya.
Jian menghela nafas, dan perlahan bergerak turun dari stretcher, Harraz dengan sigap membantu bahkan menawari akan digendong sampai mobil ibunya didepan, namun Jian menolak pelan.
"Pulang sekolah gue kerumah, ya." Harraz merapikan rambut Jian yang sedikit berantakan, dan Jian yang mengangguk sebagai jawaban.
"Ada yang mau saya ceritain juga." Balas Jian sebelum masuk kedalam mobil.
.
.Tepat pukul 4 sore Harraz datang berkunjung ke rumah Jian, rumah ini tak terasa sepi seperti biasanya, karna ada Aji dan Juna yang berteriak heboh kala melihat Harraz yang mereka kenal sebagai Nata datang dengan membawa banyak makanan.
"Jadi kalian ini pacaran?" Tanya Aji, "Jian gak ada cerita-cerita ke abang."
Juna yang sedang mengupas jeruk lantas tertawa, "Ngapain juga cerita sama lo." Ujarnya menjawab pertanyaan Aji yang ditujukan untuk Jian tadi.
Jian dengan takut-takut menatap dua sepupunya yang rusuh ini, "Boleh gak Jian minta waktu berdua dulu sama Harraz?"
Aji dengan cepat menggeleng, "Gak boleh."
Juna yang merasa dua bocil SMA ini perlu waktu untuk berdua, dengan perlahan menarik baju Aji, mengajak lelaki itu ke belakang, "Mending kita mabar zuma dibelakang."
Setelah ditinggalkan hanya hening sesaat, sebelum Harraz memberanikan dirinya untuk bertanya, "Masih sakit kepalanya?" dan lagi-lagi balasan Jian hanya gelengan, karna ia sendiri tak merasakan ada yang aneh dengan dirinya.
"Harraz, saya—"
"Jian udah makan?" Tanya Harraz menyela, dan anggukan kepala Jian berikan. "Gapapa kalau belum siap cerita, gue cuma mau mastiin lo baik-baik aja."
Jian diam, dan Harraz pun sama.
"Harraz gak bakalan ninggalin saya, kan?"
Harraz dengan cepat menggeleng, "Buat apa ninggalin Jian." Jawabnya, "Jian inget gak, pertama kali kita ketemu?"
"Waktu saya duduk didepan ruang guru, dan Harraz lewat?" Jawabnya sedikit tak yakin.
Senyum dibibir Harraz tak hilang, namun gelengan kepalanya membuat Jian menaikan alis, "Beberapa menit sebelum kumpul di lapangan, waktu mos hari pertama."
Jian membulatkan mata, "Loh, itu Harraz? Yang lupa bawa air putih itu kan?" Jian tertawa mengingatnya, bagaimana Harraz terlihat takut untuk masuk ke area sekolah karna lupa membawa air putih seperti yang disuruh panitia mos kala itu, "Untung saya bawa dua."
"Pertemuan keduanya, waktu kelas Jian kebagian jadi petugas upacara."
Lagi, mata Jian membola, "Kok, Harraz inget?"
Sedangkan Harraz tertawa pelan, "Gue selalu pengen jadi temen lo, Ji." Katanya pelan, "Menurut gue, lo itu manis dan baik, jadi setiap ngeliat lo diarea sekolah, gue selalu mendekat, walau kadang cuma lewat biasa, gue cuma pengen lo notice kehadiran gue, dan nyapa gue duluan, karena gue takut buat nyapa lo."
Jian menutup mulutnya tak percaya.
"Jadi Ji, jangan pernah takut dan mikir kalo gue bakal ninggalin lo, karna apapun alesannya gue gak bakal lakuin itu." Senyum Harraz itu bagai penenang untuk Jian, ia yang awalnya takut, sedikit merasa lebih nyaman sekarang, "Ceritain apapun yang lo mau, kalo lo pengen cerita, dan jangan ceritain kalo memang belum siap, gue gapapa, yang lebih penting bagi gue adalah mastiin lo baik-baik aja."
Jian hampir saja menangis mendengarnya, Harraz dan kata-katanya yang selalu menenangkan selalu bisa membuat Jian nyaman disisi lelaki itu, Harraz itu benar-benar penenang untuk Jian.
Kini ia tak perlu takut, termasuk pada mimpinya. Mimpi hanyalah bunga tidur, dan Jian percaya itu. Seperti yang Jendra katakan, tak usah terlalu menganggap serius hal ini, karna hanya akan membuatnya terpuruk pada ketakutan-ketakutan yang sebenarnya tidak perlu.
Jian tersenyum pada Harraz yang juga tersenyum sembari menatapnya, tangan mereka bertaut, saling menggenggam memberikan rasa nyaman pada masing-masing yang hatinya terasa runyam.
"Ji, gue sayang banget sama lo."
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams
Fiksi PenggemarHajeongwoo area. Book kedua untuk kisah Harraz dan Jian yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali. Kalau kata Jendra, mimpi itu kebalikan dari dunia nyata, bolehkan Jian berharap lebih kalau suatu saat Harraz bisa melihatnya sebagai...