Jian duduk melamun sembari menatap buku tugas biologi. Rasanya sedikit aneh, tiba-tiba Dwiki menyatakan perasaannya, tiba-tiba Harraz yang mengajaknya pulang bersama, mengapa disaat seperti ini Jian harus dihadapkan dengan orang-orang yang menyukainya?
Jendra, Wella dan David yang memang sedang berada di rumah Jian, hanya sesekali menatap lelaki itu yang seperti banyak pikiran. Wella sih sudah tau kalau Dwiki menyatakan perasaannya pada Jian, namun sepertinya Jendra dan David belum.
"Kerjain nomor 10, Ji." David membalik bukunya, bersiap untuk mengerjakan nomor selanjutnya, namun Jian tak juga merespon perkataannya tadi membuat David menoleh. "Ji?" Tangan David sengaja digoyang-goyangkan didepan wajah Jian.
"Ya, David?"
David menaikkan alisnya, "Kenapa?" Tanya David hanya direspon Jian dengan kening yang mengerut, "Ada yang susah, kok ngelamun?"
Jendra menghela nafas, "Mikirin apa sih, Ji?"
Gelengan kepala dari Jian membuat tiga orang disana menghela nafas pelan, lalu melanjutkan menulis lagi. Namun, Wella malah meletakkan pulpennya, menatap Jian yang berada tak jauh darinya itu, "Kalau ada apa-apa boleh cerita, Ji." Katanya, membuat David dan Jendra juga menghentikan kegiatan menulis mereka, "Gak baik masalah dipendam sendiri."
"Saya tuh ya, bingung banget." Jian mulai melepaskan pena ditangannya, menyandarkan punggung pada kursi bersama helaan napas berat, "Kenapa mendadak semuanya aneh, Dwiki yang tiba-tiba ngajak pacaran, Harraz yang tiba-tiba bilang jangan deketin Dwiki, tapi habis itu malah dia ngehindar, apa saya ini jadi mainan mereka?"
Kening Wella mengerut, "Dwiki ngajak lo pacaran?" Ia memang sudah tau perihal ini dari Harraz, tapi belum mendengar langsung ceritanya dari Jian.
Jian mengangguk, "Tadi sepulang sekolah."
"Terus gimana?" Tanya Jendra, "Lo terima?"
"Ya nggak lah."
David terkekeh pelan, "Udah yakin sih gue, gak bakalan lo terima." Katanya, "Terus sekarang apa yang lo pikirin?"
Jian diam lagi, entahlah lelaki ini terlihat memiliki banyak masalah. Ketiga temannya masih setia menunggu jawaban Jian, mengesampingkan tugas biologi yang memusingkan kepala. "Harraz. Saya bingung sama Harraz, dia masih sama Jingga?"
"Udah putus kali." Celetuk Wella, gadis ini berbicara seperti itu bukan sesuatu yang penting. Jian yang mendengarnya sedikit mengerutkan dahi, "Kenapa lo? bukannya dulu lo yang minta supaya mereka cepet-cepet putus." Ujar Wella ketika melihat raut bingung yang tercetak jelas diwajah Jian.
Jian melipat tangannya, "Ya bener." Katanya pelan, "Tapi gak nyangka bakal dikabulin Tuhan. Saya jahat banget gak sih? Seharusnya kalo emang mau liat Harraz bahagia, harus bisa menghargai keputusannya milih Jingga, bukan malah doain yang bukan-bukan." Tawa sarkas keluar dari bibir Jian, membuat Wella dan Jendra saling berpandangan sesaat.
"Ji, misalnya nih." Jendra pindah duduk ke sebelah Jian, "Harraz udah putus sama Jingga, trus ngedeketin lo, respon lo gimana?"
Jian menoleh, menatap Jendra dengan alis bertaut, "Apanya yang gimana, pdkt lah."
Wella terkekeh pelan, menyadari level bucin Harraz dan Jian memasuki fase sudah tidak tertolong. Bagaimana kalau Jian tau, bahwa Harraz sudah lama menyimpan rasa padanya, apa gak kejang-kejang sahabatnya ini?
Harraz cupu sih, seharusnya sudah lama lelaki itu berpacaran dengan Jian kalau ia sedikit berani mendekati lelaki manis ini. Tapi Harraz lebih memilih memendam perasaannya, orang aneh.
.
.
"Morning."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams
FanfictionHajeongwoo area. Book kedua untuk kisah Harraz dan Jian yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali. Kalau kata Jendra, mimpi itu kebalikan dari dunia nyata, bolehkan Jian berharap lebih kalau suatu saat Harraz bisa melihatnya sebagai...