"Saya belum terbiasa sama Harraz." Ucap Jian, sembari mendudukan dirinya dibangku tepi lapangan bersama Jendra dan David, "Selama ini gak ada yang perhatiin saya, tiba-tiba diperhatiin segitunya, gimana gak kaget."
David terkekeh, mengerti betul maksud Jian. "Ya wajar sih, dari lahir udah jomblo, tiba-tiba diperhatiin sama orang lain selain keluarga."
"Nikmatin aja, Ji." Sambung Jendra, "Lo kan udah lama suka Harraz."
Memang benar, tapi tetap saja rasanya aneh. Jian hanya perlu membiasakan diri, pikirnya lagi. Duduk santai dengan menikmati angin dicuaca yang sangat panas ini, ketiganya saling bercerita dengan mata yang tak lepas menatap kumpulan kelas 12 yang bermain futsal.
Jian akui sadar betul kalau mata Yasa sesekali curi-curi pandang pada Jendra yang berada disebelahnya, dan Jendra pun sama saja, tersenyum malu-malu membuat Jian menyenggol David pelan. Kalau ada Wella, pasti gadis itu akan menggoda Jendra habis-habisan.
"Capek euy."
Suara itu membuat ketiganya menoleh, ada Jevan yang sedang meneguk minumnya, ikutan duduk disebelah Jendra. "Habis ngapain lo?" Jendra tak urung bertanya.
"Dihukum." Katanya, "Pak Giri bener-bener, gue cuma lupa bawa pot taneman doang njir, disuruh lari keliling lapangan."
Jian mengangguk menyetujui, guru kesenian mereka itu super duper galak, yang kalau memberikan hukuman tidak tanggung-tanggung, "Saya juga pernah dihukum, waktu itu lupa bawa buku gambar."
Ucapan Jian membuat dua orang temannya menoleh, bahkan David dengan tampang bingungnya itu terdiam beberapa saat, "Kapan, Ji?" Katanya, "Perasaan lo belum pernah dihukum Pak Giri."
"Hah?" Jian mengerutkan alis.
Melihat Jendra yang juga memperlihatkan tampang bingungnya, Jian hanya bisa tertawa canggung, sekuat tenaga ia ingat kejadian itu, ketika ia lupa membawa buku gambar dan berakhir dikeluarkan dari kelas, lalu berlari mengitari lapangan 10 kali, Jian ingat sekali, waktu itu Harraz juga berlari bersamanya.
Tunggu sebentar, Harraz lari bersamanya?
Tawa canggung Jian semakin mengudara, menepuk dahinya pelan karena tak bisa membedakan mimpinya dan dunia nyata. Jian hanya merasa ia pernah mengalami itu bersama Harraz, lupa kalau faktanya ia dan Harraz tidak terlalu dekat sebelumnya.
"Kayaknya saya salah deh, itu bukan Pak Giri. Kejadian saya dihukum itu waktu SMP." Katanya, membuat dua temannya mengangguk-anggukan kepala mereka paham.
Jevan juga sedikit terkekeh, "Gue agak kaget kalo lo pernah dihukum." Katanya, "Lo keliatan anak yang rajin dan ambis."
Jian tersenyum sesaat, sebelum permisi pergi ke kelas duluan.
.
.
Jian diam termenung didepan kelas, seusai menonton film horror bersama Wella dan Jendra, lelaki itu merasa perlu pasokan oksigen lebih. Jian tak terlalu suka film horror, apalagi ia akan terbayang-bayang potongan filmnya ketika ia sedang sendiri, yang membuatnya takut menutup mata atau sekedar pergi ke kamar kecil.
Melihat Jian yang sendirian di depan kelas, membuat Harraz menghampiri lelaki itu. "Ji, kenapa sendirian?"
"Nyari udara segar." Jawabnya, "Saya tuh ya habis nonton film horror sama Wella." Jian persis seperti anak kecil yang sedang mengadu, "Serem banget, gak rekomen."
Harraz ikut melipat tangannya seperti Jian, "Trus kenapa nonton film horror kalau takut?"
"Wella yang pilih filmnya."
Harraz menganggukkan kepala, sedikit gemas dengan tingkah Jian yang menurutnya seperti anak-anak ini, Harraz terus saja memperhatikan Jian dari samping, menurutnya wajah Jian terlalu sempurna, sayang untuk diabaikan. Pipinya yang gembul, hidungnya yang mancung seakan memang pas dengan wajah Jian.
Merasa diperhatikan, Jian menoleh, mendapati Harraz yang tersenyum dari samping. Jian sedikit salah tingkah dibuatnya, namun mencoba bersikap biasa saja. "Ada Jingga." Ucap Jian, sedikit menunjuk kearah ruang OSIS. "Saya masuk dulu."
Sebelum Jian menjauh, Harraz dengan cepat meraih tangan itu, membawanya ketempat semula. "Disini aja." Katanya, "Gue udah gak ada apa-apa sama Jingga."
Jian mengerutkan alis, "Kenapa?" Tanyanya.
"Ya, gapapa." Jawaban itu tak membuat Jian puas, tapi tak ingin bertanya lebih, mungkin memang keduanya sedang dalam pertengkaran, dan memilih berpisah.
Oh, pantas saja tindakan-tindakan Harraz sedari pagi tadi sangat manis padanya, apakah lelaki ini sedang mencari hiburan untuk hatinya, atau apa?
Kadang Harraz ini menjadi orang yang tak bisa Jian tebak, tindakan yang tiba-tiba, perkataannya yang tiba-tiba, Jian tidak cukup peka untuk mengerti semuanya.
"Kalau ada masalah, diselesaiin dulu lah." Kata Jian, maksudnya menyinggung antara Harraz dan Jingga. Mereka berdua itu terlihat tidak ada masalah sebelum ini, kenapa tiba-tiba berpisah? aneh sekali.
Harraz tersenyum sesaat, "Udah selesai." Jawabnya pelan.
Jian menunduk sesaat, tak ingin menyatakan ini pada Harraz, tapi dimimpinya itu Jian lah penyebab putusnya Harraz dan Jingga, apa di dunia nyata juga sama?
"Karena saya?"
Harraz diam, untuk beberapa saat keduanya dilanda keheningan, membuat Jian menerka-nerka dalam hati, kalau semua ini memang karnanya. Tapi gelengan kepala dari Harraz membuat Jian mengerutkan alis, "Karna gue." singkatnya, "Dari awal semuanya karna gue." Tangan kanan Harraz tergerak merapikan rambut Jian yang berantakan tertiup angin, "Jangan mikir macem-macem."
Bohong kalau Jian bilang hatinya tak menghangat, bahkan kakinya lemas, kalau Harraz pergi dari sini mungkin Jian sudah terduduk dilantai. Karna ia didepan Harraz sekarang ini, ia harus tetap terlihat keren, walau hatinya sudah terbantai sejak tadi.
"Harraz?"
"Ya?"
"Jangan sedih."
Harraz tertawa mendengarnya, Jian sampai kebingungan apa yang lelaki itu tertawakan.
"Gue gak sedih sama sekali, malahan seneng." Jawabnya, malah membuat Jian kebingungan, baru putus kok seneng, aneh.
Jian mengerutkan dahi, "Seneng kenapa?"
Harraz menepuk pundak Jian, lalu menggeleng pelan dengan senyum manis menghiasi bibirnya, "Nanti pulang bareng, ya, gue tunggu di parkiran." Ujarnya, lalu pergi meninggalkan Jian yang merasa bingung dengan tingkah Harraz yang aneh ini.
"Efek galau kali, ya." Monolog Jian, masih memandangi punggung Harraz yang menjauh, hingga hilang dibalik tangga.
Jian masih penasaran dengan berakhirnya hubungan Harraz dan Jingga, bukan karenanya? Jadi mimpi dan kenyataan yang terjadi berbeda? Jian tersenyum senang menyadari kalau dirinya bisa saja menjadi pacar Harraz, apalagi dengan segala sikap manis lelaki itu padanya, huh Jian yakin, Harraz pasti menyukainya juga.
Jian harus tanya Wella soal ini, siapa tau Wella sudah tau semuanya, Jian sedikit berlari menuju kelas, guna mencari sahabatnya itu, "Wellaaa."
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams
FanfictionHajeongwoo area. Book kedua untuk kisah Harraz dan Jian yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali. Kalau kata Jendra, mimpi itu kebalikan dari dunia nyata, bolehkan Jian berharap lebih kalau suatu saat Harraz bisa melihatnya sebagai...