"Oh ya? Terus gimana?" Tanya Wella antusias dengan cerita Jian.
Lelaki itu mulai bercerita lagi, bagaimana ia bisa bertemu Harraz kemarin sore saat bersama abang sepupunya, Jian terus saja menceritakan dengan detail tanpa ada sedikitpun yang terlewat.
"Dia bilang, 'Lucu ya, gue mirip Bang Ikal dan lo mirip pacarnya, Kak Jeje. Kayak seakan udah ditakdirin Tuhan'." Jian menepuk-nepuk dadanya kirinya, "Saya tuh ngerti maksud Harraz, rasanya pengen langsung bilang, iya, Raz, ayo pacaran sekarang." Diakhiri dengan tawa renyah Jian yang membuat Wella dan Jendra ikut tertawa.
Jendra geleng-geleng kepala melihat tingkah Jian yang sangat aktif ini, "Gila sih Harraz, kayaknya emang suka sama lo."
Wella membenarkan, "Kalo seandainya dia suka sama lo, gimana Ji?"
Jian diam, ikut berfikir, iya bagaimana kalau Harraz menyukainya?
"Pacaran lah." Jawab Jian acuh, sembari melipat tangannya didada lalu menyandarkan punggungnya, "Lagian aneh aja, gak mungkin Harraz suka saya. Dia tuh kayaknya emang sering godain orang begitu." Lalu matanya membulat, dan mendekat memajukan kepala kearah Jendra dan Wella yang ikut-ikutan mendekatkan kepala mereka, "Apa Harraz tau, saya suka dia?"
Jendra mundur, keningnya berkerut, "Bisa jadi."
"Emang keliatan banget ya, kalau saya suka Harraz?"
"Lumayan." Jawab Wella acuh.
Jian mendelik, "Ih, saya gak pernah tuh ngejar-ngejar Harraz."
"Tapi lo panik banget waktu Harraz jatoh, seakan kaki Harraz mau copot, lo sampe teriakin gue ya, njir. Padahal kesandung doang." Jendra memberikan tatapan sinisnya pada Jian yang sekarang malah cengengesan disebelahnya.
Jian mengedikkan bahunya acuh, "Saya kan khawatir." Ujarnya membela diri sendiri.
.
.Berdiri lama didepan lemari pendingin yang ada di kantin, Jian bingung untuk mengambil susu kotak atau minuman lain, seperti penambah ion. Bibirnya sedikit maju, dengan mata yang mengerjap beberapa kali, Jian tak bisa menentukan pilihannya.
"Sorry, gue bisa duluan gak?" Ucap seseorang dari samping, Jian membolakan matanya sesaat, tersadar kalau dirinya ini menghalangi orang lain.
Lantas lelaki itu bergeser sedikit, agar seseorang yang tadi menginterupsinya itu bisa membuka display cooler. "Maaf ya, Iki."
Dwiki yang hendak mengambil salah satu minuman bersoda menjadi terhenti, telinganya menangkap sesuatu yang menggelitik hati, Iki katanya tadi, bukankah sangat lucu ketika ada orang lain selain keluarganya yang memanggilnya dengan sebutan Iki. "Lo panggil gue apa tadi?"
Menyadari sesuatu, Jian segera tertawa cengengesan, "Aduh, maaf ya, nama kamu terlalu panjang, makanya saya inisiatif panggil Iki aja biar singkat." merasakan seseorang didepannya merespon dengan positif, Jian tak jadi gugup.
"Santai aja, Ji. Panggil gue Iki aja kalo nama gue sekiranya susah disebut." Lelaki itu tertawa, Jian ikut tertawa juga karna merasa tidak enak. Lalu fokus keduanya kembali pada minuman, "Lo lama banget di depan ini kenapa?"
"Saya tuh bingung, mau susu kotak apa minuman ini." Ujar Jian, tangan kanannya menunjuk salah satu minuman berbotol kecil berwarna sedikit putih.
Alis Dwiki terangkat, "Kenapa gak ambil keduanya?"
"Nanti perut saya kembung."
Dwiki tertawa lagi, lalu mengeluarkan susu rasa coklat dan strawberry, tak lupa juga mengambil minuman yang Jian tunjuk tadi lalu segera membayar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams
FanfictionHajeongwoo area. Book kedua untuk kisah Harraz dan Jian yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali. Kalau kata Jendra, mimpi itu kebalikan dari dunia nyata, bolehkan Jian berharap lebih kalau suatu saat Harraz bisa melihatnya sebagai...