Poor Jian

1.2K 243 131
                                    

Jian menatap datar Harraz yang baru saja sampai di Halte depan sekolah, "Kamu jadiin saya taruhan, ya?" Tanyanya langsung, membuat Harraz mengerutkan dahi, "Kata Jingga, kamu jadiin saya taruhan sama Dwiki."

Harraz terkejut, Jingga bilang begitu pada Jian?

"Nggak, Ji." Jawabnya cepat, "Gue gak pernah jadiin lo taruhan."

Namun Jian tak langsung percaya, ia masih menatap Harraz curiga, "Bener, kan?"

"Nggak, Ji, demi Tuhan." Ucap Harraz, tatapan itu terlihat sungguh-sungguh, tak ada tanda-tanda kebohongan membuat Jian menganggukkan kepalanya pelan. "Kalo gitu kamu aja yang ajak Dwiki taruhan."

Harraz melotot, "Ngapain?"

Sedikit tertawa, Jian mendekat pada Harraz, "Nanti saya jadi pacar kamu, trus mobilnya kita bagi dua."

Tolong beritahu Harraz, siapa yang mengajari Jian seperti ini, Jendra kah atau Wella?

Menghela nafasnya pelan, Harraz memegang pundak Jian, "Ayo pulang." Katanya.

Jian mengangguk, lalu mengikuti Harraz menuju motornya. Sebenarnya Jian sedikit takut, setelah membahas tentang taruhan tadi, wajah Harraz sedikit keruh, lelaki ini tidak marah, kan?

Sudah duduk dengan tenang, Jian mendaratkan dagunya pada bahu Harraz, "Beli bakso dulu, ya." Ucapnya, lalu dengan cepat menarik kepalanya kembali, tak sanggup melakukannya dengan lama. Aduh jantung saya, ucap Jian dalam hati dengan mati-matian menahan senyum.

.
.

Jingga tak main-main dengan ucapannya kemarin, ketika melihat Jian berangkat sekolah bersama Harraz tadi pagi, siangnya gadis itu langsung menyeret Jian menuju belakang sekolah.

"Ji, gue udah bilang, lo itu taruhan dia sama Dwiki." Jingga meyakinkan Jian, menatap lelaki didepannya itu tepat dimatanya.

Jian sedikit memberengut, "Enggak Jingga, kata Harraz dia gak gitu."

"Tapi gue korbannya."

Jian terdiam, ia sadar kalau Jingga melakukan ini atas dasar perasaan kecewanya pada Harraz, tapi tidak dengan menyuruh Jian menjauhi lelaki itu.

Jian pikir tentang perasaannya pada Harraz itu urusannya sendiri, tidak perlu Jingga ikut campur, kalau ingin mengingatkan dirinya cukup sekali saja, tak perlu dipaksa seperti ini.

"Jingga, saya tau kamu baik, kamu gak pengen saya jadi korban Harraz kayak kamu. Tapi saya lebih percaya sama Harraz, kalo dia bukan orang yang kayak gitu."

Ucapan Jian itu sepertinya membuat Jingga marah, tangannya terkepal dengan helaan nafas yang sedikit membuat Jian mengangkat alis.

"Tentang taruhan Harraz yang menyangkut kamu, itu urusan kamu sama dia, bukan urusan saya. Begitupun perasaan saya untuk Harraz, itu urusan saya bukan urusanmu."

Plak

Satu tamparan mendarat dipipi kiri Jian membuatnya kaget dengan gerakan Jingga tiba-tiba.

"Gue nyuruh lo jauhin Harraz." Katanya dengan nyalang, "Ini peringatan terakhir gue, Jian. Gue bisa ngelakuin apa aja buat jauhin lo sama Harraz."

Jingga pergi, meninggalkan Jian yang terdiam dengan tangan yang bertengger dipipi, tak bohong kalau tamparan itu sedikit menyakitkan, dan pipinya terasa nyeri. "Samson kali tuh orang." Komentarnya sebelum berjalan menuju kelas.

.
.

"Kenapa sih, Ji?" Wella yang mengompres pipi kiri Jian tak urung bertanya, "Lo juga gak masuk pelajaran pertama, kalo sakit tuh jangan sekolah, chat gue aja, nanti gue bikinin surat izin."

Jian menggeleng, "Habis ditampar Jingga." Jujurnya, Jian pikir tak ada untungnya ia menyembunyikan perkara ini pada dua temannya.

Mata Wella melotot, "Kok bisa?" Ia benar-benar terkejut, bahkan Jendra yang duduk dekat pintu pun mendekat ke sebelah Wella.

"Dia nyuruh saya jauhin Harraz, saya gak mau. Emangnya dia siapa kok ngatur-ngatur."

Wella melihat Jendra sebentar, lalu bertanya pada Jian lagi, "Lo tampol balik?"

Gelengan pada kepala Jian membuat keduanya mengerang kecewa, "Kenapa gak lo jambak aja rambutnya?" Tanya gadis itu lagi.

"Saya tuh kaget, Wella." Jian membela diri, "Kalo dia udah ada ancang-ancang mau nampol sih, saya tampol balik." lanjutnya.

Jendra hanya bisa menghela nafas dengan sesekali menggelengkan kepalanya pelan, "Dia bilang apalagi?"

"Gue bisa ngelakuin apapun buat jauhin lo sama Harraz. Gitu." Jian menirukan gaya bicara Jingga.

"Gak waras." Celetuk Wella, "Kita harus bikin perhitungan, emang dia pikir dia siapa, sok jago banget." Jendra dan Jian mengangguk mendengarnya. "Kalo bisa sampe dia keluar dari sekolah ini." Tambah Wella dengan sungguh-sungguh, Jian sedikit terharu melihat sahabat bar-barnya ini dengan bertekad membelanya.

Jendra melipat tangan didada, "Nanti kita susun rencananya di rumah lo, Ji." Ujarnya, dan Jian mengangguk.

"Harraz udah tau lo disini?"

Jian memberikan tatapan memelas pada Wella, "Jangan dikasih tau, ya."

Gadis itu mendengus, "Lah kenapa?"

Melihat Jian yang memanyunkan bibirnya membuat Wella dan Jendra mengerutkan alis, "Saya tuh malu gak bisa bela diri sendiri. Lagian takut Harraz marah nanti, kemaren aja mukanya gak enak banget waktu saya bilang Jingga datengin saya dan bilang buat jauhin dia."

"Bukannya bagus ya, kalo Harraz marahin Jingga?"

Namun gelengan dari kepala Jian membuat keduanya lagi-lagi menghela nafas, "Jingga ini biar jadi urusan kita aja." Ucapnya, "Saya pasti ngasih tau Harraz kok, tapi nanti."

"Yaudahlah, tapi lo harus bilang ya, Ji."

Anggukan patuh dari Jian membuat kedua temannya tersenyum. Mungkin mereka tak menyadari kalau sedari tadi Harraz sudah mendengar semua perbincangan ketiganya dengan tangan yang terkepal menahan amarah.

Seusai mencari Jian ke kelasnya dan tak menemukan lelaki itu, salah seorang teman sekelas Jian mengabari kalau Jian ada di UKS dari pagi tanpa mengikuti pelajaran pertama, hal itu membuat Harraz panik, ia pikir Jian sakit dan hendak menghantarkan lelaki itu pulang, tapi setelah mendengar semua obrolan tadi, kini fokusnya adalah Jingga.

Mungkin bermain-main dengan gadis itu sebentar tak ada salahnya.

Mungkin bermain-main dengan gadis itu sebentar tak ada salahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued...

Dreams Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang