The end of Jian's story

1.6K 240 118
                                    

Jian termenung, menatap lapangan sekolah yang dipenuhi anak basket sedang latihan sore ini, semilir angin sore yang dingin membelai kulit, membuat lelaki manis ini merutuk dalam hati karna tak membawa jaket seperti biasanya.

Sebelum pulang tadi, Harraz datang ke kelas, mengajak bertemu sepulang sekolah, namun belum juga terlihat batang hidungnya.

Jian menatap langit sore yang teduh, malam ini akan hujan, pikirnya begitu.

Berada didepan kelas pada jam pulang sekolah seperti ini mengingatkan Jian pada mimpinya dulu, ketika dirinya memilih menyerah pada hatinya dan tak lagi ingin memperjuangkan semuanya bersama Harraz, namun terakhir kali mimpi itu kembali, mereka bersama, Harraz dan Jian dalam versi lain.

Setelah menanyai Aji dan Juna tentang mimpi menurut mereka, yang bisa Jian tangkap adalah, bisa saja saat kita bermimpi, sebenarnya kita sedang berada pada diri kita yang lain, universe lain yang memang ada dan berdampingan dengan dunia nyata tempat kita hidup. Ini kedengaran gila, tapi Jian cukup mempercayainya.

Apalagi dimimpinya yang terakhir kali, Harraz bilang berapa kalipun mereka hidup kembali, Harraz hanya akan jatuh cinta pada Jian. Lucu sekali mengingatnya, pipi Jian asli akan memanas dan mungkin akan terlihat bersemu.

Melihat lagi pada jam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya, Jian mengedarkan pandangan, mencari sosok Harraz yang belum juga datang, padahal jam sudah menunjukkan waktu semakin sore.

Lelaki itu tak lupa kan?

Jian menghela nafas, memejamkan mata sembari menenggakkan kepala, menikmati angin yang terus berhembus mengacak-acak rambutnya.

"Cantik."

Dengan cepat Jian menoleh kearah kanan, kala mendengar suara berat yang ia hapal luar kepala, Harraz dengan senyum manisnya itu ada disana, disebelahnya menatap Jian dalam, yang Jian lakukan hanya mengeratkan pegangannya pada dinding pembatas, "Harraz." Cicitnya pelan, membuat yang lebih tinggi terkekeh gemas.

"Maaf ya, jadi nunggu lama." Ucapnya, Jian hanya mengangguk sebagai respon.

Kehadiran Harraz disisinya saat ini bahkan merenggut kewarasannya, salahkan angin yang menerpa wajah Harraz, membuat rambut legam itu tersibak sehingga menampilkan jidat putih miliknya, Jian tak akan pernah bosan bilang ini, Harraz adalah Mahakarya Tuhan yang paling indah, dan Jian berjuta-juta kali mengucap syukur karna telah dipertemukan dengan lelaki baik disebelahnya ini.

Sama seperti yang Harraz ungkapkan dimimpinya kemarin, Jian juga berdoa pada Tuhan, berapa kalipun ia hidup kembali, hanya Harraz yang akan ia tuju, karna Harraz bukan hanya sekedar cinta, Harraz adalah rasa nyaman yang Jian cari.

Harraz terlihat merogoh saku jaketnya, lalu mengeluarkan dua gelang berwarna hitam dengan bandul huruf H dan J. Jian mengerutkan alis saat Harraz dengan tiba-tiba mengambil tangannya dan memasangkan gelang dengan bandul H padanya, "Artinya, Jian punya Harraz."

Jian menggigit bibirnya getir, mati-matian menahan senyum yang memaksa keluar.

Lalu, Harraz juga memasangkan gelang dengan bandul J ke tangan kanannya, "Harraz punya Jian."

Tak bisa ditahan lagi, Jian tertawa kecil, merasa lucu dengan apa yang barusan ia dengar. Harraz selalu punya cara membuat Jian bahagia bersamanya, dan Harraz akan melakukan apa saja agar Jian terus bersamanya.

Tangan Harraz bergerak menggenggam jari jemari Jian, membuat Jian menghadapnya, dan menatapnya dengan senyum manis yang selalu Harraz suka. "Gue gak bisa janjiin apapun buat kedepannya Ji, tapi gue bakal berusaha bikin lo terus ngerasa bahagia, gue pengen selamanya bareng lo, gue udah jatuh sejatuh jatuhnya sama semua tentang lo, dan gue harap lo mau jalanin semuanya bareng sama gue mulai hari ini, besok bahkan seterusnya." Harraz menyunggingkan senyum, "Jadi pacar gue, Ji, gue gak nanya pendapat lo sih, gue pengen lo jadi pacar gue pokoknya lo gak boleh nolak."

Jian tertawa, "Gak ada yang mau nolak." Ujarnya.

Dibawah langit sore pukul lima, Harraz dan Jian mengukir janji, akan terus saling mencinta dan menjaga satu sama lain, saling menyampaikan perasaan yang selama ini belum sempat terungkapkan, saling menggenggam dengan rasa yang bergejolak didada.

"Manis banget sih pacar Harraz." Goda yang lebih tinggi pada si manis yang hari ini resmi menjadi pacarnya.

Walau tersenyum malu-malu, Jian tak mau kalah dengan manusia bermulut manis disebelahnya ini, "Ganteng banget sih pacarnya Jian."

Jangan tanyakan lagi bagaimana keadaan Harraz, kacau sangat kacau, lelaki ini bahkan memegangi bagian dadanya dengan sesekali mencak-mencak ditempatnya berdiri, "Kacau ini kacau, pacarku manis banget aku gak kuat." Sedangkan Jian sudah tertawa keras disebelahnya.

Rasanya mata Harraz tak mau berpaling, tawa Jian itu candu, sungguh. Si manis yang menjadi pacarnya ini bahkan berjuta-juta lebih indah saat tertawa lepas seperti tadi, Harraz sampai tak berkedip dibuatnya, hingga Jian sadar kalau Harraz sedari tadi hanya memperhatikannya dari samping, lelaki itu lantas menaikkan alis.

"Cantik, benar-benar cantik." Puji Harraz tak bohong, "Emang Harraz gak salah pilih pacar."

"Apaan sih." Jian mengalihkan tatapannya, menatap apa saja asal bukan Harraz, lelaki ini selalu bisa membuatnya salah tingkah, Jian jadi malu sendiri.

"Ji."

"Hmm?"

"May I kiss you?"

Jian yang semula menatap lapangan, otomatis langsung menoleh pada Harraz yang sepertinya tak main-main dengan ucapannya tadi, lelaki itu bahkan menatap Jian lekat, dengan Jian yang wajahnya terkejut tak dibuat-buat.

Melirik lapangan yang sudah sepi, Jian dengan kikuk mengangguk, memberi izin pada Harraz. Harraz yang melihat Jian begitu lucu, tak bisa lagi menahan senyumnya, lelaki ini mendekat perlahan, ia bisa melihat kedua tangan Jian terkepal perlahan, makin menjadi senyum Harraz menguar dibibirnya.

Namun alih-alih mencium pacarnya, Harraz memeluk Jian, membuat sang pacar menaikkan alis bingung, "Nanti aja, gak enak masih di sekolah."

Andai saja Harraz tau kalau jantung Jian sudah berdetak sangat keras sampai membuat dadanya sakit, lelaki ini sangat pandai membuatnya gemetar. Jian menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Harraz, malu bukan main, Sekarang Jian bisa menerka kalau wajahnya sangat merah, pasti nanti akan diketawai Harraz habis-habisan.

Mimpi yang Jian takuti itu membawanya lebih dekat bersama Harraz, walau banyak hal yang terjadi dan mungkin akan terus datang kejadian-kejadian dimasa depan yang tak bisa ia prediksi, Jian harap tak mengurangi rasa cintanya pada Harraz, dan Jian tak akan pernah melepas genggaman tangan ini.

Kisah kali ini masih tentang Harraz dan dunianya, yang sudah berhasil Jian gapai.

E N D

Ceritanya udah aku benerin, aku harap kalian bisa bedain mana mimpinya Jian dan mana yang aslinya Jian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ceritanya udah aku benerin, aku harap kalian bisa bedain mana mimpinya Jian dan mana yang aslinya Jian.
🙏🏻

sampai jumpa dicerita seru lainnya,
Harraz dan Jian benar-benar pamit, dengan akhir yang paling bahagia.

.

Tanya apapun disini 📭

Dreams Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang