Meet Harraz in the teacher's room

1.3K 254 27
                                    

Jian duduk termenung dengan pikiran yang berkecamuk, ya tentu saja memikirkan Harraz. Semakin mengenal Harraz, semakin Jian tersadar kalau sikap dan perbuatan lelaki itu seringkali sangat tiba-tiba.

Duduk berdua dengan Harraz di kantin, lalu dibelikan makanan, dan makan bersama dengan sesekali meleparkan candaan satu sama lain, bahkan hal tersebut tidak pernah Jian pikir akan terjadi. Makin kesini semuanya semakin aneh, satu persatu kejadian yang terjadi dimimpi Jian itu mulai kejadian di dunia nyata.

Kalau begini, Jian jadi semakin takut.

Takut kalau endingnya nanti akan sama saja, tapi kata Jendra yang mengutip dari neneknya, mimpi itu adalah kebalikan dari dunia nyata. Masih bisakah Jian berharap kalau Harraz bisa bersamanya nanti?

Tapi disatu sisi, Jian sangat merasa jahat pada Jingga, secara tidak langsung ia mencoba merebut Harraz dari gadis itu. Entahlah bisa dibilang merebut atau tidak, nyatanya dua sejoli itu masih mesra sampai sekarang.

"Ngelamun aja, masih pagi juga." Wella datang dengan dua kotak susu strawberry ditangannya, meletakkan satu kotak didepan Jian yang sekarang wajahnya terlihat cemberut.

Jian mengambilnya, "Wella, saya boleh tanya, gak?"

"Boleh, tanya aja."

Lelaki itu menggaruk tengkuknya sesaat, bingung mencari kata-kata yang pas agar Wella mudah mengerti maksudnya. "Hm. Menurutmu, mimpi itu gimana?"

Wella mengerutkan kening, "Gimana apanya?"

"Ya, maksudnya kamu percaya gak, kalo mimpi itu bakal kejadian di dunia nyata?"

Gadis itu nampak berfikir, "Menurut gue ya, tapi lo jangan percaya juga sih, soalnya gue ngaco."

Jian mengangguk.

"Gue sebenernya percaya gak percaya sih, orang mikirnya mimpi itu bunga tidur, yang kalo kita bangun kita bakal lupa semuanya, tapi kita ngga bakal lupa emosinya, entah kita nangis kah, marah kah. Cuma kayak lo ngerti gak sih orang linglung waktu bangun tidur, kayak 'ih tadi gue mimpi sedih banget, tapi gue lupa mimpinya gimana.' atau malah bisa aja gak inget semuanya, jadi bangun tidur langsung mikir keras 'gue mimpi apa ya jadi sampe nangis begini." Wella menjelaskan yang didengar baik oleh Jian, "Tapi, gue percaya sih kalo disetiap mimpi itu ada maknanya yang mungkin gak kita tau."

Jian manggut-manggut, membuat Wella bertanya, "Emang lo mimpi apaan sampe sebingung ini?"

Lelaki itu mengedikkan bahunya, tidak mau memberitau Wella, "Ada deh." Jawabnya.

"Idih." Wella memasang tampang sewotnya.

.
.

Baru saja Jian hendak masuk ke kelas, David dengan tergesa-gesa memberikan satu kertas dan pena pada Jian, "Tolong lo ke ruang guru, ada jadwal pelajaran baru. Perut gue sakit banget, bye." Lalu lelaki itu berlari sambil memegangi perutnya.

Belum juga bilang ya atau tidak, Jian memang tidak diberikan pilihan, menghela nafas pelan, Jian berjalan pelan menuju ruang guru.

Aduh, rame banget, katanya dalam hati. Lalu masuk perlahan setelah mengetuk pintu dua kali, ternyata guru yang bersangkutan masih belum ada disana, membuat beberapa perwakilan kelas menunggu sembari berdiri dan separuhnya duduk di sofa yang memang disediakan disana.

"Jian." Panggil seseorang.

Jian hapal betul suara itu, lalu matanya menoleh kesumber suara, Harraz tersenyum tipis dengan tangan yang melambai agar Jian mendekat padanya. Tidak langsung berjalan, Jian mengamati siswa yang berada disana, tidak ada Jingga untungnya, dan Jian menghampiri Harraz.

"Hallo, Harraz." Sapa Jian ketika sudah berada didepan Harraz, lelaki itu hanya terkekeh singkat dan menggeser duduknya, menepuk pelan tempat kosong disebelah bermaksud agar Jian duduk disana.

Kalo kalian pikir Jian menolak duduk disebelah Harraz, kalian salah. Lelaki itu bahkan tersenyum lebar dan duduk disana tanpa pikir panjang. Jian senang Harraz mengajaknya duduk bersama disebuah sofa, lalu seolah diingatkan dengan mimpinya itu, Jian dibuat terdiam.

"Lo ketua kelas, ya?" Tanya Harraz, namun tak kunjung mendapat jawaban, lelaki itu menoleh kesamping, "Ji?"

"Eh-Harraz?" Jian juga menoleh, membuat mata keduanya beradu tatap dalam beberapa saat, "Tadi bilang apa?"

"Lo ketua kelas?"

Tolong bilang pada Harraz, dalam jarak sedekat ini jangan sembarangan menebar senyum, Jian tidak sekuat itu. "Bukan, Raz. Sebenernya David, tapi perutnya mendadak sakit."

Harraz mengangguk-angguk seolah mengerti,

Sudah tidak ada lagi obrolan ketika guru yang bersangkutan sudah berada di sana dengan lembar jadwal pelajaran baru, mendikte perkelas, mengharuskan perwakilan kelas untuk menulis dengan cepat.

Jian kesusahan, ia tak mempunyai alas menulis, menjadikan pahanya sebagai alas membuat tulisannya acakadul mirip sekali cakar ayam. Harraz yang melihat Jian kesusahan di sebelahnya menoleh, memberikan bukunya pada Jian. "Pake ini, Ji."

Jian melirik buku yang Harraz sodorkan, "Eh jangan Harraz." tolaknya, "Kalo saya pake, nanti Harraz pake apa?"

"Gampang gue mah. Pake aja dulu, Ji."

Mendapat jawaban seperti itu, Jian mengambil buku Harraz, lalu menulis ulang jadwal pelajaran kelasnya yang sebelumnya sangat susah dibaca.

Jian selesai bersamaan dengan Harraz yang selesai menulis, matanya melirik tulisan Harraz yang rapi, beda sekali dengan tulisannya sebelum dipinjami buku. "Tulisan Harraz bagus."

Harraz menoleh mendengar bisik-bisik Jian, telinganya memang sepeka itu, "Makasih." Jawabnya membuat Jian menaikkan alis terkejut, namun selanjutnya hanya tertawa pelan.

"Beda banget sama tulisan saya yang acak-acakan." Jian juga memperlihatkan pada Harraz bagaimana kacaunya tulisannya tadi, lalu keduanya tertawa bersama, walau pelan nyatanya hal itu mampu menarik atensi siswa yang menjadi perwakilan kelas lain, menatap keduanya dengan tertarik, ada hal lucu apakah yang dua orang ini tertawakan?

Tak sampai disitu saja, Harraz dan Jian yang berjalan beriringan menuju kelas juga menarik perhatian siswa lain. Sebelum ini keduanya tidak pernah terlihat bersama, lalu tiba-tiba akrab begini, siapa yang tidak bertanya-tanya.

Banyak orang berspekulasi Jian menyukai Harraz dan mencoba mendekati lelaki itu, tapi kalau dilihat lebih teliti, Harraz lah yang mendekati Jian. Jian mah kalau ada kesempatan, gas aja.

Asik menceritakan hal lucu yang mereka rasakan selama duduk di taman kanak-kanak, keduanya sampai didepan kelas Jian, "Saya masuk dulu, ya." Jian berucap, ia juga bingung kenapa tiba-tiba bilang begitu.

Harraz terkekeh, "Iya, belajar yang rajin, ya."

Jian sampai melongo mendengarnya, kepalanya sampai geleng-geleng sendiri, mata Jian masih memperhatikan punggung Harraz hingga menghilang masuk ke kelasnya yang berada di sebelah kelas Jian.

"Sekarang udah mirip simpenan." Jian terkekeh, lalu masuk kedalam kelas.

" Jian terkekeh, lalu masuk kedalam kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

to be continued...

Dreams Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang