Hajeongwoo area.
Book kedua untuk kisah Harraz dan Jian yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali.
Kalau kata Jendra, mimpi itu kebalikan dari dunia nyata, bolehkan Jian berharap lebih kalau suatu saat Harraz bisa melihatnya sebagai...
Cuaca yang panas siang ini membuat Jian, Jendra dan juga Wella duduk bersantai didepan kelas. Mungkin semua kelas sedang jam kosong sekarang, karna dewan guru sedang rapat di aula belakang.
Gadis ini mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajah, sudah berapa kali dirinya mengajak yang lain untuk ke perpus sekolah, namun ditolak oleh dua lelaki disebelahnya ini.
"Kalo panas gini biasanya mau hujan." Ucap Jendra disebelah Jian.
Wella terkekeh, "Peramal cuaca lo?" Sungutnya, kalau sedang panas begini tingkat menyebalkan Wella kadang melambung tinggi, seperti mode senggol bacok.
"Mending ke kantin." Ucap Jian pelan, bukan seperti ajakan karna lelaki itu terlihat melipat tangannya didada, tak ada tanda-tanda akan beranjak dari tempat duduknya.
Wella menghela nafas, "Haus." ujarnya, "Kantin deh yuk?"
Jendra dan Jian mengangguk setuju, baru saja hendak bangkit, ketiganya auto duduk lagi, ketika terdengar suara seseorang dari speaker sekolah.
"Dwiki?" Jian menebak-nebak.
Jendra menoleh pada Jian, "Iya, Dwiki." Katanya membenarkan ucapan Jian tadi.
"—Sebelumnya gue minta maaf karna ganggu waktu kalian, tapi gue rasa perlu nyampein ini, biar kalian semua tau." Ada Jeda sesaat sebelum helaan nafas pelan terdengar, "Kejadiannya waktu kelas 10 semester genap, kalian semua pasti tau anak kepala sekolah, tiba-tiba dia datengin gue yang lagi piket buat ngomongin perihal surat rekomendasi sekolah buat dapet beasiswa. Gue yang emang ngincer surat itu sedikit tertarik, apalagi anak kepala sekolah yang nawarin langsung."
Bingung, ketiganya saling pandang, dari speaker sekolah juga terdengar pintu yang digedor-gedor dengan keras, seperti seseorang yang mencoba membuka paksa. Setelah diam beberapa saat, Dwiki mulai bersuara lagi.
"Tapi ternyata, semuanya gak sesederhana yang gue pikirin. Katanya, gue pasti bakal dapet surat itu kalo berhasil bujuk temen gue, Harraz buat jadian sama Jingga."
Jian menutup mulutnya terkejut, Wella dan Jendra pun sama, semua siswa berkumpul di koridor depan kelas, saling berbisik-bisik tentang fakta yang baru saja mereka dengar barusan.
"Jingga ngasih gue satu mobil buat dikasih ke Harraz, dia juga yang nyusun rencana tentang taruhan yang melibatkan gue sama Harraz." Diam lagi sesaat, Dwiki seperti mendekatkan microphone ke pintu yang digedor dari luar, "Dwiki bajingan, berhenti." Teriak seorang perempuan, yang warga sekolah yakini itu suara Jingga.
"Saat itu gue udah tau kalo Harraz naksir orang lain, saking pengennya gue dapet surat rekomendasi sekolah itu, gue sampe minta bantuan temen-temen gue yang lain buat bujuk Harraz, sampe akhirnya Harraz setuju buat taruhan.
"Semuanya berjalan seperti yang Jingga mau, sampai ketika dia nyuruh gue deketin Jian, Arjian 11 IPA 2." Mendengar namanya disebut Jian hanya bisa menaikkan alis, ternyata ini semua bagian dari rencana Jingga, "Jingga tau kalo Harraz suka Jian, dia pengen jauhin Jian dari Harraz dengan cara gue deketin Jian dan jadiin dia pacar gue, supaya Harraz gak berusaha deketin Jian lagi."
"Berhenti lo bajingan!" Teriakan itu terdengar jelas, Wella yang semula duduk diam disebelah Jian tiba-tiba bangkit dan berlari menuju ruang TU.
"Well." Panggil Jian, namun tak diindahkan.
"Disini aja, kita dengerin semuanya." Ucap Jendra, membuat Jian sedikit cemberut.
"Mungkin Harraz ngerasa gak nyaman karna gue berusaha deketin Jian, padahal gue sendiri tau gimana perasaan Harraz, I feel bad for that, sorry bro." Jian hanya bisa menatap sepatunya, padahal ia dengan tulus ingin berteman dengan Dwiki, tapi ternyata semua ini telah direncanakan, "Harraz marah dan mutusin buat batalin taruhan bodoh itu, setelahnya dia juga mutusin hubungannya sama Jingga."
Cukup ngeri mendengar tawa pelan Dwiki dari speaker sekolah, yang sepertinya sedang menertawakan sesuatu, "Jingga maki-maki gue karna gue gagal deketin Jian, dan dia cabut surat rekomendasi gue. Jingga juga ngancem Jian buat jauhin Harraz dan bilang kalo Harraz permainin Jian, semua yang Jingga bilang itu gak bener, Ji."
Kepala Jian yang semula tertunduk mulai terangkat pelan, "Jen—" Panggilnya pada Jendra, "Gue pernah denger ini semua." Lanjutnya.
Jian berdiri, menatap lekat kearah sumber suara Dwiki. Jian teringat kembali dengan mimpinya kala itu, disaat Wella terang-terangan membelanya dengan marah-marah lewat microphone sekolah.
Baru saja hendak menuju ruang tata usaha, entah kenapa kepala Jian mendadak pusing, telinganya berdengung, pandangannya mulai sedikit kabur dan gelap, walau samar-samar, Jian bisa mendengar Jendra yang panik terus memanggil namanya, "Jendra—"
Jian terjatuh tak sadarkan diri.
. .
"Menurut abang ya, Ji, mending omongin baik-baik deh."
Jian menatap Aji, sang sepupu yang duduk tepat disebelahnya. Jian merasa aneh, tiba-tiba ia ada di rumah, apakah seseorang mengantarkannya pulang?
Sungguh, Jian tak bisa mengingat apapun yang terjadi sebelumnya, yang ia rasakan hanya sakit kepala, lalu semuanya menjadi gelap dengan kepalanya yang seakan memberat.
"Bang Aji?" Ucap Jian tiba-tiba.
Aji menghela nafasnya pelan, "Kamu tuh kalo abang ngomong didenger, Ji." Ucapnya, Aji terlihat serius, "Abang tau kalo cowok yang tadi kesini tuh deket sama kamu kan? Bukannya abang mau ikut campur, tapi kasian loh, dia keliatan bersalah banget. Dia bahkan nungguin kamu di rs kemaren. Kalau ada masalah ya diomongin baik-baik, dengan kepala dingin, jangan malah ilang-ilangan."
Semakin tercetak jelas kerutan didahi Jian, "Siapa yang masuk rumah sakit?"
"Lah?" Aji terlihat terkejut, "Kamu ilang ingatan kah?" Tangannya lantas terulur menyentuh dahi Jian dengan punggung tangan, "Masih pusing?"
Mendengar nama itu Jian sedikit membolakan mata, "Harraz? mana Harraz?" Hendak bangkit membuka pintu rumah, Jian ditarik oleh Aji.
"Gak boleh keluar." Katanya, "Tadi kamu suruh abang masuk, kamu keliatan gak mau ketemu sama Harraz, kenapa malah sekarang kamu yang nyari dia?" Aji semakin dibuat bingung dengan tingkah Jian yang menurutnya sangat aneh ini, "Masuk kamar, langsung tidur. Besok abang izinin ketemu Harraz."
Tak banyak bicara Jian langsung nurut masuk ke kamarnya, Aji mematikan lampu, setelah pintu kamar tertutup, Jian dengan tergesah menuju jendela kamar, kata Aji tadi Harraz datang berkunjung, menyipitkan matanya Jian bisa menangkap siluet Harraz yang duduk diatas motornya tepat dijalan depan rumah Jian, memandang kearah kamarnya sesaat sebelum melajukan motor. Jian melambai-lambai, namun Harraz seolah tak melihatnya.
"Harraz keliatan sedih."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.