Harraz merutuk dalam hati, bisa-bisanya lupa membawa air putih di hari pertama masa pengenalan lingkungan sekolah atau sering disingkat MPLS. Bukankah semuanya sudah ia siapkan semalam, kemana perginya botol air milik Harraz?
Mondar-mandir didekat pagar sekolah, Harraz menunggu sang teman, Mario, yang katanya akan membawakan air untuknya, tapi waktu masuk kian dekat dan Mario pun belum juga kelihatan wujudnya, Harraz semakin tak tenang.
Siswa baru yang semula berlalu lalang didekat gerbang sedikit menyepi, Harraz dibuat was-was ketika kakak OSIS terlihat menuju gerbang sekolah.
Lalu perhatian Harraz jatuh pada mobil putih yang berhenti tepat didepannya, Harraz membulatkan matanya, ia kira itu Mario, namun ternyata bukan, yang keluar mobil putih ini anak baru juga, sama sepertinya.
Menghela nafasnya pelan, Harraz akhirnya berbalik menuju lapangan, dua menit lagi semua siswa baru disuruh berkumpul, tak ada gunanya menunggu Mario, mending segera bergegas menaruh tasnya daripada mendapat hukuman lebih.
"Maaf, kamu lagi nunggu orang?"
Harraz menoleh, mendapati seseorang yang keluar dari mobil putih tadi tepat disebelahnya, lelaki ini mengangguk membenarkan, "Nunggu temen, gue lupa bawa air mineral."
Senyum orang asing didepannya ini merekah, membuat Harraz membatin, manis.
Tangannya menyodorkan sebotol air mineral, Harraz membolakan matanya bingung, "Ini buat kamu, kakak saya tadi beli dua." Katanya lucu sekali, persis seperti anak kecil.
Dengan kikuk, Harraz lantas meraih botol minum didepannya, "Makasih banyak." Ucapnya, yang dibalas senyum manis yang bahkan Harraz sampai tak berkedip karenanya.
Dihari pertama menginjak bangku SMA, Harraz sudah dipertemukan dengan orang yang mengambil hatinya sejak pertemuan pertama mereka.
.
."Deketin, Raz, diliatin doang mah gak bakal ngerubah keadaan." Ucap Mario, Harraz yang sedari tadi curi-curi pandang pada lelaki manis kelas sebelah hanya bisa memberengut.
"Gak pd." Jawabnya, kini memilih melipat tangannya didada dengan pandangan yang tak lepas pada sosok indah yang berjarak beberapa meter darinya ini.
Mario menghela nafasnya pasrah, "Minimal tanya nama lah, cupu banget lo jadi orang."
"Dia suka cowok gak ya?"
Seketika tawa Mario pecah, "Makanya deketin, lo gak bakalan tau kalo belum gerak."
.
.Harraz menatap pertandingan futsal kelas 11 melawan kelas 12 dengan tatapan bosan, dari pagi ia belum melihat lelaki manis kelas sebelah, rasanya ia kekurangan energi sekarang.
Dwiki yang baru saja berbalik dari kantin dengan membawa minuman menepuk pundaknya pelan, "Gue liat cowok manis kelas sebelah." Ucapnya, membuat Harraz langsung memusatkan atensinya pada sang teman.
"Dimana?" Tanya Harraz cepat.
"Depan ruang guru, lagi duduk."
Tak menunggu lagi, Harraz langsung berlari menuruni tangga, berbelok kearah kiri dengan tergesa-gesa, lalu berhenti ketika orang yang ia cari sudah hampir didepan mata.
Harraz masih menjadi sosok yang tak punya nyali, ia berdehem pelan, lalu membenarkan seragam serta rambutnya yang mungkin saja acak-acakan, sebelum berjalan dengan percaya diri memasuki ruang guru, walau tak memiliki kepentingan sama sekali, berharap sosok manis yang sedang menonton pertandingan futsal itu melihat kearahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams
Fiksi PenggemarHajeongwoo area. Book kedua untuk kisah Harraz dan Jian yang belum selesai, atau bahkan belum dimulai sama sekali. Kalau kata Jendra, mimpi itu kebalikan dari dunia nyata, bolehkan Jian berharap lebih kalau suatu saat Harraz bisa melihatnya sebagai...