Confess

1.4K 253 119
                                    

Belum sampai ke kelas, Jian sudah ditarik Wella, David dan juga Jendra menuju belakang sekolah, katanya ada hal penting yang harus mereka bertiga katakan. Jian bingung sendiri dibuatnya, "Emang gak bisa bilangnya di kelas aja?"

Wella menggeleng ribut, "Gak, ini penting banget, berita hot yang beneran hot banget." Jawabnya menggebu-gebu, sedangkan David dan juga Jendra mengikuti keduanya dari belakang, persis sekali seperti bodyguard-nya Wella.

"Mau kemana, sih?"

Wella meletakkan jari telunjuknya didepan bibir, isyarat menyuruh Jian diam. Sepertinya memberontak pun akan percuma, jadi yang Jian lakukan hanya diam mengikuti langkah Wella. Lalu mereka berempat sampai di belakang sekolah, mata Jian menangkap keberadaan seseorang yang tengah duduk dikursi panjang, lalu Jian beralih pada Wella disebelahnya menuntut jawaban dari gadis itu.

"Itu Harraz." Bisiknya pelan, "Deketin gih." Wella mendorong pelan Jian agar semakin dekat, Jian terkejut matanya membola, namun Wella mengangkat tangannya di udara, menyemangati Jian.

Gadis yang sangat menyebalkan.

Jian terdiam sesaat, sebelum menghela nafas pelan dan mendekat. Harraz masih belum melihatnya, namun yang Jian bingung kan adalah mengapa lelaki ini duduk disini, bukannya berada di kelas.

"Harraz." Panggil Jian pelan, lalu kaget melihat beberapa lebam diwajah lelaki itu, disudut mata, didekat bibir, lalu beberapa bagian yang membiru disebelah kiri wajahnya. "Eh, Harraz kenapa?" Jian panik sendiri.

Mata Jian menelisik lebam yang ada diwajah Harraz, memperhatikan satu persatu luka sebelum meringis sendiri, membayangkan betapa sakitnya itu. "Harraz kenapa?" Tanyanya lagi.

"Nggak, nggak." Harraz mencoba tidak menjawab pertanyaan Jian, memalingkan muka kesana kemari asal Jian tak terus memperhatikan kebiruan yang menghiasi wajahnya.

"Sakit, gak?"

Pake ditanya lagi, jelas ini sakit, Jian. Jangankan untuk berbicara, Harraz membuka sedikit mulutnya saja terasa perih. Namun Harraz menggeleng, guna merespon tanya Jian tadi, mencoba terlihat baik-baik saja, agar lelaki manis disebelahnya ini tak lagi terlihat khawatir.

Harraz tersenyum sesaat, "Gak sakit, Ji."

"Udah diobatin?" Harraz mengangguk menjawab pertanyaan Jian, "Mau ke UKS?" Kali ini gelengan yang Jian dapatkan.

Jian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, helaan nafasnya terdengar membuat Harraz menolehkan kepalanya. Lalu dengan tiba-tiba, Jian memeluk Harraz, erat sekali menyalurkan rasa hangat, Harraz sampai terkejut dibuatnya.

Terlihat Wella, Jendra dan juga David cekikikan dibalik tembok, sembari memberikan jempolnya pada Harraz. Senyum tipis dibibir Harraz timbul kala mengetahui ini adalah ulah teman-temannya, digerakkannya tangan guna mengusir tiga temannya yang entah sejak kapan sudah mengintip keadaan seperti itu.

Harraz membalas peluk Jian dengan senyuman yang tak hilang dari bibir, tangan Jian dengan lembut penepuk pelan punggung Harraz.

"Ibuk selalu meluk saya kalo saya lagi gak baik-baik aja." Suara Jian terdengar, "Saya harap bisa ngelakuin hal yang sama buat Harraz."

Harraz semakin menyandarkan kepalanya pada pundak Jian, menikmati rasa nyaman yang Jian berikan. "Makasih, Ji."

.
.

Menyebalkan sekali senyum Wella dan Jendra siang ini, bahkan alisnya dengan sengaja dinaik turunkan. "Makan." Kata Jian, yang malah membuat dua temannya itu tertawa puas.

Wella menaruh sendok ditangannya, menggoda Jian bahkan lebih menarik dari pada sepiring nasi ayam didepannya itu, "Jadi, tadi lo sama Harraz ngapain aja?"

Dreams Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang