8 - Acceptance

419 18 0
                                    

Hari itu meeting baru selesai tepat jam sembilan malam. Setelah merapihkan peralatannya di meja kerja Ravel segera bergegas untuk pulang menuju apartemennya di kawasan Kuningan. Sampai di mobil buru-buru dia meletakan tas dan dokumen di bangku samping kemudi. Jalanan sudah lengang Ravel mengendarai santai mobilnya lalu sekilas dia melihat berkas terselip diantara dokumen yang tadi dibawanya. Ditariknya dokumen yang terselip itu yang ternyata sebuah undangan lalu dirinya tersenyum simpul.

Mobil yang dikendarai Ravel sampai di sebuah apartement elit di kawasan Kuningan. Masuk ke lobby sapaan hangat dari resepsionis langsung diterima Ravel yang terus berjalan menuju ke lift yang mengantarkan dia ke penthouse di lantai 25. Selesai membersihkan diri, Ravel merebahkan dirinya di tempat tidur sambil melihat lagi undangan itu serta sebuah booklet dibelakangnya. Sejak kecil Ravel memang kurang tertarik dengan dunia seni. Mata pelajaran melukis, menyanyi sebisa mungkin dia hindari. Dia lebih senang berkutat dengan angka-angka dan rumus, maata pelajaran yang tidak memerlukan banyak interaksi dengan orang lain. Tapi entah mengapa undangan pameran kali ini membuatnya bergairah. Sambil melihat booklet Ravel berusaha menyelami setiap foto lukisan yang terpampang disana sampai matanya tertuju pada sebuah foto lukisan vas berisi bunga lily dengan latar sebuah jendela besar. Raut wajahnya berubah seketika. Bunga lily punya kesan tersendiri untuk Ravel. Kejadian sepuluh tahun yang lalu terasa seperti baru saja terjadi. Rasa perih seketika menjalar hatinya. Buru-buru dia tutup booklet itu dan dilemparnya ke nakas di sisi tempat tidurnya. Sambil menghela nafas diraih ponselnya membuka beberapa pesan yang belum sempat dia baca dan matanya fokus pada sebuah pesan yang ternyata sudah dikirim dari satu jam yang lalu. Pesan yang membuat suasana hatinya berubah lebih baik dan membuatnya segera membalas pesan tersebut.

Esok hari sesampainya Ravel dikantor dia melihat di mejanya sudah tertumpuk rapi beberapa dokumen yang harus dia tanda tangani. Baru hendak menyalakan komputernya terdengar suara ketukan pintu.

"Ya masuk"

"Pagi pak, ini kopinya "

"Terima kasih Ira"

"Sudah lama bapak enggak beli kopi instan di gedung sebelah"

"Iya nih, belum sempet kesana lagi. Sementara kopi ini dulu saja. Thanks loh Ir"

"Sama-sama pak. Oh iya kemarin saya sempat taruh undangan pameran lukisan di meja, sudah bapak terima ya? Saya takut bapak lupa karena undangannya sudah dari sebulan yang lalu."

"Iya, sudah saya baca juga. Kamu masukin saja di jadwal saya sama nanti sore saya ada janji ketemu orang dari PT Aldeco namanya Shera. Sekitar jam lima. "

"Baik pak, nanti saya info ke respsionis di bawah sekalian saya konfirmasi kehadiran bapak ke EO pameran"

"Oke ra, thank you"

Ira pun berlalu dari ruangan. Baru saja Ravel hendak meneruskan pekerjaannya terdengar panggilan dari ponselnya.

"Halo ma, iya kenapa?"

"Halo Vel, undangan pameran dari bulan lalu kamu sudah terima?"

"Iya ma, sudah."

"Kamu datang kan? Jangan sampai ga datang lagi. Mereka itu rekan bisnis Gallery kita. "

"Iya ma, Ravel pasti datang"

"Pasti datang loh ya? Kemarin pak Noto pemilik Gallery sudah nanya ke mama lagi"

"Iya ma, pasti datang. Mama tenang saja. Lagipula nanti Ravel kesana juga enggak sendiri jadi enggak akan membosankan seperti biasanya."

"Kamu ajak teman ?"

"Iya ma, mama kan tau Ravel paling enggak suka ke pameran lukisan. Kali ini kebetulan ada teman yang suka dengan lukisan, paling enggak Ravel jadi ada yang nemenin."

I'm Already YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang