5 | pulang

2.6K 309 83
                                    

"Tumbler nggak ketinggalan, kan, Ji?"

Jihane, yang duduk di belakang kemudi, mengacungkan jempolnya. Jihane sengaja membiarkan kaca mobil di sisi kanannya terbuka, menampakkan sosok Abi yang berdiri di bagian luar mobil—dengan kedua tangan bersembunyi di saku celana chino-nya. Jihane tersenyum tulus, teringat kembali percakapannya dan Abi beberapa waktu lalu. Aghni tak ada di sini, tetapi sahabat kekasihnya itu begitu setia mendampingi Jihane.

"Thanks for today, Bi."

Abi terkekeh. "Titip salam buat Mbak Pacar, ya. Kasih tahu, jangan kelamaan cuti. Anak-anak udah pada kangen."

"Anak-anak ..., apa lo?" Bibir Jihane bergetar menahan senyuman. Setelah obrolan mereka tadi, Jihane semakin memahami kedekatan antar kedua sahabat itu. Terutama bagaimana sosok Aghni di mata Abi. "Gue cabs dulu, ya. Jangan lupa lo tanyain Dex. Bye, Bi," pamit Jihane lalu melajukan Harrier putihnya.

"Tiati, Ji," sahut Abi sembari membalas lambaian tangan perempuan cantik itu.

Jihane punya waktu sekitar 45 menit untuk tiba di Stasiun Gambir. Jihane sengaja berangkat lebih awal demi menghindari terjebak kemacetan. Kalau perkiraan Jihane tidak meleset, Jihane akan tiba sepuluh menit lebih awal sebelum jam kedatangan kereta yang ditumpangi Aghni. Pikir Jihane, lebih baik dia yang menunggu. Aghni sudah menghabiskan nyaris enam jam di perjalanan. Jihane tak mau Aghni makin kelelahan hanya karena dia yang terlambat menjemput.

Sepanjang perjalanan, Jihane membiarkan radio digital menemaninya. Suara empuk penyiar silih berganti dengan lagu-lagu hit masa kini. Keduanya sama-sama memanjakan telinga. Sesekali Jihane ikut bersenandung ketika lagu yang cukup akrab dengannya diputar. Telunjuk lentik Jihane mengetuk kemudi dengan ritme yang tepat. Namun, di luar semua itu, Jihane sadar ada yang berbeda dalam dirinya. Jantungnya yang sejak tadi tak bisa diajak kompromi.

Aneh. Jihane menggeleng tak habis pikir.

Jihane tahu bukan hanya dia yang menyadari perubahannya hari ini. Semua yang bertatapan dengannya, Visa, Nuke, staf Almira's, para barista Teatrika, juga tak ketinggalan Abi, berkomentar hampir senada. Tentang betapa bersinarnya wajah Jihane pagi ini. Binar kebahagiaan di matanya yang tak sedikit pun tertutupi. Senyum Jihane yang jauh lebih manis daripada beberapa hari terakhir.

Di antara mereka semua, hanya Abi yang mendapat jawaban paling jujur. Hanya pada pemuda itu Jihane berani bersikap terbuka.

"Belum juga genap empat hari, but it feels so long." Jihane ingat dia menyahut seperti itu pada pertanyaan Abi. Ketika Abi bertanya lebih lanjut, apa yang membuat Jihane begitu menyayangi Aghni, Jihane bilang, "Katanya, cinta nggak butuh alasan. When you fall in love you just fall in love. Gue nggak bilang itu salah. Tapi gue nggak sepenuhnya sepakat. Ketika gue jatuh cinta sama Aghni, ya perasaan itu dengan sendirinya datang. Tapi, ketika gue memilih untuk tetap mencintai Aghni, gue tentu harus menemukan alasan."

"Jadi menurut lo, jatuh cinta dan mencintai itu dua hal berbeda?"

"Yep, singkatnya begitu. Yang pasti, sama Aghni gue nggak takut apa pun. Seperti yang lo bilang, cuma Aghni yang bisa menerima lo dalam berbagai situasi. Itu juga yang gue alami."

Lagi-lagi, Jihane tersenyum kecil. Dan, senyum itu berubah menjadi tawa tertahan kala Jihane teringat ajakan double date-nya. Terbayang kembali Abi yang tersedak minumannya sendiri. Mata pemuda itu membelalak tak percaya. Jihane sadar idenya tanpa rencana. Percakapan mereka tetiba saja membuat Jihane terpikir demikian.

Lagian, tidak ada yang salah. Syukurnya Abi tak keberatan untuk menanyakan lebih dulu, begitu pun dengan Jihane. Kalau Aghni dan kekasih Abi sepakat, mereka tinggal menentukan tempat kencan dan hal-hal lainnya.

#2 When You Love the Same PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang