3 | teman kecil

2.4K 295 56
                                    

"Aghni lagi ngobrol sama siapa?"

Aghni terlonjak. Jantungnya berdegup cepat. Sejak tadi Aghni bersandar di balik tembok, tertawa-tawa, sesekali membujuk kekasihnya. Saking asyiknya, Aghni sampai tak menyadari kehadiran sang ibu. Sungguh, bukan tanpa alasan Aghni memilih koridor cukup jauh dari kamar rawat inap Mbah Kung.

"Oh, ini, Bu, aku lagi telepon ...."

Aghni sadar jawabannya terbata-bata. Aghni menelan ludah, diam-diam menormalkan detak jantungnya. Sebenarnya Aghni punya kelanjutan dari kalimatnya. Namun, Aghni tak ingin mengecewakan. Ada hati yang harus Aghni jaga. Aghni berdeham, lalu melanjutkan usai menemukan padanan kata yang tepat, "My special one, Bu. Hehehe." Senyum simpul terukir di wajah Aghni.

Semua itu tak lepas dari pandangan wanita berusia di akhir empat puluhan itu. "Ibu kira Nak Abi."

"Ah, Ibu ..., Abi mulu, deh. Udah dibilang juga Aghni dan Abi cuma temen."

Sejak dulu, Abi satu-satunya pemuda yang dikenal Ibu, satu-satunya pemuda yang terdeteksi radar Ibu. Sekalipun Aghni sempat dekat dengan beberapa lelaki, tetapi Aghni tak pernah membawa mereka ke rumah. Sekadar mengenalkan sebagai teman pun tidak. Lebih-lebih setelah Aghni hijrah ke ibukota. Namun, Ibu tak percaya. Setiap kali memiliki kesempatan, Ibu selalu mengonfirmasi pada Abi. Sayangnya, jawaban Abi sama seperti Aghni. Malah, Abi menambahkan, "Kakak mana, sih, Bu, yang mengencani adiknya?"

Hari itu Ibu tertawa-tawa saja, tak ada bedanya dengan hari ini. "Mbah Kung cariin kamu, tuh, Ni."

"Mbah Kung dah bangun?" Aghni tampak girang.

Aghni memang dekat dengan sang kakek. Sejak ayah dan ibunya berpisah, buat Aghni Mbah Kung merupakan sosok pengganti. Mbah Kung mengajarkan Aghni banyak hal. Mbah Kung juga yang mendampingi Aghni dalam berbagai situasi. Mbah Kung selalu mengusahakan agar Aghni mendapatkan kasih sayang yang seimbang. Itu mengapa Aghni tak bisa tinggal diam di Jakarta, tanpa mengusahakan apa-apa, setelah mendapat kabar dari ibunya Kamis malam lalu.

"Ninin selesaiin ini dulu, ya, Bu." Aghni menunjuk ponsel yang masih menempel di telinganya.

Ibu mengangguk, kemudian berlalu setelah menepuk ringan pundak kiri Aghni.

Aghni terus mengekori kepergian Ibu dengan matanya. Yakin Ibu telah menghilang dari pandangannya, berbelok di ujung koridor terakhir, barulah Aghni kembali ke Jihane. Kekasihnya yang sejak tadi setia menanti alih-alih memutus sebelah pihak sambungan telepon mereka.

"Bep?"

"Yes?"

"Maaf, ya, tadi tetiba ada Ibu."

"Nggak apa, Sayang. Kamu udah mau pergi?"

Aghni mengangguk, tetapi sadar Jihane tak mampu melihatnya. "Aku telepon lagi sesampainya di rumah, ya."

"Oke."

Meskipun berat, Aghni tetap harus mengucap salam perpisahan. "Bye, Sayang."

Di seberang sana, Jihane menggigit bibir bawahnya. "Nin," panggil Jihane, lembut sekali. "I love you."

Aghni tersenyum lebar. Bunga-bunga di hatinya bermekaran. Dadanya menghangat. Seketika terbayang wajah cantik bidadarinya di ujung pelupuk mata. Ingin sekali Aghni ada di sana. Agar bisa melihat dan menyentuh Jihane secara langsung.

"Yes, Cantik. I love you more."


***


Sepuluh menit lewat dari pukul sepuluh malam, Aghni naik ke tempat tidur. Aghni bersandar di kepala ranjang sembari meraih ponselnya yang diletakkan di nakas. Benda yang tadinya mati total itu, sebelum Aghni masuk ke kamar mandi, kini sudah menyala. Di layar tampak persentase baterai menunjukkan angka 35.

#2 When You Love the Same PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang