18 | luruh

2.4K 296 76
                                    

Satu bulan berlalu sejak liburan singkat di Lombok.

Selama itu pula grup kecil mereka tak lagi berkumpul. Memang, ketiganya masih tampak bersama, setiap kali Jihane main ke Teatrika untuk menyambangi sang kekasih, yang berujung nongkrong sampai jam tutup kafe. Hanya Dex yang tak pernah terlihat. Tentu saja pertemuan tak sengaja di Plaza Indonesia kapan hari itu tak masuk hitungan. Bukan hanya karena tidak adanya obrolan, tetapi juga bagaimana Dex yang kentara sekali menghindari Jihane dan Aghni.

Kali ini, lagi-lagi, Jihane yang menginisiasi. Usai mendapat izin dari Aghni, Jihane melempar pesan ke grup Whatsapp mereka. Grup yang tanpa sengaja dibuat untuk memudahkan perjalanan di Lombok kemarin. Isi pesan itu berbunyi: ngumpul, yuk? Gue lagi pengin coba resep baru dan butuh sukarelawan sebagai korban. Hehehe.

Tak dinyana, Dex orang pertama yang menanggapi. Dex juga menawarkan dapur mewah apartemennya sebagai 'laboratorium' Jihane. Alasan Dex, pemuda itu yakin semua keperluan Jihane pasti dimiliki olehnya.

Pada hari Minggu pukul sepuluh pagi, sesuai kesepakatan, Aghni dan Jihane sudah berdiri di depan griya tawang Dexter Widjaja. Masing-masing dari mereka mendekap tas kertas berisi bahan-bahan masakan. Jihane bilang dia ingin memasak satu makanan khas Indonesia dan satu makanan internasional. Untuk minuman sendiri, bagian Abi yang menyiapkan. Semalam, pemuda itu sengaja langsung berbelanja sepulangnya dari Teatrika.

"Hi, you two. Gimana, macet nggak tadi?" Abi menyambut sembari meraih barang bawaan Aghni.

"Nggak. Cuma, biasalah, harus rebutan jalan sama gerombolan pesepeda," sahut Aghni. "Bisa, Bep? Sini, aku bawain." Melihat Jihane kesusahan, lekas saja Aghni mengambil alih tas kertas yang nyaris menghalangi pandangan Jihane.

"Makasih, Sayang." Senyum manis mengembang di bibir Jihane.

Keduanya lantas mengiringi langkah Abi.

Griya tawang milik Dex benar-benar menakjubkan. Sebenarnya, mengetahui lokasinya saja—tepat di depan bundaran Hotel Indonesia, yang diklaim sebagai alamat nomor satu di Jakarta—seharusnya Aghni dan Jihane tak lagi perlu terkejut. Mengusung tema warna putih, hitam, dan cokelat kayu berpernis membuat griya tawang satu ini berhasil menunjukkan kesan maskulin sekaligus mewah.

Sebelum tiba di dapur, mereka harus melewati ruang keluarga lebih dulu. Sebuah lukisan abstrak terpajang di dinding menarik perhatian. Aghni dan Jihane tak mengetahui makna di baliknya, tetapi yakin benar karya tersebut datang dari pelukis andal.

Persis seperti yang Dex janjikan, dapur Dex benar-benar luar biasa. Jihane nyaris dibuatnya kehilangan kata-kata. Gadis itu membeku di tempatnya berdiri. Kali pertama pandangan Jihane jatuh pada meja makan persegi panjang dengan permukaan berbahan marmer yang dikelilingi enam kursi kayu. Di seberangnya terdapat kitchen set dengan peralatan paling lengkap yang pernah Jihane lihat. Dex benar-benar tidak membual. Dan, kalau saja sang tuan rumah tidak menghampiri juga merangkul lembut pundak Jihane, mungkin Jihane akan terus-menerus diam di sana.

"Welcome!" sambut Dex ramah. "Long time no see you guys." Dex memberi pelukan singkat bergantian pada Jihane dan Aghni. "Omong-omong, gue udah nggak sabar sama percobaan kita," kata Dex lagi dengan cengiran lebar di wajahnya.

Abi memutar mata. "Lo nggak tahu aja, Ji. Manusia satu ini happy banget pas tahu dia punya lawan seimbang."

"Ya, makanya, lo belajar masak juga, dong," Aghni menimpali sembari menyikut lengan Abi yang berada di sampingnya.

"Ni, lo udah ngaca belum pagi ini?"

Jihane dan Dex yang kebagian jatah sebagai penonton hanya geleng-geleng kepala menyaksikan perdebatan dua sahabat itu. Sudah terlalu biasa bagi mereka. Alih-alih menanggapi keduanya, Jihane malah sibuk mengeluarkan barang bawaannya dan menata satu per satu di atas meja bar. Dex tentu saja lebih memilih membantu Jihane ketimbang harus menonton pertunjukan Tom & Jerry dari Teatrika itu.

#2 When You Love the Same PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang