Di dalam mobil yang berhenti, Aghni dan Jihane duduk berdampingan.
Tidak ada percakapan. Keduanya saling diam. Obrolan hanya berlangsung untuk yang penting-penting saja. Seperti halnya satu jam yang lalu, ketika Aghni menjemput Jihane di rumahnya. Aghni bahkan lebih banyak berbincang dengan Ibu Chedid saat menikmati sarapan bersama di pendopo rumah Jihane ketimbang dengan Jihane sendiri.
Satu-satunya kalimat yang Aghni lontarkan pada Jihane hanyalah, "Kita jemput Abi dulu, ya," kemudian melajukan kendaraan roda empat itu dalam selimut atmosfer kesenyapan. Bukannya Aghni tidak terusik, bukan pula Aghni sengaja mendiamkan Jihane. Aghni hanya merasa tak ada lagi yang perlu mereka bicarakan.
Kemarin, setelah permintaan Jihane, kalau Aghni boleh menggambarkan, jiwanya seperti tercerabut dari raganya. Dari sekian banyak waktu yang ada, Aghni tak mengerti mengapa Jihane memilih hari kemarin. Jihane jelas tahu betapa rapuhnya Aghni atas kepergian Mbah Kung. Bagaimana mungkin Jihane bisa berpikir Aghni akan baik-baik saja jika Jihane juga melakukan hal yang sama? Meninggalkan Aghni sendirian.
Belakangan Aghni mulai paham, setidaknya ini usahanya untuk menguatkan diri. Kapan pun itu waktu yang Jihane pilih tidak akan mengubah keadaan. Jihane tetap saja pergi, Aghni tetap saja ditinggalkan. Mungkin fokusannya bukan di sana, tetapi bagaimana Aghni belajar untuk bisa menerima. Namun, Aghni bukan malaikat, dia hanya manusia biasa. Ini tidak mudah. Dan, Aghni juga tidak ingin memaksa. Biarlah perlahan-lahan.
"Besok aku pulang ke Jakarta. Tiga hari lagi Almira's ada project besar. Aku nggak mungkin nggak ada di sana," beri tahu Jihane di ambang pintu rumahnya.
Aghni yang tadinya berniat untuk tinggal seharian di rumah Jihane, di kamar Jihane kalau mau lebih spesifik, memutuskan untuk pulang setelah menyelesaikan makan siangnya. Sebenarnya, ketika Jihane mengutarakan permintaan gilanya, detik itu juga Aghni ingin meninggalkan perempuan itu. Namun, Aghni tak ingin keributan mereka terendus mamanya Jihane. Makanan yang tak habis hanya akan membuat Ibu Chedid bertanya-tanya. Aghni tak mau itu.
"Flight jam berapa?"
"10.40. Satu jam sebelum itu paling nggak aku udah di bandara."
Aghni mengangguk. "Jam delapan aku udah di sini."
Jihane mengerling, tetapi mata Aghni terus saja menghindar. Jihane ingin Aghni memperjelas kalimatnya, meskipun Jihane sadar itu bukan ide yang tepat. Akhirnya, Jihane memilih bungkam. Sebelah kaki Jihane bergerak maju, yang disusul dengan dekapan di pundak Aghni. "Aku minta maaf nggak bisa ada di sini buat kamu," lirih Jihane amat pelan.
Aghni menghela napas panjang. Serta-merta membawa masuk aroma khas kekasihnya. Vanila. Atau, sekarang, lebih tepat disebut mantan kekasih? Aghni tak mau memikirkan itu. Terserah apa pun itu status di antara dirinya dan Jihane kini. "Aku pulang, Ji," pamit Aghni. Sebelah tangannya mengusap punggung Jihane dan satu kecupan sambil lalu jatuh di sisi kepala Jihane.
Sebenarnya, Aghni bisa saja bersikap tak peduli. Jika memang benar kini mereka adalah sepasang mantan kekasih, Aghni tak lagi punya kewajiban atas perempuan itu. Jihane Almira adalah perempuan dewasa, dia bisa bertanggung jawab untuk dirinya sendiri. Namun, pikir Aghni, besar kemungkinan ini adalah pertemuan terakhir mereka. Siapa yang menjamin sesampainya di Jakarta Jihane masih mau berjumpa dengannya? Bila masih ada waktu, Aghni akan memanfaatkan sebaik mungkin.
Meskipun itu berarti hanya saling diam seperti sekarang ini.
Aghni menghela napas berat. Kepalanya menunduk, netranya perlahan-lahan bergerak ke sisi kiri. Pada kedua tangan Jihane yang saling terjalin di pangkuan. Ingin sekali Aghni meraihnya, menggenggamnya, menyalurkan segenap perasaannya. Namun, Aghni tak mau dianggap lancang. Jihane yang mau diantar olehnya saja adalah satu karunia bagi Aghni. Aghni tak mau mengacaukan apa yang sudah ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
#2 When You Love the Same Person
FanfictionWhen you love the same person, would you stay there? [24/05] #665 fiksi out of 135k stories [15/04] #11 romancestory out of 2,4k stories [10/02] #1 aghninyhaque out of 147 stories