17 | perempuan lain

3.2K 320 92
                                    

Jihane menerobos masuk ketika pintu dibuka oleh Aghni dari dalam.

Dengan binar nakal di matanya, Jihane terus mengekori Aghni. Ketika Aghni berhenti dan berputar menghadapnya, Jihane masih saja tak peduli. Sudut-sudut bibirnya menekuk selagi langkah terakhir Jihane menyudutkan bokong Aghni hingga terhempas ke tepian meja kerja perempuan itu. Jihane mengangkat tangan, mengalungkannya ke leher sang kekasih. Aghni-nya membalas tatap dengan dahi mengernyit.

"Hai," sapa Jihane masih dengan senyum secerah seribu bohlam di atas kepala.

Meskipun tak mengetahui persis apa yang menimpa kekasihnya, tetapi air wajah bahagia Jihane sukses menular pada Aghni. "Kok nggak ngabarin mau ke sini?"

Jihane terdiam. Sirna sudah keceriaannya. Jihane memelorotkan bahunya sementara bibirnya membentuk garis lurus. "Aku pacar kamu, lho. Masa mau ke kantor pacar sendiri harus ngabarin dulu?" kejar Jihane. "Kenapa? Biar nggak ketahuan kalau-kalau kamu lagi sama cowok lain, gitu?"

Aghni tertawa kecil. "Apa, sih, Jiii?" Aghni mencolek pucuk hidung bangir Jihane. Aghni sudah terbiasa dengan Jihane yang kadang-kadang suka cemburu tak jelas. Aghni merasa ini bukan sesuatu yang perlu ditanggapi serius. Apalagi dia memang tidak melakukan tuduhan yang dimaksud.

"Kangen banget, deh, sama kamu." Lutut kanan Jihane melebarkan kedua kaki Aghni sehingga memberi ruang untuk Jihane dapat berada di antaranya. Tak lagi ada celah tersisa. Keduanya melekat dengan tepat. Lengan atas Jihane yang terbuka—hari ini Jihane mengenakan blus tanpa lengan—membelit leher Aghni selagi satu kecupan menggoda nan lembut singgah di atas bibir Aghni. "Kangen aku juga nggak?"

Lagi-lagi Aghni terkekeh. "Bep," Aghni menghela napas, "kita masih ketemu, deh, tadi pagi."

"Terus? Ketemu nggak berarti nggak boleh kangen, kan?"

Sebelah tangan Aghni menangkup pipi Jihane. Aghni membalas tatapan mata indah dan tajam di hadapannya dengan senyum yang mengiringi setiap pergerakannya. Ketika hanya tersisa beberapa senti jarak di antara bibir keduanya, ujung mata Aghni menangkap sesuatu di balik punggung Jihane. Aghni mengerjap, menyesuaikan pencahayaan yang menyusup ke matanya. Sejenak, bola mata Aghni memelotot tak percaya.

"Pintunya nggak kamu tutup?" tanya Aghni cepat.

"Hah?"

Tak ada tanggapan untuk kekagetan Jihane. Aghni mengurai kedekatan mereka. Disingkirkannya tubuh Jihane dari tubuhnya. Lekas Aghni melangkah menuju pintu ruang kerjanya dan menutup rapat-rapat kemudian. Sedikit banyak Aghni bisa bernapas lega mendapati tak ada siapa pun di luar sana. Diam-diam Aghni membuat catatan di kepalanya. Dia tak boleh teledor lagi ke depannya.

"Nggak usah berlebihan, deh, Nin."

"Berlebihan?" Aghni tercekat di tempatnya berdiri. "Aku nggak ngomong apa-apa, lho, Ji."

"Iya, memang. Tapi, sikapmu udah bicara banyak!"

Aghni tidak menyahut. Aghni diam saja memperhatikan Jihane yang bergerak menuju kursi putarnya dan menjatuhkan tubuhnya di sana. "Aku capek begini terus," keluh Jihane dengan nada tajam.

"Maksud kamu?"

"Ya kamu dan semua ketakutan kamu ini." Jihane mendongak setelah sesaat sebelumnya sibuk memijat keningnya bersamaan pelupuk matanya yang memejam. "Bisa nggak biasa aja kalau kita lagi berdua gini? Nggak ada siapa pun, Niiin."

Aghni menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan. Suara Jihane yang meninggi membuat Aghni memutuskan untuk berada lebih dekat dengan perempuan itu. Aghni tak mau keributan di antara mereka terdengar sampai ke luar. Aghni mengecup puncak kepala Jihane, lalu meraih tangan gadis itu untuk memeluk pinggangnya.

#2 When You Love the Same PersonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang